Nafsu dalam Beragama - Santrijagad

Nafsu dalam Beragama

Bagikan Artikel Ini
“Bukanlah termasuk sunnah jika kamu memperdebatkan sunnah. Tapi sampaikanlah sunnah itu. Jika sunnah yang engkau sampaikan tidak diterima, maka diamlah.” [Imam Malik]

Habib Ismail Fajri Alatas


Ismail Fajrie Alatas – University of Michigan

Kitab Idhoh Asrar 'Ulum al-Muqarrabin (berarti; “menjelaskan rahasia ilmu kaum muqarrabin”) yang dikarang Habib Muhammad bin Abdullah al-'Aydarus (lahir di Tarim Hadramawt dan meninggal di India tahun 990H/1582) adalah kitab penting yang hingga hari ini masih diajarkan di pesantren-pesantren di Hadramawt. Begitu pentingnya kitab tersebut hingga Imam Abdullah bin 'Alawi al-Haddad mengatakan bahwa kitab tersebut adalah inti ajaran tasawwuf.

Dalam salah satu babnya, Habib Muhammad menjelaskan tentang hubungan akal dengan nafsu, atau ‘hawa’.

Bagi beliau, hawa yang berhubungan dengan hati dan aqidah adalah penyebab utama kerusakan amal dan keadaan spiritual. Dari hawa inilah mulai muncul kedengkian dan permusuhan antar sesama manusia. Nabi bersabda: “Yang paling aku takutkan pada umatku adalah syahwat yang tersembunyi.”

Menurut para ulama, yang dimaksud dengan syahwat yang tersembunyi itulah adalah hawa. Hawa akan selalu menemani orang-orang yang lemah akalnya. Semakin sempurna akal seseorang, semakin lemah hawanya. Jika hawa seseorang lemah, ia akan membenci kejahatan, perdebatan, kekerasan, dan usaha menyelidiki aib orang lain Semakin lemah hawa seseorang, semakin ia mencintai kebersamaan, persaudaraan, cinta kasih dan keikhlasan.

Sedangkan orang yang akalnya lemah, hawanya menguat. Ia senang mencampuri urusan orang, suka marah, bertengkar dan membabi buta. Orang yang demikian, menurut Habib Muhammad, hanya dapat memohon pertolongan Tuhan untuk melepaskan kekangan hawa. Imam Malik berkata, “Bukanlah termasuk sunnah jika kamu memperdebatkan sunnah. Tapi sampaikanlah sunnah itu. Jika sunnah yang engkau sampaikan tidak diterima, maka diamlah.”

Menurut Habib Muhammad, hawa dari para ahli agama lebih sulit diperbaiki dari hawa yang terdapat pada orang awam. Sebab, ketika dikuasai hawa, para ahli agama tidak menyadari keburukan perbuatannya. Setan menutup-nutupi hawa para ahli agama dan memberikan gambaran palsu.

Celakanya, para ahli agama yang diliputi hawa percaya bahwa kerusakan yang mereka lakukan adalah upaya mendekat kepada Tuhan. Pengaruh hawa yang begitu kuat pada para ahli agama ini menyebabkan mereka tak dapat melihat tipuan setan. Mereka merasa telah benar-benar mencari keridhoan Tuhan, tapi sesungguhnya mereka sedang berbuat kerusakan dan kekerasan.

Berbeda dengan para ahli agama, orang awam lebih mudah diselamatkan dari pengaruh negatif hawa. At least, mereka lebih mudah menyadari kebodohan diri sendiri, sehingga lebih mudah diselamatkan. Mereka lebih mudah merasakan keterbatasan ilmu dan kelemahan diri, sehingga terbuka jalan untuk reformasi diri. Tak seperti para ahli agama yang terkungkung hawa, merasa yakin bahwa kebatilan tak akan menyentuh mereka.

