Ngapsahi; Seni Membaca Kitab ala Santri - Santrijagad

Ngapsahi; Seni Membaca Kitab ala Santri

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Zia Ul Haq

Saat ini, mulai banyak kiai yang menyiarkan pengajian pasanan dengan membacakan kitab-kitab klasik melalui media sosial. Cara membacanya pun cukup unik, yakni dengan memaknainya sesuai bahasa daerah kata per kata. Di kalangan santri, budaya ini disebut dengan 'ngapsahi'.

Anda boleh mengatakan bahwa ngapsahi hanyalah metode penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa daerah, tapi saya kira ngapsahi bukan sekedar menerjemahkan. Dahulu, zaman madrasah, saya kira gaya membaca kitab ala pesantren ini sangatlah tidak efektif, bertele-tele, dan tidak memahamkan.

Bagaimana tidak, lha wong tiap kata dimaknai dengan begitu rinci. Mana mubtada' mana khobar, mana fa'il mana maf'ul. Malah untuk mencari rujukan suatu kata ganti (dlomir) pun kerap bikin repot. Kadang dalam sekali pengajian hanya dapat satu-dua halaman saja.

Namun ternyata, dengan perlakuan yang tepat, metode semacam ini justru menjadi salah satu model pembacaan terbaik, sebab setiap kata diketahui posisinya dengan tepat. Sayangnya, kebanyakan kawan santri yang saya kenal memperlakukan model ngapsahi ini hanya sekedar 'warisan orang tua'.

Bahkan ada beberapa santri yang mulai meninggalkannya dan beralih ke pembacaan yang dianggap lebih modern. Padahal metode ngapsahi ini sangat bagus untuk belajar membaca bagi santri-santri pemula. Maka tak heran jika para santri itu bisa memahami isi kitab berbahasa Arab dengan baik meskipun mereka bukan penutur bahasa Arab. Sebab reading skill-nya sudah terasah dengan baik.

Kalau diukur dengan teori pembacaan yang dikemukakan Adler dan Doren dalam 'How To Read A Book', cara baca semacam ini bukan lagi sekedar pengejaan dan inspeksif, tapi sudah ke tahap analitis. Bahkan dalam praktek musyawarah atau bahtsul masail, para santri itu sudah mempraktekkan level pembacaan tertinggi; sintopis. Nah, apa itu gaya baca pengejaan, inspeksif, analitis, dan sintopis?

Pengejaan adalah gaya baca di tahap awal, yakni tentang bagaimana cara mengenali dan membunyikan rangkaian huruf berupa tulisan. Ini gaya baca kelas sekolah dasar. Inspeksif, tahap kedua, adalah tentang memahami maksud dari suatu tulisan.

Analitis, tahap ketiga, sudah pada tahap menelaah aspek-aspek tulisan, mulai dari gramatika, gaya bahasa, konteks, majas, dan semacamnya. Anak kuliahan -mustinya- mulai bisa memakai metode ini. Tiga gaya baca tersebut ada dalam praktek ngapsahi di pesantren, baik secara bandongan (kiai membacakan, santri menyimak) maupun sorogan (santri membacakan, kiai menyimak).

Sedangkan tahap paling mahir, sintopis, adalah tentang menyandingkan satu teks dengan teks-teks lain, sehingga melahirkan satu sintesis pemahaman yang bisa melahirkan ide baru. Waktu belajar nulis bareng Mas Bandung, kami dibimbing untuk melakukan dasar-dasar sintopis, yakni membaca lima buku dengan tema berbeda, kemudian menuliskan ide baru yang diperas dari lima buku itu dalam satu paragraf.

Dengan gaya baca ngapsahi ini, dapat dipastikan bahwa dalam suatu pelajaran ada satu kitab yang diselesaikan pembacaannya. Maka tak heran jika pendidikan pesantren begitu kental dengan budaya literasi. Yang mengherankan justru jika ada santri yang tak akrab dengan kitab-kitab. Apalagi jika berkaitan dengan rujukan hukum-hukum syariat, harus ada referensinya. Santri yang asal 'menurut saya' pasti takkan digubris.

