Saatnya Kembali Mengaji Tauhid - Santrijagad

Saatnya Kembali Mengaji Tauhid

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Zia Ul Haq

Kuingat beberapa belas tahun lalu. Ada seorang kawan yang tiap shalat nampak selalu khusyuk di mushalla. Nggumun aku. Suatu ketika kutanyakan resep shalat khusyuk padanya. Jawabannya tak kuduga. Setiap kali shalat dia melihat lafal jalalah 'Allah' di depannya. Kebetulan di mushalla ada jam dinding dengan kaligrafi 'Allah'-nya.

Oke, aku mengerti. Sejak itu kupindahkan jam dinding mushalla, ingin kulihat bagaimana reaksi temanku. Ternyata dia memang 'ketergantungan' dengan tulisan lafal jalalah itu. Sebelum shalat dia cari-cari dimana jamnya. Kujawab rusak. Dia menyayangkan, katanya shalatnya tak bisa khusyuk, lalu terucap kalimat berbahaya, "Gusti Allah-e ora katon."

Kalau sekedar khusyuk tidak khusyuk sih tak masalah buatku, bisa dilatih. Tapi kalau sudah urusan akidah, jelas musti diterang-gamblangkan. Namun kumaklumi pemahamannya yang semacam itu sebab dia memang kurang mengaji. Maka sebagai santri yang saat itu mengaji Ummul Barahin di Pesantren Attauhidiyyah, aku pun menjelaskan sedikit demi sedikit tentang konsep ketuhanan Ahlussunnah wal Jama'ah.

Untungnya temanku itu pribadi yang mau belajar dan mau mendengarkan. Dia muslim yang taat, pekerja yang ulet, dan anak yang berbakti. Kusaksikan sejak dia masih usia SMA, tiap wayah dhuha dia selalu ke mushalla untuk shalat sunnah. Belakangan kudengar dia mau beli tanah untuk bikin pom bensin. Tiap bulan, selain mengirimkan uang untuk orang tuanya di kampung, ia juga nitip sekira lima ratus ribu untuk dibagi ke yatim piatu di desanya.

Di suatu kesempatan Kiai Ahmad -yang mengajarkan tauhid melalui kitab Ummul Barohin- pun pernah menceritakan hal yang sama. Ketika thawaf di Ka'bah, ada satu kawan rombongan haji yang nampak begitu haru bergelayut di kiswah Ka'bah. Begitu ditanya apa resep kekhusyukannya, dijawab bahwa ia seakan-akan melihat Gusti Allah sedang duduk megah di atas bangunan Ka'bah itu.

Begitu banyak kaum muslimin yang belum betul-betul memahami akidah ketauhidannya. Lafal syahadat hanya sekedar diucapkan, paling pol diketahui terjemahnya. Inilah sebabnya mengapa Pesantren Attauhidiyyah begitu gencar mendakwahkan tauhid a la Ahlissunnah wal Jama'ah. Kajiannya cukup tinggi, yakni membedah kitab teologi njelimet karya Syaikh Ibrahim ad-Dasuqi, yang merupakan penjabaran atas risalah karya Syaikh Muhammad as-Sanusi.

Ayah Kiai Ahmad, yakni Kiai Said, merangkum ajaran-ajaran itu dalam kitab-kitabnya yang berbahasa Jawa Tegalan agar mudah dipahami masyarakat sekitar. Kitab-kitab itu berjudul Durusul Mubtadi-in dan Ta'limul Mubtadi-in. Namun para santri lebih akrab menyebutnya Risalah Awwal, Risalah Tsani, dan Dalil Baku. Orang-orang tua di kampung-kampung wilayah Tegal banyak yang hapal Risalah Awal. Belakangan kitab Risalah Awal ini dijadikan mulok wajib di sekolah-sekolah dasar sekabupaten Tegal dan Pekalongan. Terima kasih atas dakwah tauhid Kiai Ahmad yang tak kenal lelah.

Nah apesnya, istilah 'dakwah tauhid' justru lebih populer menjadi brand kalangan kaum muslimin yang justru berakidah mujassimah, yang meyakini bahwa Allah Ta'ala bertangan, berkaki, dan bertempat. Dengan jargon pemurnian tauhid, mereka menyerang kalangan pesantren dengan tuduhan syirik, bid'ah, bahkan menjerumus pada pengkafiran. Hanya sebab urusan khilafiyah semisal tahlilan, maulidan, tawassul, dan istighatsah.

Apesnya lagi, sejak istilah 'dakwah tauhid' itu dibajak kalangan intoleran, justru kalangan santri jadi alergi dengan istilah tauhid. Pola semacam ini juga terjadi pada istilah-istilah lain semisal 'salaf', 'khilafah', 'santri', dan yang sedang ramai 'kalimat tauhid'. padahal sejak dulu masyarakat muslim di Nusantara begitu populer dengan simbol tauhid. Bahkan bendera Kesultanan Cirebon -yang didirikan Sunan Gunung Jati- berupa kalimat tauhid dengan kaligrafi berbentuk macan yang disebut 'Singha Barwang' atau lebih masyhur disebut 'Macan Ali'.