Para ahli agama yang terpenjara hawa sering menganggap kesalahan dan kejelekan ada pada orang lain, tanpa pernah mengaca diri. Habib Muhammad mengutip Aristoteles: "Orang yang tak diberitahu penyakitnya, tak akan menemukan jalan kesembuhan."

Watak jiwa (nafsu) yang dimotori hawa adalah menyenangi pertengkaran dan kekerasan, dan usaha memaksakan kehendak. Jika mereka tidak dapat menguasai orang lain dengan tarikan duniawi, mereka akan mencoba menguasai orang lewat agama.

Sebagai contoh, Habib Muhammad menggambarkan orang yang senang menggeluti permasalahan akidah. Ahli agama yang terpenjara hawa sering berusaha mengunggulkan akidah yang mereka anut di atas akidah lain. Sebagian dari mereka terkadang bersikap berani dan kasar pada orang-orang baik (akhyar). Orang yang hawanya menguat sering menganggap madzhab dan aqidah orang lain sesat karena bertentangan dengan perilaku dan tujuan mereka.

Semua kejelekan ini karena pengaruh hawa. Jika hawa telah menguasai seseorang, ia tidak akan dapat berpikir sehat.

Habib Muhammad kemudian berbicara tentang orang-orang yang menampakkan hawanya dalam amar ma'ruf nahi munkar. Orang yang demikian kerap menjelek-jelekkan masyarakat, mencari-cari keburukan orang lain dan menyakiti perasaan mereka. Perbuatan mereka, karena niatnya sudah diliputi hawa, kadang justru menimbulkan keonaran, keburukan, dan dosa besar.

Kasihan mereka, tulis Habib Muhammad, karena mereka tak memahami bahwa sikap mereka didorong oleh hawa. Karena pengaruh hawa, jiwa (nafs) mereka cenderung pada kekerasan dan sikap tidak mau kalah. Mereka tidak memahami bahwa sesungguhnya amar ma'ruf nahi munkar seharusnya disampaikan dengan lemah lembut dan ramah. Ketika amar ma'ruf, seseorang hendaknya bersikap seperti dokter yang sedang mengobati pasien.

Umur orang yang terperangkap hawa dihabiskan untuk hal-hal melelahkan, mengurusi permasalahan orang lain dan memaksakan kehendak. Mereka akhirnya dibenci masyarakat, dan praktik yang mereka lakukan akhirnya justru malah menyalahi sunnah.

Mengobati hawa orang yang suka mengikuti keinginan syahwat rendah (pakaian, maka, harta) lebih mudah. Sedangkan mengobati hawa para ahli agama sangat sulit karena mereka tak mau mendengarkan orang yang memperingatkan dan mencelanya.

Habib Muhammad menutup pembahasannya dengan menerangkan bahwa pelbagai jenis hawa tersebut merupakan salah satu jenis bencana di alam ini. Cara meringankan dan mengobatinya adalah dengan menenangkan gejolak dan semangat yang berasal dari hawa, serta berkumpul dengan orang-orang baik.

Orang-orang baik yang berakal, sifatnya mudah dan fleksibel. Wajah mereka berseri-seri, menebar senyum dan kasih sayang. Ketika memandang mereka, manusia akan merasa nyaman dan tentram. Sama sekali tidak merasa takut dan cemas.

Sedangkan orang bodoh yang beragama, kalian akan melihat mereka dibenci oleh masyarakat. Orang bodoh yang beragama akan susah sepanjang hidupnya. Masyarakat dapat merasakan bencana dan ketakutan sebab mereka.

Demikian sekelumit keterangan dari salah satu bab kitab Idhoh Asrar ʿUlum al-Muqarrabin karya Habib Muhammad al-Aydarus. Walaupun ditulis lebih dari 500 tahun yang lalu, tetapi ternyata masih sangat relevan dengan apa yang kita hadapi saat ini. Al-Faatihah. [Zq]

*Sumber: Chirpstory @ifalatas

No comments:

Post a Comment