Saya rasa cara membaca buku secara tuntas macam ini sangat bagus. Lebih baik kita menuntaskan satu-dua buku referensi secara menyeluruh, daripada membaca banyak buku tapi hanya mengutip satu-dua kalimat saja. Sebagaimana lazim terjadi di lingkungan akademik kampus, yakni saat mahasiswa menyusun makalah, atau bahkan tugas akhir kuliah. Dari sekian puluh referensi buku yang dijajar di daftar pustaka, mana ada yang sudah dibaca tuntas?

Saya juga curiga, jangan-jangan gaya baca ala kampus ini mempengaruhi pola pikir banyak sarjana menjadi parsial, tidak komplit dalam memahami suatu isu. Cukup comat-comot beberapa artikel tentang suatu hal, tanpa ada penelaahan yang utuh, apalagi pembanding, kemudian menyimpulkan sekenanya.

Apalagi jika pembacaan gaya koboi semacam itu menjajah urusan agama dengan langsung merujuk pada sumber-sumber primer, yakni Quran-Hadits. Itu pun tanpa pemahaman yang cukup terhadap dasar-dasar ilmu penunjang, sehingga yang dipakai adalah rujukan-rujukan terjemahan yang diracik secara parsial ala makalah, maka yang terjadi adalah arogansi intelektual kalangan awam.

Silakan sanggah kalau saya salah.

Nah, kentalnya budaya literasi dan pembacaan tuntas ini menjadi sisi istimewa pembelajaran di pesantren. Lebih istimewa lagi, ada level pembacaan ala pesantren yang tidak tercakup dalam empat teori di atas, yakni model pembacaan 'magis'.

Yakni ketika ada santri yang kesehariannya ngarit rumput buat pakan kambing kiainya, nggak pernah ngapsahi. Lha ketika mendadak disuruh ngajar di tengah masyarakat kok bisa begitu lancar menjabarkan isi kitab?

Ada satu kawan yang ketika mondok kegiatannya resik-resik ndalem kiai. Tak pernah ikut pengajian bandongan, apalagi sorogan. Begitu sudah pulang kampung, ia diminta warga untuk ngajar ngaji. Bingunglah dia.

Tapi sebab kemantapan hati, dia buka kitab fikih Fathul Qarib yang masih resik; gundul dan kinclong. Ia tawassul dengan kirim fatihah kepada Rasulullah, penulis kitab, dan gurunya. Lalu ia pun mulai membaca kitab itu dengan lanyah tanpa hambatan, dengan gaya baca ngapsahi, dan terasa begitu gampang menjabarkan kandungannya.

Tentu yang semacam itu bukan hal yang lazim bagi kebiasaan (khariq lil 'adah).

Saya renungkan, ternyata kemampuan pembacaan ini pada perkembangannya juga berpengaruh pada cara pandang kita terhadap narasi non-teks. Bagi yang masih di tahap pengejaan, ketika melihat suatu fenomena, dia hanya akan 'membunyikannya' kembali. Bagi yang di tahap inspeksif, sudah bisa menyimpulkan maksud suatu kejadian. Bagi yang di tahap analitis, sudah bisa menelaah apa yang ada di balik suatu kejadian. Bagi yang terbiasa sintopis, sudah bisa merangkai puzzle kejadian-kejadian, di waktu dan ruang yang berbeda, kemudian mengemukakan hasil penelaahan plus prediksi. Bagi yang sudah bermetode magis, saya tak bisa bayangkan.

Terakhir, perlu kita ingat bahwa perintah pertama dari Allah kepada Rasulullah, bahkan sebelum perintah shalat puasa zakat haji, adalah perintah membaca. Nah pertanyaannya; dalam hal membaca Quran, kita ini ada di level pembacaan yang mana? Jangan-jangan baru tahap pengejaan; yakni latihan membaca bunyi-bunyinya sesuai makhraj dan tajwid, kok sudah berlagak ahli sintopis, bahkan sudah sok jadi penafsir magis.

_______
Krapyak, Rebo Legi 5 Ramadan 1438. Rekomendasi buku: How To Read A Book karya Mortimer J. Adler & Charles van Doren (New York, Touchstone: 1972)

1 comment:

  1. mantuulll, artikel ini membuat hati saya jadi lega, matursuwun

    ReplyDelete