Namun sejak munculnya organisasi-organisasi bengis berkedok Islam yang menyalahgunakan kalimat tauhid di bendera mereka, semacam ISIS dan Boko Haram, maka simbol itu kemudian jadi merk teroris, patut dicurigai, dan dianggap berbahaya. Kalimat tauhid memang milik umat Islam, tapi ketika kalimat tersebut sudah ditorehkan ke bendera, maka ia menjadi atribut bagi kelompok yang menorehkannya. Termasuk para teroris. Sial sekali. Maka kukira wajib bagi kita untuk merebut kembali simbol suci ini dari pembajakan para biadab haus darah berkedok agama. Caranya bagaimana? Gelorakan pengajian tauhid ala Ahlissunnah wal Jama'ah, kembali ke pesantren, tebarkan nuansa kasih sayang Tuhan sebagai ejawantah atas kalimat tauhid yang terpatri di sanubari.

Aku tak sepakat dengan aksi Banser membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid yang sudah lazim menjadi brand Hizbut Tahrir. Ya meskipun memang Hizbut Tahrir sudah resmi jadi organisasi terlarang -bukan hanya di Indonesia. Menurutku aksi pembakaran itu berlebihan. Cukuplah disita, lalu pembawanya serahkan kepada polisi. Selesai. Tapi aku juga tak sepakat dengan reaksi yang juga berlebihan, seakan-akan Banser sudah menistakan Islam dengan membakar kalimat tauhid. Apalagi jika ternyata aksi protes ini ditunggangi para simpatisan ISIS yang berniat ngantemi benteng Nahdlatul Ulama.

Aku ingat betul ketika dulu pertama kali aksi-aksi brutal ISIS moncer, banyak saudara-saudara kita yang simpati dengan gerakan itu dan menyebutnya jihad. Baru kemudian setelah ISIS terbukti brengsek, mereka cuci tangan dan mengakui bahwa ISIS adalah konspirasi Barat.

Orang-orang yang betul-betul bertauhid -tidak sekedar benderanya saja- akan betul-betul memuliakan manusia yang bertauhid lainnya. Mereka tidak akan mencaci maki apalagi menghalalkan darah sesamanya. Bahkan Rasulullah sempat marah ketika di saat perang seorang sahabat membabat musuh yang sudah melafalkan kalimat syahadat, meskipun kemungkinan besar syahadtnya hanya kamuflase agar selamat. Tetapi bagi Rasulullah, kalimat syahadat itu sangat mulia, berikut pelafalnya. Sangat kusayangkan bila ternyata banyak kaum muslimin simpati terhadap ISIS sebab tidak paham konsep hirmatu dzimmati wad dammi ini.

Maka kepada orang-orang semacam itu yang dulu mendukung ISIS dan kini sok peduli dengan bendera bertuliskan kalimat tauhid, kugugat;

Where are you when the bandits used the 'tauhid flag' and slaughtered the 'tauhid people'? You kept silent, even supported them and called it as 'jihad'.

Di mana Anda kala para bandit (ISIS) menggunakan 'bendera tauhid' untuk bantai 'orang-orang bertauhid'? Anda diam, malah mendukung mereka dan menyebutnya 'jihad'. 

 Ø§ÙŠÙ† انت حين استعمل المجرمون راية التوحيد لقتل اهل التوحيد؟ سكتت، بل دعمتهم Ùˆ سميته الجهاد

Rika ning endi pas begal-begal kae (ISIS) nganggo 'gendira tauhid' mateni 'wong-wong ahli tauhid'? Rika meneng, malahan ndukung karo ngarani kuwe 'jihad'.

Apalagi ternyata banyak di antara kaum muslimin yang belum tahu bahwa membakar kalimat-kalimat suci itu dibolehkan. Aku kerap membakar sobekan-sobekan mushaf berisi ayat-ayat Quran untuk menjaganya agar tidak terbuang dan terinjak-injak. Apakah mungkin Banser yang notabene underbow Nahdlatul Ulama itu membakar bendera tauhid dengan niat menghina Islam? Impossible! Tapi sebagaimana sudah kukatakan, aku tak sepakat dengan aksi pembakaran saat itu. Konteks dan situasinya tidak tepat.

Terakhir, kutegaskan kembali. Marilah kita klaim kembali simbol-simbol kemuliaan Islam dari tangan para pembajak yang mengatasnamakan Islam. Dakwah tauhid kita gelorakan dengan memakmurkan pengajian-pengajian Ahlussunnah wal Jama'ah ala Asy'ariyyah-Maturidiyyah. Tradisi salaf kita lestarikan dengan menyokong kebertahanan pesantren-pesantren salaf penelor generasi ulama mutafaqqih. Semangat penegakan khilafah kita hidupkan dengan pemeliharaan terhadap alam ekologis dan penyuburan amal-amal kemanusiaan.

Kalibening, Salatiga 24 Oktober 2018

1 comment:

  1. Jare kyaine nyong "harusnya pemerintah melarang penggunaan sesuatu yg sifatnya milkul'am dipakai oleh khos, seakan2 ini milik pribadi atau kelompok tertentu...

    ReplyDelete