Ngaji Hikam #1 – Tanda Engkau Bersandar Kepada Amalmu - Santrijagad

Ngaji Hikam #1 – Tanda Engkau Bersandar Kepada Amalmu

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Ust. Ulinuha Asnawi


من علامة الإعتماد على العمل نقصان الرجآء عند وجود الزلل

"Diantara tanda i'timad (bersandar) pada amal adalah kurangnya harapan ketika tergelincir (dalam kemaksiatan)." Ibnu Athaillah Assakandary

A. I’TIMAD

Al-I'timad dalam tradisi makna jawa diartikan 'tetanggenan alias ngumandelake' meski agak beda, dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan 'bersandar, bertopang, atau bertumpu'. Boleh jadi bersandar pada amal artinya: Anda menyandarkan diri pada amal (usaha) sebagai ukuran keberhasilan, atau Anda menyandarkan diri pada amal kebaikan sebagai ukuran mendapatkan kebahagiaan surgawi. Intinya, Anda menafikan peran terpenting dalam keberhasilan, yaitu Allah Jalla wa 'ala.

Amal atau perbuatan termasuk amal kebaikan adalah sesuatu yang hadats (baru) kebalikannya adalah qadim (terdahulu), dan apapun itu sesuatu yang hadats pasti mudah rusak dan runtuh. Dan, bagaimana mungkin anda bersandar dengan sesuatu yang mudah runtuh, yaitu amal?

Bahkan dalam contoh yang falid, Rasulullah shalallahu alaihi wa alihi wasalam pernah bersabda: Tidak ada seorangpun di dunia ini yang masuk surga karena amalnya! Wa lä anta ya rasulullah? —bagaimana dengan engkau wahai baginda nabi?— tanya sahabat. Tidak, tidak juga aku! Jawab nabi, kecuali Allah Ta'ala meliputiku dengan rahmatNya.

Lalu terbesit dalam fikiran Anda: Lho, bukankah setiap amal baik pasti akan dibalas sesuai kadar kebaikannya, dan begitujuga sebaliknya setiap amal buruk (kemaksiatan) akan dibalas dengan kadar kemaksiatannya? Dalam al-Qur'an kan jelas, diantaranya disebutkan (QS. az-Zalzalah: 7-8): fa man ya'mal mitsqala dzarratin khoiran yarah, wa man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah. Artinya; barangsiapa beramal baik, meski sebiji dzarrah pasti akan mengetahui kadar balasanya, dan begitujuga barangsiapa yang berbuat kemaksiatan, meski sebiji dzarrah akan mengetahui kadar balasannya? Bukankah ini bertentangan dengan yang disebutkan panjang-lebar diatas?

Jika demikian, mari kita perhatikan Tafsir At-Thabary tentang ayat ini. Barangkali ada pemahaman yang berbeda dari membaca terjemahan ayat dan tafsirnya. Dalam ayat tersebut at-Thabary menjelaskan banyak opsi diantaranya, sbb:

عن ابن عباس, في قوله: ( فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ) قال: ليس مؤمن ولا كافر عمِل خيرا ولا شرا في الدنيا, إلا آتاه الله إياه. فأما المؤمن فيريه حسناته وسيئاته, فيغفر الله له سيئاته. وأما الكافر فيردّ حسناته, ويعذّبه بسيئاته.

وقيل في ذلك غير هذا القول, فقال بعضهم: أما المؤمن, فيعجل له عقوبة سيئاته في الدنيا, ويؤخِّر له ثواب حسناته, والكافر يعجِّل له ثواب حسناته, ويؤخر له عقوبة سيئاته.

Dari Ibnu Abbas (radliallahu 'anh) tentang ayat tersebut QS. az-Zalzalah, ayat; 8, beliau mengatakan: Tidak ada perbedaan antara orang mukmin dan orang kafir, siapapun yang berbuat sesuatu, baik kebaikan atau keburukan (kemaksiatan), kecuali Allah Ta'ala mendatangkan balasannya; bentuk balasan tersebut; jika orang mukmin maka Allah Ta'ala Memperlihatkannya (ketika di dunia) baik balasan amal baik atau amal buruknya (kemudian orang mukmin tersebut bertaubat, memohon ampunan Allah) maka Allah Ta'ala mengampuninya. Sedangkan balasan untuk orang kafir maka Allah Ta'ala menolak kebaikannya dan mengadzabnya sebab amal buruknya.

Ada juga pemahaman yang lain, sebagaimana dikatakan sebagian mufasir, bahwa untuk orang mukmin balasan kemaksiatannya disegerakan ketika masih di dunia dan balasan amal baiknya diakhirkan (dibalas kelak diakhirat). Bagi orang kafir kebalikannya balasan amal kebaikannya disegerakan di dunia, dan kemaksiatannya dibalas kelak diakhirat. Intaha!

