Pesantren yang Selalu Memberi dan Tak Harap Kembali - Santrijagad

Pesantren yang Selalu Memberi dan Tak Harap Kembali

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Emil Yakun

Negeri ini dibangun oleh banyak darah dan nyawa para pahlawan. Dan diantara banyak para pahlawan yang gugur dalam upaya perjuangan kemerdekaan adalah orang-orang yang dibesarkan di pesantren. Semasa SMA saya masuk pesantren di daerah Babakan Lebaksiu Tegal, pesantren ini dulunya adalah markas Hizbullah kabupaten Tegal. Sebagai salah satu pesantren tertua dikabupaten Tegal dengan banyaknya para kiai lulusan Tebuireng Jombang, maka tak heran jika banyak para kiai dari pesantren ini yang mewarisi jiwa patriotisme dari K.H. Hasyim Asy’ari. Salah satunya adalah Kiai Muhammad dan Kiai Dahlan.

Ketika terjadi penggerebekan penjajah terhadap pesantren babakan, sebenarnya kebanyakan para santri dan kiai sudah melarikan diri, tetapi Kiai Muhammad lupa untuk membawa peci, kemudian beliau kembali ke pesantren untuk mengambil peci sampai akhirnya ditangkap oleh penjajah. Begitulah para ulama dahulu, dalam keadaan perang sekalipun tetap istiqomahnya terhadap ajaran Islam bahkan rela syahid walaupun demi hal yang menurut kita sepele. Singkat cerita kiai Muhammad dieksekusi oleh penjajah (karena besarnya peran beliau dalam perlawanan Hizbullah kabupaten Tegal).

Jenazah Kiai Muhammad sendiri tidak ditemukan sampai sekarang. Sedangkan kiai Dahlan sempat ditangkap dan disiksa sampai mengalami sakit permanen dan beberapa tahun kemudian wafat dengan perantara sakit tersebut. Itulah sedikit kisah tentang perjuangan pesantren dalam kemerdekaan RI, sedikit dari banyak kisah yang dituturkan oleh para guruku di pesantren. Belum lagi kita pernah dengar tentang pertempuran Surabaya (hari pahlawan), dimana banyak pahlawan yang syahid berasal dari kalangan pesantren. Mereka syahid demi Indonesia dengan banyak diantaranya yang tidak menyandang gelar sebagai pahlawan.

Sepanjang yang saya ketahui pesantren Islam pertama di bumi pertiwi sudah ada sejak zaman Walisongo, tepatnya didirikan pertama kali oleh Sunan Ampel Surabaya. Banyak sumbangsih pesantren terutama dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain mengajarkan ilmu agama, lembaga pesantren juga mengajarkan banyak ilmu lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Sebagai contoh bagi anak kalangan priyayi, pesantren mengajarkan akhlak dan budi pekerti sebagai bekal ketika memimpin kerajaan. Apabila dari kalangan petani maka pesantren juga mengajarkan ilmu pertanian, pesantren juga mengajarkan seni dan banyak hal lainnya sehingga ajaran Islam mudah menyebar dan diterima oleh semua kalangan.

Sebelum kemerdekaan Indonesia ada banyak pejuang dari pesantren yang memberikan perlawanan terhadap penjajah, ketika kemerdekaan banyak lembaga dari pesantren yang ikut memperjuangkan kemerdekaan seperti NU dan Muhammadiyah, dan sampai sekarang pun masih banyak tokoh pesantren yang ikut terlibah membangun bangsa dan menjaga keutuhan NKRI. Pesantren di indonesia telah banyak melahirkan para pemikir, para pejuang, para perintis kemerdekaan dan banyak tokoh di negara ini baik sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang. Mereka ini berjuang demi bangsa indonesia dengan tidak menggunakan embel-embel pesantren dalam perjuanganya. Bangsa ini telah berhutang sangat banyak kepada pesantren. Lantas apa yang terjadi terhadap pesantren setelah indonesia merdeka?

1. Ancaman terhadap kurikulum pesantren

Setelah Indonesia merdeka banyak lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar sampai universitas yang dirintis dari pesantren. Lembaga pendidikan ini dibuat sebagai sumbangsih pesantren dalam upaya mencerdasakan kehidupan bangsa. Dengan berjalanya waktu lembaga pendidikan ini makin besar dan banyak di antaranya diubah menjadi sekolah negeri. Awalnya program ini tidak mengalami masalah, dari kalangan para kiai pesantren mereka ikhlas saja karena berharap dengan dijadikan sekolah negeri akan membuat biaya pendidikan lebih murah dan memiliki fasilitas lebih lengkap.
Akan tetapi dengan berjalannya waktu sekolah formal ini cukup mengancam eksistensi pesantren. Makin banyaknya jam belajar sekolah formal membuat program pesantren hanya menjadi sampingan. Belum lagi banyaknya tugas dan tuntutan dalam sekolah formal membuat pesantren makin kewalahan dalam mengaplikasikan kurikulumnya. Apalagi sekolah berbasis pesantren biasanya kalah dalam segi pendanaan dan megahnya bangunan.

