Habib Ali: Ajarkan Agama Kepada Anak Melalui Cinta Kasih - Santrijagad

Habib Ali: Ajarkan Agama Kepada Anak Melalui Cinta Kasih

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri

Video:


Transkrip:

Hal pertama yang sangat penting (bagi orang tua terhadap anak) adalah perhatian. Yakni perhatian berupa kehadiran Anda sebagai orang tua di antara mereka. Bukan berarti Anda harus selalu bersama mereka dalam waktu yang lama, sebab kita tahu ada di antara saudara-saudara kita yang harus bekerja. Namun ketika Anda berkesempatan berada bersama mereka, maka hadirlah betul-betul di sana. Dengan sepenuh hati, perasaan, dan perhatian Anda. Dengarkan mereka bicara.

Ketika mereka berbuat kesalahan, kondisikan agar mereka datang menghampiri Anda bukan malah lari dari Anda. Mereka berlari kepada Anda sebab melakukan kesalahan, bukan lari menjauhi Anda. Untuk menciptakan hal ini, perlu adanya kepercayaan, cinta kasih, kemauan mendengarkan, dan pengertian.

Saat mereka masih berusia belia, apapun yang Anda tanam dan tumbuhkan, akan sangat berpengaruh dalam diri mereka ketika mereka sudah dewasa. Hal pertama yang musti jadi fokus bagi Anda dalam pendidikan agama, norma, dan akhlak adalah cinta kasih. Perkenalkan mereka terhadap agama dari pintu cinta kasih. Cinta kepada Allah yang Maha Pengasih, cinta pada Rasulullah yang terkasih.

Bacakan kisah tentang Rasulullah terkasih yang bisa menghidupkan makna cinta kasih di dalam hati mereka. Bacakan tentang sifat-sifat fisik beliau, maupun akhlak beliau. Sehingga terjalin hubungan antara mereka dan Rasululullah. Biasakan mereka untuk bershalawat kepada beliau, meski hanya sepuluh kali sebelum mereka tidur.

Setelah itu, coba ciptakan rasa cukup bagi mereka terhadap Anda. Jangan malu jika mereka menanyakan perihal agama namun Anda tak bisa menjawabnya. Ini sering jadi kesalahan orang tua, ketika ditanya dan ia tak tahu, kemudian menghardik, “Pertanyaan itu salah!” atau menjawab dengan mengambang. Semestinya, ia menjawab, “Ini pertanyaan yang bagus dan sangat penting, Nak. Tapi aku perlu menelaah lagi, nanti biar aku jawab.” Atau, “Aku sangat tertarik dengan pertanyaanmu, Nak. Tapi saat ini aku sibuk, nanti aku jawab ya.” Dan seterusnya.

Anak-anak akan menghormati jawaban semacam ini ketika mereka dewasa.  Ketika engkau punya pertanyaan yang butuh jawaban, engkau akan bertanya kepada seseorang yang memang paham betul hal tersebut. Engkau bertanya kepada orang yang memang spesialis dalam tema yang kau tanyakan. Terkadang anak-anak punya pertanyaan terkait akidah atau eksistensi Tuhan, tentang kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Di yayasan Tabah, kami punya program yang diperuntukkan menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Program ini disebut ‘Suaal’ yang dimuat di website suaal.org berbahasa Arab dan sedang kami terjemahkan ke bahasa Inggris.

Di situ ada banyak pertanyaan mendasar tentang keyakinan yang kadang sungkan untuk dinyatakan, bahkan bagi para pendahulu kita dianggap ‘berbahaya’. Sehingga seorang imam masjid setempat ketika mendengar pertanyaan ini akan berkata, “Hati-hati nanti kafir, tak ada yang bertanya hal semacam itu!” kemudian mengutip ayat Quran yang melarang bertanya, padahal bukan begitu maksudnya. Atau seorang ayah yang mengatakan pada anaknya bahwa pertanyaan semacam itu haram ditanyakan.

Padahal tidak ada pertanyaan yang haram, selama tujuannya adalah untuk mengambil manfaat dari jawaban yang diutarakan. Apa maksudnya mengambil manfaat? Yakni ketika seseorang sampai pada kondisi sangat penasaran atau ragu terhadap suatu hal, maka ia harus bertanya. Saya sudah katakan sebelumnya, bahwa ada banyak hal yang terpuji bagi para pendahulu, namun kini jadi hal yang aneh. Yakni tentang hak bertanya. Haruskah kita bersepakat bahwa seseorang punya hak untuk bertanya agar ia mendapat pemahaman?

Saudaraku, suatu agama yang tak mau melayani pertanyaan seseorang bukanlah agama. Seseorang yang kokoh keyakinannya mustinya tidak risih saat suatu pertanyaan diajukan. Mengapa saya katakan bahwa seseorang boleh bertanya selagi ia bertujuan mengambil manfaat? Sebab ada saja pertanyaan yang diajukan hanya untuk memperkeruh masalah, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang berputar-putar, atau bertujuan untuk bermain-main dan mengejek, atau untuk mendebat metode logis yang sudah terbangun. Ini buruk, tentu saja.

Namun pertanyaan yang diajukan dengan tujuan untuk mendapat manfaat dari jawaban adalah boleh, yang mana kita tak bisa meragukan apa yang ada di dalam hati orang, karena itu kembali kepada masing-masing orang. Jika engkau bertanya dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat, maka apapun pertanyaanmu adalah penting dan perlu dijawab.

Hal terakhir yang perlu kita perhatikan dalam memperhatikan anak-anak adalah perihal spiritual dan hati. Yakni pondasi dasar spiritualitas dalam beragama di hati anak-anak kita. Berupa membangun hubungan dengan Allah melalui zikir. Berupa membangun hubungan dengan Quran. Tidak wajib bagi mereka untuk menghapal keseluruhan Quran. Mencintai Quran lebih penting dibandingkan menghapalkannya. Memahami Quran lebih penting ketimbang menghapalkannya.

Menghapal Quran memang penting, tapi memahaminya jauh lebih penting. Hal yang wajib dihapalkan oleh anak adalah surat Al-Fatihah, ini fardhu ain bagi setiap muslim. Sedangkan sisanya terserah saja tergantung keminatan. Namun memahami dan mencintai Quran lebih penting daripada menghapalkannya, sebab itulah yang akan membimbing seseorang untuk beramal.

*Ditranskrip dan diterjemahkan oleh Santrijagad dari wawancara Habib Ali al-Jufri dan Osama Kamal di saluran televisi Mesir, DMC, pada 19 Januari 2019.

No comments:

Post a Comment