Oleh karenanya, memahami dalil-dalil hisab, seperti diatas, adalah sebagai metode praktis untuk bertafakur bertaubat dan memperkaya diri dengan amal kebaikan sebagai bekal kelak di akhirat, bukan sebagai alat untuk menuhankan amal, atau beri’timad pada amal. Tabir perbedaannya memang tipis dan lembut, akan tetapi akan tampak jelas ketika terjadi zalal (atau tergelincir dalam kemaksiatan). Sebagaimana dikatakan Ibnu Athailah (rahimahullah): Diantara tanda I’timad pada amal adalah kurangnya harapan ketika tergelincir (dalam dosa kemaksiatan).

B. NUQSHAN AR-RAJA’

Nuqshan ar-Raja' || Dalam makna gandul Bahasa Jawa diartikan 'kurange pengarep-arep' sedangkan raja’ dalam Bahasa Indonesia tidak cukup diterjemahkan dengan 'berdoa', karena doa dalam istilah tasawuf tidak mewakili harapan (raja') secara kaffah. Harapan (raja’) mirip dengan cita-cita tapi tidak sepenuhnya sama, dalam bahasa modern, raja' juga diterjemahkan dengan ekspektasi. Dan, diantara tandanya minim ekspektasi (raja') adalah tidak adanya kesemangatan dalam berbuat, beramal saleh.

Ibnu Athailah as-Sakandary (rahimahullah) mengatakan: Diantara tandan i'timad (menyandarkan diri) pada amal adalah nuqshanur raja' (kurangnya harapan) ketika tergelincir (dalam kemaksiatan).

Dalam pertemuan sebelumnya kita sudah membaca dan menggaris bawahi setiap istilah dalam satu moqolah ini, kali ini kita akan menggaris bawahi tentang nuqshan ar-raja’ (kurangnya harapan dalam hati).

Kalau al-Faqir boleh mengatakan: “Raja’ (harapan dalam hati) dan khouf (ketakutan dalam hati) sebenarnya tidak penting, jika tidak ada naik-turunnya keimanan. Akan tetapi ini tidak mungkin, sebab sebagaimana disabdakan oleh rasulullah shalalLahu ‘alaihi wa alihi wasalam bahwa iman itu yazid wa yanqush (bertambah dan berkurang/naik-turun)”.

Jika digambarkan dalam algoritma, al-qalb/hati seorang mukmin itu bermuara pada maqom taubah, dari maqom taubah tersebut bercabang antara raja’ dan khouf, kemudian syukur dan sabar. Bukti dari yang al-faqir katakan ini nyatanya bagi seorang mukmin ketika broken heart —hati yang kacau, biasanya disebabkan oleh banyaknya dosa-kemaksiatan— maka dikembalikan pada maqom taubah. Dari taubah ini kemudian memulai ulang sesuai ilmu dan haliyah keadaanya, baik sabar atau syukur, raja’ atau khouf. Kemudian berlapis-lapis hingga sampai pada maqom mahabah atau yang paling sulit dibahas sekalipun yaitu maqom fana’.

Akan tetapi pembahasa diatas rumit, dan jarang difahami secara kaffah oleh kebanyakan orang awam bahkan ahli ibadah sekalipun. Kebanyakan orang awam seperti al-faqir, yang dibutuhkan adalah kia-kiat supaya ketika kurang dalam berharap (raja’) kepada Allah Ta’ala, lalu bagaimana cara meningkatkannya? Jika benar demikian, maka disini kita akan lebih memfokuskan bagaimana meningkatkan raja’(harapan)? Diantaranya, yaitu;

1.Qath’u al-‘alaiq || Didalam hati, memutus segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, kecuali Allah Jalla wa ‘ala. Fokus beramal saleh —mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala— dan didalam hati tidak menyibukkan mengingat apapun kecuali Allah Jalla dzikruHu. Jika diperlukan berlatih dengan dzikr al-anfas, yaitu; berdzikir ‘Allah.. Allah’ sesuai irama masuk keluarnya nafas.

Pengalaman al-faqir, jika ini rutin dilakukan maka berdasarkan pengetahuan Anda tentang Allah (al-‘Ilmu bi-Lah) dan hal-keadaan, maka Anda akan ditempatkan pada salah satu dari maqom-maqom yang rumit diatas. Akan tetapi al-Ghazali dalam Minhaj-nya, menempatkan ini pada awal maqom taubah.

2.Tark al-Ma’ashi || Yaitu; meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, baik maksiat dzahir ataupun maksiat bathiniyah, seperti; hasud, riya, iri, pemarah, dlstnya. Karena sebagaimana yang dikatakan Ibnu Athailah (rahimahullah) diatara asbab-musabab kurangnya harapan adalah ketika terjadi zalal (ketergelinciran dalam kemaksiatan).

3.Husnu dzon bil-Lah || Berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.