Beberapa pesantren (terutama pesantren baru) mengalah terhadap perubahan ini. Kebanyakan kurikulum pesantren hanyalah pelengkap sekolah formal. Dalam praktiknya banyak ajaran pesantren yang mulai dihilangkan satu per satu, misalnya saja pendalaman ilmu alat (nahwu sorof), kajian kitab kuning dan hafalan nadzam. Menurut pengamatan saya banyak pesantren-pesantren sekarang ini yang lebih suka jualan program menghafal Al-Qur’an, karena memang program ini lebih praktis dan lebih mudah disesuaikan dengan sekolah formal.

Bukannya saya tidak suka dengan pesantren penghafal Al-Qur’an. Akan tetapi menurut saya menghafal Al-Qur’an adalah hal sunnah sedangkan mempelajari ilmu khal (yang banyak di ajarkan dalam madrasah diniyah) adalah ilmu dasar dan wajib, sehingga alangkah baiknya jika dalam awal pembelajaran ilmu agama adalah mempelajari ilmu hal, ilmu alat dan pengetahuan dasar lainnya setelah cukup barulah menghafal dan mempelajari Al-qur’an lebih dalam. Sangat disayangkan jika ada santri yang menghafal Al-Qur’an akan tetapi ternyata tidak paham tentang syarat wajib dan rukun-nya sholat (kenyataanya sekarang ini saya banyak menemukan kasus seperti ini).

Sebenarnya masih ada pesantren yang masih memegang teguh kurikulum lamanya. Sebut saja misalnya Pesantren Lirboyo Kediri. Saat saya berkunjung ke pesantren ini ada ribuan santri yang masih mempertahankan pembelajaran pesantren salaf, kebanyakan santri tidak sekolah formal dan hanya fokus pada pembelajaran agama. Suasana pesantren tradisional sangat kental disini, selain itu ada yang sudah menjadi santri sampai lebih dari 20 tahun. Akan tetapi sepanjang yang saya ketahui lulusan pesantren seperti ini cukup kesulitan ketika terjun ke masyarakat yang menjunjung tinggi materi dan jabatan. Adopsi sitem masyarakat modern menyulitkan pekembangan pesantren dimana tuntutan ijazah dalam pencarian pekerjaan menuntut setiap anak di indonesia untuk sekolah umum, belum lagi tuntutan masuk universitas negeri dengan jurusan mentereng membuat pesantren tradisional makin kembang kempis. Sepertinya sistem di negara ini mengancam eksistensi pesantren tradisional.

2. Minimnya bantuan pemerintah terhadap lembaga pesantren

Dengan besarnya jasa pesantren ini, sungguh sangat miris jika eksistensinya di bumi Indonesia kurang dihargai (menurut saya). Sebagai bukti sampai Indonesia merdeka lebih dari 70 tahun, lembaga pesantren hanya menjadi pendidikan informal. Sangat bebeda dengan pendidikan formal (SD, SMP, SMA sampai universitas) dimana banyak sekali dana yang pemerintah berikan terhadap sekolah formal ini akan tetapi sangat sedikit bahkan hampir tidak ada untuk pesantren.
Saya masuk sekolah negeri sejak bangku sekolah dasar sampai kuliah, selama itu pula banyak bantuan pendidikan dan beasiswa yang saya terima. Akan tetapi ketika di pesantren tidak ada bantuan pemerintah atau swasta terhadap pesantren. Nampaknya kebijakan pemerintah lebih mengutamakan menggunanakan anggaran APBN atau CSR swasta terhadap dunia pendidikan formal, bahkan sepertinya lebih banyak CSR yang digunakan dalam kegiatan PENSI (petas seni) dibanding untuk pengembangan pesantren.

Padahal yang saya amati, lebih banyak masyarakat kalangan tidak mampu yang masuk ke pesantren dibandingkan sekolah formal. Dan kehidupan pesantren jauh lebih meprihatinkan dibandingkan sekolah formal. Sebagai contoh banyak berita yang membesarkan kasus bangku dan meja rusak di sekolah formal, padahal ketika dipesantren (ngaji ngapsahi) saya tidak menggunakan meja dan kursi untuk ketika meterjemahkan kitab kuning sampai-sampai saya mengalami kelainan tulang belakang karena terlalu intensnya membungkuk ketika belajar.

