Gempa di Baghdad Pada Masa Syaikh Abdul Qadir al-Jilani - Santrijagad

Gempa di Baghdad Pada Masa Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Ust. Arif Chasanul Muna

“Gempa tersebut telah meluluh lantakkan banyak bangunan, penduduk Iraq berlari meninggalkan rumah menuju padang pasir yang aman dari reruntuhan. Setelah goncangan gempa berhenti, baru mereka kembali ke rumah lagi."

Demikian tulis Ibnu al-Atsir (555-630 H.) dalam al-Kamil fi al-Tarikh menceritakan gempa hebat yang terjadi di Irak pada tahun 479 H. Gempa ini bukan hanya melanda daerah Iraq namun pada waktu bersamaan daerah Syam dan Jazirah Arabia juga mengalami gempa yang sama. Daerah yang begitu luas bergetar dalam waktu yang hampir bersamaan.

Delapan tahun berikutnya, tepatnya bulan Muharram tahun 487 H. kota Baghdad mengalami guncangan yang amat hebat. Gempa tahun ini tidak seluas sebelumnya, namun tetap menakutkan dan mencekam. Tanah terasa bergoyang seperti perahu di tengah lautan. Pada dua kejadian gempa tersebut Syaikh ‘Abdul-Qadir al-Jilani belum berada di Baghdad. Baru setahun setelahnya (488 H), di usia delapan belas tahun al-Jilani yang datang dari kota yang amat jauh memantapkan hati memasuki kota ini, untuk menuntut ilmu.

Di kota tua ini Syaikh ‘Abdul Qadir menapaki garis jalan hidupnya yang penuh liku dan juga cahaya. Selama tujuh puluh tiga tahun menjadi saksi berbagai peristiwa, termasuk gempa yang silih berganti menggoncang kota ini.Tercatat tidak kurang dari sepuluh kali, gempa pernah menggetarkan bumi Baghdad selama Syaikh Abdul-Qadir berada di sana hingga tahun 561 H..

Gempa terdahsyat yang menggemparkan warga adalah gempa yang terjadi ketika Syaikh Abdul Qadir berusia lima puluh sembilan tahun. “Gempa terjadi berulang-ulang. Saya tidak dapat menghitungnya. Gempa bermula pada hari Kamis 11 Syawal tahun 529 H. Pada hari itu bumi Baghdad bergetar selama enam kali. Kejadian ini berlangsung berhari-hari hingga tujuh belas hari lamanya. Setiap hari goncangan yang terjadi sampai lima atau enam kali. Dan baru berakhir pada hari Jumu`ah 27 Syawal.”

Demikian kisah Ibn al-Jauzi (509-597 H.) yang waktu itu baru berusia dua puluhan tahun dalam bukunya ‘al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam’. “Atap-atap rumah roboh, dinding-dinding bangunan ambruk berserakan, …. dan orang-orang bermunajat minta ampun dan pertolongan kepada Allah –subhanahu wata’ala-“ lanjut Ibn al-Jauzi.

Masjid, madrasah, dan pondok Syaikh Abdul-Qadir berdiri di pojokan kota tua ini. Belum lama bangunan itu selesai, baru satu tahun sebelumnya (528 H) dibangun oleh para murid dan warga. Setiap sudut ruangan bangunan tersebut terlihat majelis-majelis ilmu dan dzikir yang dipenuhi para murid yang tenggelam dalam kenikmatan, memendam rindu dan juga harapan untuk merengkuh nikmatnya taqarrub dengan Sang Kekasih. Di tempat itu pula para salik ditempa akhlak dan kepribadiannya. Semua orang berusaha untuk saling mengormati dan tidak mau menyakiti. Saling menolong, rukun dan tidak mau membenci. Pesan Syaikh Abdul Qadir kepada murid-muridnya,

لا تظلموا أحداً ولو بسوء ظنِّكم فإنَّ ربَّكم لا يجاوز ظلم ظالم

“Janganlah kalian berbuat aniaya kepada siapapun meskipun itu hanya berburuk sangka, karena Tuhanmu tidak mengampuni kezhaliman orang yang zhalim.”

Meski gempa menggoncang bumi Baghdad tujuh belas hari, namun dalam catatan sejarah, tidak ditemukan berita tentang robohnya dinding-dinding yang dibangun atas dasar ketakwaan ini. Kasih sayang Allah melindungi para salik dan murid yang taat kepada guru mulianya; rukun-damai dan suka menebar kasih sayang kepada sesama.

Rasa nikmat dalam naungan anugerah keselamatan itu tidak kemudian dirasakan sendiri saja, namun sejarah mencatat nasihat mulia Sidi al-Syaikh ‘Abdul-Qadir al-Jilani, kepada saudara-saudara yang tertimpa musibah, bahwa semuanya itu, kenikmatan maupun musibah adalah sama-sama pemberian dari Dzat yang sama,

وَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلبَلِيَّةَ لَمْ تَأْتِ الْمُؤْمِنَ لِتُهْلِكَه۫ وَإِنَّمَا أَتتهُ لِتَخْتَبِرَه۫

“Ketahuilah bahwa musibah yang menimpa orang mukmin bukanlah untuk menghancurkannya, tetapi musibah itu datang untuk menguji (kesabaran dan keimanan).”

فَإِنْ جآءَتْكَ النَّعْمآءُ فَاشْتَغِلْ بِالذِّكْرِ وَالشُّكْرِ  وَإِنْ جآءَتْكَ اْلبَلْوٰى فَاشْتَغِلْ بِالصَّبْرِ وَالْمُوَافَقَةِ  وَإِنْ كُنْتَ أَعْلىٰمِنْ ذٰلِكَ فَالرِّضَا وَالتَّلَذُّذُ

“Maka bila kenikmatan datang kepadamu, maka sibukkanlah dirimu dengan dzikir kepada Allah dan banyak bersyukur. Dan apabila musibah yang sedang menimpamu, maka sibukkan lah dirimu dengan kesabaran dan menyetujui (taqdir itu). Dan jika engkau ingin menggapai derajat yang lebih tinggi, maka (sambutlah musibah itu) dengan kerelaan hati dan rasakan itu sebagai kenikmatan dari Sang Pemberi.”

Begitulah memang adanya, kenikmatan dan musibah adalah sama-sama pemberian dari Dzat yang Maha Pemberi.

اللَّهُمَّ انْشُرْ نَفَحَاتِ الرِّضْوَانِ عَلَيْهِ * وَأمِدَّنَا باْلأَسْرَار الَّتِيْ أوْدَعْتَهَا لَدَيْهِ 

عَلَى الْكَافِى صَلاَةُ الله * عَلَى الشَّافِى سَلاَم الله
بِمُحْيِ الدِّيْنِ خَلِّصْنَا * مِنَ الْبَلْوَاءِ يَا الله

*Sebagian disampaikan pada “Manaqiban” malam Ahad Pahing (14 Oktober 2018) di Musolla Miftahul Jannah Pasirsari

No comments:

Post a Comment