Al-Imam at-Tsaury (rahimahullah) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah, ayat; 195: Ber-husnudzon-lah kalian kepada Allah, maka sungguh Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang ber-husnudzon keapadaNya. Kemudian beliau menghikayahkan bahwa;

Suatu ketika rasulullah shallalLahu ‘alaihi wa alihi wasalam menjenguk seorang pemuda yang sakit parah, dan mendekati ajalnya. Beliau shallalahu ‘alahi wa alhi wasalam menanyakan: kaifa tajiduka (bagaima keadaanmu)? Ajiduni akhofu dzunubi wa arju rahmata robbi; Baginda nabi, aku mendapati diriku takut (khouf) atas dosa-dosaku, dan aku berharap (raja’) atas ampunan Tuhanku. Jawab pemuda tersebut. Kemudian beliau bersabda: Ketika dihati seorang mukmin bertautan dua hal ini (raja’ dan khouf) maka Allah Jalla wa ‘ala menganugrahkan kepadanya apa yang diharapkan dan memberikan aman dari apa yang ditakutinya. Keterangan ini dapat Anda baca secara detail pada; Quut al-Qulub karya Abu Thalib al-Maky, Juz II, shahifah; 361. Cett: Darr al-Kutub.

4.Tafakur || Sebagaimana yang telah masyhur bahwa bertafakur tentang kebesaran Allah al-‘Aly al-‘Adzim dapat meningkatkan ghirah semangat beramal baik, dan meningkatkan harapan (raja’) dan khouf.

Sebenarnya banyak sekali ragam metode yang digunakan oleh al-Arif bil-Lah untuk meningkatkan raja’ dan khouf, al-faqir kira cukup memilih satu diantara empat diatas.

Akan tetapi jika Anda bersemangat menilik lebih dalam tentang hal yang rumit diatas, maka perlu diketahui bahwa:

من علامة صحة الرجاء في العبد كون الخوف باطنا في رجائه
“Bahwa, diantara tanda kebenaran raja’ dalam diri hamba Allah, adalah terdapat khouf dibalik raja’-nya.”

Sebagai penutup perlu al-faqir katakan, bahwa: “Harapan (raja) bukanlah kebalikan dari takut (khouf), tidak dapat dinafikan keduanya harus berimbang. Harapan (raja’) tanpa tindakan/amal adalah angan-angan (thul al-amal) , akan tetapi melakukan sesuatu tanpa harapan adalah keniscayaan (inevitability). Sedangkan ketakutan (khouf) tanpa tindakan/amal adalah keraguan (skeptis), yang kronis dalam hal ini adalah keputus-asaan. Na’udzu bil-Lah min dzalik.

C. WUJUD AZ-ZALAL

[Wujud az-Zalal] adalah adanya ketergelinciran, bisa juga diartikan tergelincir dalam dosa-kesalahan. Maknanya; Anda dinilai salah dalam standar kompetensi syar'ie. Masanya sekarang atau telah lampau, lebih umum disebut kemaksiatan.

Tidak begitu sulit menjumpai kedudukan salah dihadapan Tuhan, lazimnya semua hamba Allah pernah mengalaminya, kecuali para nabi yang maksum atau para waliyullah dalam makhfudz-Nya.

Mengartikulasikan i'timad amal, —atau menyandarkan amal sebagai nilai pengabdian hamba— dengan kesempurnaan harapan adalah sifatnya 'Ahli Tafakur', akan tetapi jika dihadapkan pada kesalahan, jalannya taubat adalah kemantapan diri tidak mengulanginya lagi, lazimnya akan memunculkan kesedihan dan rendah diri, bahkan ada yang memunculkan intuisi keputus-asaan diri.

Bisa jadi, Anda pernah berbohong, pernah berzina —tanpa berlaku hukum rajam—, pernah mencuri, pernah berjudi, pernah mabuk karena khomer, pernah menghisap narkoba atau sejenisnya. Bahkan, mungkin Anda pembohong, pezina, pencuri, penjudi, atau pemakai. Akan tetapi Allöh Ta'alä selalu Menyerukan kembalilah kepada-KU, bertaubatlah, AKU tidak Melihat seberapa dosamu, karena AKU adalah Sang Penerima Taubat. Sebagaimana sabda nabi "yang taubat layaknya seseorang yang tidak pernah melakukan dosa-kemaksiatan."

Tahukah Anda? Kalau tergelincir dalam dosa-kesalahan adalah sesuatu yang sudah pasti 'azaly' lebih tua dari keberadaanmu sendiri, sedangkan taubat adalah tuntutan Allöh Ta'alä kepada hamba-Nya.

Aku atau mungkin Anda, tidak boleh berputus-asa —harus selalu berharap rahmat Tuhan— karena wujud az-zalal adalah hál-keadaan, sedangkan kedudukanmu adalah hambaNya. Bersandar pada amal (i'timad) adalah hál-keadaan, kedudukanmu jika demikian adalah hambaNya yang tidak ikhlas beramal.

Sebagai penutup, beramal baik tanpa memperinci balasannya adalah sifatnya orang-orang zindiq, sedangkan beramal baik dengan dasar balasannya adalah sifatnya orang-orang jahil. Jika disederhanakan: Perkayakanlah diri dengan amal kebaikan sebagai jalan mencari ridha Allah Ta'ala.

Yogyakarta, 15 Februari 2019


No comments:

Post a Comment