Oleh Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq
Sebagaiamana
dimaklumi, kaum perempuan pada masa pra-islam tidak mendapatkan sedikitpun
peninggalan hak waris. Ketika islam datang, ia menetapkan bagi kaum perempuan
bagian tertentu dalam harta waris. Islam menyatakan secara tegas tentang hal
itu meskipun tidak sedikit orang-orang arab kala itu merasa emoh menerima
ketentuan yang dibawa islam ini. Mereka masih beranggapan bahwa hanya kaum
lelakilah yang berhak mendapat harta waris sebagai bentuk kompensasi bagi
pengorbanan kaum lelaki mengangkat senjata melawan musuh.
Dalam
hokum waris islam, ditetapkan bahwa lelaki-galibnya-mendapat dua bagian
dibandingkan perempuan. Pembagian ini telah dinyatakan secara eksplisit dalam
nash al-Qur’an :
“
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan.” (Q.S
an-nisa’ [4]:11)
Suatu
pandangan tergesa-gesa barangkali akan menyatakan, bahwa pwmbagian waris
sebagaimana termaktub pada ayat diatas merupakan bentuk ketidakadilan terhadap
kaum perempuan dan merampas hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya setara
dengan kaum lelaki. Tetapi pandangan yang lebih berhati-hati akan menemukan,
bahwa islam sebenarnya tidak memaksudkan hal itu dijadikan alas an untuk
memosisikan kaum perempuan dalam sudut pandang pejoratif. Sebab, pembagian
harta harta waris sebagaimana ditetapkan dalam hokum waris islam sejatinya
tidak perlu disangkut-pautkan dengan persoalan kedudukan lelaki dan perempuan.
Tetapi, prinsip pembedaan itu lebih disebabkan oleh kewajiban dan tanggungjawab
yang tidak sama antara lelaki dan perempuan.
Sesungguhnya,
Islam mewajibkan seorang suami untuk member nafkah istri dan anggota
keluarganya. Sebaliknya, seorang perempuan-atau lebih tepatnya seorang
istri-sama sekali tidak dibebankan dengan kewajiban-kewajiban financial seperti
halnya lelaki. Dengan perbedaan kewajiban dan tanggung jawab seperti ini, maka
melalui kalkulasi sederhana, kita akan mendapatkan, bahwa kendati pun kaum
perempuan hanya mendapatkan setengah bagian dari laki-laki, namun posisi
keuangan kaum perempuan, pada akhirnya, ternyata lebih baik dari laki-laki.
Hal
ini karena seorang lelaki berkewajiban untuk menafkahi istri dan anggota
keluarganya, ayah dan ibunya yang sudah tidak memiliki penghasilan tetap, juga
saudari-saudari perempuanya yang belum bersuami. Dengan demikian, beban
finansial yang cukup banyak ini membuat bagian harta waris laki-laki pada
dasarnya berpotensi untuk semakin berkurang dan mengalami defisit. Berbeda
halnya dengan perempuan, ia tidak dibebani tanggungjawab financial kecuali
untuk dirinya sendiri. Ia memiliki kebebasan penuh untuk menginvestasikan harta
miliknya secara mandiri, tanpa sedikitpun dibebani tanggungjawab menafkahi
keluarganya. Bahkan seorang istri yang kaya raya sekalipun, masih berhak
mendapat nafkah dari suaminya. Dengan demikian, bagian harta waris yang
diperoleh perempuan sebenarnya tidak berpotensi untuk berkurang, tetapi justru
sangat berpeluang untuk bertambah.
Dari
kalkulasi sederhana seperti yang diilustrasikan diatas, menjadi jelas kiranya,
bahwa pembagian harta waris yang digariskan oleh Islam sama sekali tidak
dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan melalimi perempuan. Tetapi sebaliknya,
ajaran-ajaran islam justru lebih membela hak-hak dan kepentingan-kepentingan
kaum perempuan.
Kecuali
itu, dalam beberapa kasus, hokum waris Islam tidak selamanya membedakan bagian
harta waris antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 12,
antara lain, menyatakan bahwa seorang suami atau istri yang meninggal tidak
meninggalkan orangtua maupun anak, tetapi meninggalkan saudara laki-laki atau
saudara perempuan dari pihak ibu, maka-dalam kasus seperti ini- saudara
laki-laki dan saudara perempuannya itu mendapatkan bagian yang sama dari harta
yang di tinggalkan.
Demikian
pula pada kasus seorang suami yang ditinggal mati istrinya, dan sang istri
meninggalkan anak perempuan dari suami tersebut atau suami sebelumnya, maka
anak perempuan tersebut mendapatkan bagian dua kali lipat dari bagian sang
suami. Demikian dalam beberapa kasus lainnya yang secara jelas diatur dalam
al-Qur’an dan menjadi acuan dalam berbagai sengketa internal keluarga yang
berkaitan dengan pembagian harta waris.
Menarik
untuk dicatat disini, bahwa lembaga fatwa mesir (Dar al-ifta al-Mishriyyah )
yang menjadikan hokum waris islam sebagai landasan fatwa-fatwanya, tidak hanya
menjadi referensi bagi mereka yang beragama islam dalam menyelesaikan
kasus-kasus persengketaan harta waris, tetapi juga banyak di jadikan referensi
oleh penganut Kristen koptik (al-aqbath). Mereka melihat, bahwa hukum waris
Islam ternyata jauh lebih akseptabel dalam menyelesaikan kasus-kasus yang
berkaitan dengan sengketa harta waris.
No comments:
Post a Comment