Oleh Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq
Dalam
islam, tidak ada larangan bagi kaum perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan
tinggi Negara yang sesuai dengan karakter, kepakaran, kapabilitas dan kompetensi yang mereka miliki. Memang,
beberapa pakar hukum islam ada yang melarang perempuan menduduki
jabatan-jabatan publik berdasarkan makna lahir (Dhahir) hadits Nabi saw, “
Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
perempuan”. (HR Bukhari dalam kitab al-Maghazi wa al-Fitan)
Tetapi
sebenarnya hadits di atas memiliki pengertian dan relevansi khusus yang tidak
dapat dilepaskan dari sebab kemunculannya. Yakni, ketika Nabi saw. mendapat
informasi bahwa penduduk wilayah Persia telah menobatkan putri Kisra sebagai
pemimpin mereka, Nabi kemudian menyabdakan hadits tersebut. Dari sinilah
kemudian beberapa pakar hukum Islam berpendapat bahwa perempuan tidak boleh
menduduki jabatan umum sebagai pemimpin Negara atau khilafah. Namun demikian,
seharusnya tak luput dari benak kita bahwa dalam surah an-Naml, al-Qur’an
justru memuji Ratu Saba’ yang adil dan bijaksana dalam mengelola wilayah
kerajaannya. (lihat QS. An-Naml [27]:22 dan QS. Saba’[34]:15)
Pujian
al-Qur’an ini tentu dapat dijadikan salah satu indikator penting tentang
pandangan Islam yang positif dan apresiatif terhadap kompetensi dan kapabilitas
perempuan yang menduduki jabatan tertinggi Negara.
Sebenarnya,
dalam sejarah islam yang merentang cukup panjang, kita dengan mudah menemukan
cendekiawan Muslim di setiap zaman yang memiliki pandangan cukup maju,
khususnya yang berkaitan dengan aktivitas perempuan. Ibnu hazm, misalnya,
berpendapat bahwa perempuan tidak di larang menjadi pemimpin suatu
pemerintahan. Demikian pula pendapat Abu Hanifah, seorang pendiri mazhab fiqih
yang sangat masyhur. Sementara Ibnu jarir ath-Thabari, sejarawan dan pakar
tafsir terkenal, memperbolehkan perempuan duduk menjadi hakim pengadilan untuk
memutuskan semua jenis kasus atau perkara tanpa pengecualian, seperti halnya
laki-laki. Bahkan, jauh sebelumnya, Khalifah ke-2, Umar bin Khaththab
mengangkat Syifa’ binti Abdullah al-Makhzumiah sebagai hakim pengadilan Hisbah
di pasar Madinah, suatu jabatan publik yang memerlukan kecakapan dan ketegasan.
(Lihat: Yusuf Qardhawi, fatawa mu’ashirah, (kairo: Dar Afaq al-Ghaad),
jilid I, hal. 63; Muhammad al-Ghazali, Mi’ah sual an al-Islam, jilid II,
hal.260,262 dan 276.)
Jika
Islam tidak melarang kaum perempuan yang kompeten untuk menduduki
jabatan-jabatan tinggi Negara, ini tidak berarti, bahwa perempuan dibebaskan
melakukan aktivitasnya di luar rumah dengan mengabaikan tanggung jawab dan
tugas utamanya sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya. Sebab,
unit-unit keluarga sebenarnya merupakan nucleus primer dari suatu
masyarakat atau Negara. Jika unit-unit Negara ini rapuh dan tidak terbina
dengan baik, maka suatu masyarakat atau Negara yang kuat dan baik akan sulit di
wujudkan. Pada akhirnya, yang dibutuhkan dari kaum perempuan adalah sikap arif
yang dapat menyelaraskan antara aktivitas di luar rumah (karir) dan tanggung
jawab rumah tangga, demi terwujudnya masyarakat dan Negara yang gemah ripah loh
jinawi.
No comments:
Post a Comment