Saya berfikir mungkin para kiai pesantren memang tidak suka menerima uang dari pemerintah. Takut akan uang syubhat, takut akan kehilangan keberkahan akan uang subhat tersebut. Jangankan uang subhat, uang yang halal saja mereka masih takut ketika salah dipergunakan. Saya ambil contoh ada seorang ulama yang membangun yayasan dengan sebagian uang dari masyarakat. Kemudian ketika sang ulama meninggal, yayasan diambil alih ahli warisnya. Ternyata ada ahli waris yang menyalahgunakan yayasan dan menganggap yayasan sebagai miliknya sendiri (lupa kalau yayasan milik ummat). Akhirnya ahli waris ini mulai kehilangan keberkahan dan hidupnya mulai bermasalah entah masalah keluarga, masalah anak atau masalah terhadap kesehatanya.

3. Ancaman terorisme di dunia pesantren

Pesantren adalah pencinta NKRI, tidak ada satupun ajarannya yang intoleran terhadap NKRI. Baik para kiai ataupun santri akan tetap setia pada Pancasila. Tidak ada sedikitpun keinginan melawan NKRI, bahkan dengan semua perlakuan pemerintah seperti yang dijelaskan di atas. Kesetiaan pesantren terhadap NKRI sudah ada sejak awal kemerdekaan indonesia karena memang negara ini dibangun oleh banyak orang-orang dari pesantren.

Sangat sedih jika pesantren (terutama pesantren tradisional) dikaitkan dengan terorisme. Menurut saya ajaran cinta tanah air di pesantren jauh lebih kuat dibandingkan sekolah formal. Mungkin jika paham radikalisme menyerang seluruh lembaga pendidikan, maka pesantren adalah lembaga terakhir yang bebas dari paham radikalisme ini. Tetapi tenang saja, walaupun kami sakit hati tetapi kami tidak akan marah atau memberontak terhadap NKRI.

Memang ada beberapa lembaga baru yang mengaku sebagai pesantren yang mengajarkan paham radikalisme, akan tetapi saya tegaskan bahwa mereka ini bukanlah pesantren yang sedang saya bicarakan. Karena yang saya bicarakan adalah pesantren tradisional yang ikut mendirikan bangsa ini dan ikut menyusun pancasila. Dan masih banyak masalah dalam masayarakat modern lainnya yang menggangu eksistensi pesantren saat ini.

Refleksi

Saya menulis ini bukan untuk tujuan mengasihani pesantren atau meminta pemerintah memberikan anggaran atau membuat kebijakan khusus pesantren. Karena pesantren hanya mengenal istilah memberi kepada bangsa indonesia. Pesantren tidak akan marah walaupun keberadanya makin terpojokkan dalam arus globalisasi sekarang ini. Pesantren ibarat lilin yang sesungguhnya, akan terus menerangi bangsa indonesia walaupun harus terbakar sampai habis.

Saya ingin mengajak para santri ataupun siapa saja yang peduli terhadap pesantren. Supaya kita membantu dengan kemampuan kita supaya identitas pesantren dengan budayanya yang positif dapat terus dipertahankan ditengah arus perkembangan zaman sekarang ini. Saya yakin jika kita semua bekerja sama maka kita dapat membantu pesantren menjadi lembaga yang lebih banyak bermanfaat bagi bangsa ini. Sebagai contoh kita dapat menyatukan kurikulum pesantren dengan sambil mengasah keterampilan para santri dalam banyak hal. Keterampilan yang saya maksud disini adalah keterampilan sebagai frofesional bukan sekedar tahu. Misalnya keterampilan bidang IT, santri dapat menjadi ahli IT seperti lulusan universitas ternama bukan hanya sebatas mengenal IT saja.

Pesantren dari dahulu kala selalu mengalami perubahan supaya keberadaanya lebih berguna bagi masyarakat. Pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang statis tetapi selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Kemampuan pesantren untuk beradaptasi inilah yang membuat pesantren bertahan ratusan tahun dibumi indonesia. Saya yakin ada suatu cara supaya disatu sisi eksitensi pesantren dapat terus dipertahankan (dengan seluruh budayanya) dan disisi lain para santri dapat mengikuti globalisasi. Saya mendambakan kelak pesantren dapat menghasilkan santri yang mengerti agama dan ahli teknologi, santri yang mendapatkan nobel, santri yang menjadi pengusaha, santri yang kuliah di MIT, atau mungkin santri yang pertama kali mendarat di MARS.

*Penulis adalah akademisi bidang kimia dan santri Pondok Pesantren Babakan, Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah.

No comments:

Post a Comment