Memahami Tingkatan Ngaji: Awam, Santri, Ulama - Santrijagad

Memahami Tingkatan Ngaji: Awam, Santri, Ulama

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Zia Ul Haq

Jangan salah baca, judulnya 'stratifikasi' atau perjenjangan dalam ngaji. Bukan 'sertifikasi' yang meski maknanya berkaitan dengan kualifikasi, namun nuansanya sangat kental dengan fulus tunjangan profesi. Hehe. Oya, istilah 'ngaji' yang saya maksud di sini adalah suatu kegiatan menimba ilmu agama secara klasik dari guru-guru yang berkompeten. Bukan 'ngaji' dalam makna yang diluas-luaskan.



Saya tertarik menulis ini sebab menyadari bahwa agama adalah tema yang sangat renyah diobrolkan siapa saja, mulai dari yang paling awam hingga yang paling alim. Mulai dari yang tak tahu kriteria air buat bersuci hingga yang pandai meramu hukum-hukum fikih. Namun sayangnya tak sedikit dari kita yang offside, yakni ketika seseorang terlalu banyak berpendapat tentang sesuatu yang tidak dipahaminya.

Ada pula yang ketika baru sedikit nyemplung dalam dunia pengajian, eh sudah ceriwis bicara banyak hal tentang apa yang sama sekali belum dipelajarinya. Newbie syndrome. Oleh sebab itu kita musti memahami posisi diri sendiri biar tak kebablasan bercuit. Entah dalam obrolan sehari-hari ataupun cuitan di media sosial.

Ada beberapa jenjang -menurut saya- dalam wilayah ngaji kaum muslimin. Tentu saja dalam hal ini sesuai konteks keindonesiaan. Basis pemahamannya adalah kewajiban bahwa setiap muslim wajib mengaji perihal agamanya.

-

Strata pertama ialah level awam. Inilah lapis paling awal dalam perjalanan keilmu-syariahan seorang muslim. Yakni ketika ia mengaji hal-hal pokok dalam agamanya secara praktis, baik dalam ranah keyakinan, peribadatan, maupun nilai-nilai moral. Khususnya adalah tentang siapa Tuhannya, bagaimana cara melaksanakan ritual-ritual keagamaan dalam rangka menyembah-Nya, dan bagaimana memperlakukan sesama manusia.

Dalam prakteknya, jenjang ini dilaksanakan di majlis-majlis taklim para pemuka agama, pengajian-pengajian rutinan di masjid-masjid, atau sekolah-sekolah umum mulai jenjang SD hingga SMA. Sasarannya adalah agar masyarakat bisa memahami tata cara ibadah, baik mahdlah maupun muamalah, serta melaksanakannya dengan benar.

Maka biasanya, para pengajar di jenjang ini tidak perlu menyampaikan dalil-dalil sebagai sumber rujukan. Yang penting masyarakat terima beres, hidangan matang yang tinggal disantap. Apesnya, sebab ketidakpahaman terhadap strata ini, banyak sedulur-sedulur puber agama yang menganggap bahwa para para ustadz kampung tak paham dalil.

Tahap inilah yang menduduki taraf wajib 'ain bagi setiap muslim. Apapun profesinya, berapapun usianya. Ia harus paham tentang garis besar enam rukun iman, bagaimana tata cara pelaksanaan lima rukun Islam, serta paham terhadap etika kehidupan sebagai makhluk individu dan sosial. Ilmu yang bersifat wajib ini adalah bekal dasar untuk menapaki jalan menuju keselamatan dunia akhirat.

--

Strata kedua, level santri tingkat awal. Yakni ketika seorang muslim ternyata memiliki ketertarikan lebih terhadap ilmu agama. Kemudian ia memutuskan untuk mempelajari cabang-cabang ilmu agama secara lengkap dan berjenjang. Di tahap ini ia mulai mengenal ilmu-ilmu alat, dan juga mulai bersentuhan dengan kitab-kitab salaf sebagai referensi keagamaan.

Ia mulai belajar tentang tata bahasa Arab dasar (nahwu dan sharaf) sebagai alat bantu dalam memahami teks-teks keagamaan. Keliru kalau Anda berasumsi bahwa santri mempelajari nahwu sharaf agar bisa langsung memahami Quran-hadits. Masih terlalu jauh jaraknya. Paling pol, para santri menggunakan ilmu alat itu untuk membaca karya-karya tafsir para ulama terhadap Quran dan hadits. Bukan untuk memahaminya secara langsung, apalagi berani istinbath (mengambil suatu kesimpulan hukum dari ayat-ayat Quran dan hadits Nabi).

Santri level awal ini sekedar untuk membuka wawasan tentang keberagaman ilmu-ilmu agama. Mulai dari tajwid, tafsir, hadits, tauhid, fikih, akhlaq, ushul fiqh, musthalah, sejarah, ilmu waris, sastra, dan falak. Karena semuanya memakai referensi berbahasa Arab, maka tentu nahwu-sharaf menjadi menu utama di level ini.

Karya-karya yang dipelajari pun masih berupa kitab-kitab praktis, bukan teoretis konseptual. Biasanya berupa kitab-kitab matan (teks singkat) dalam bentuk nazham (susunan bait-bait) agar mudah dihapalkan. Karena hanya sebagai pintu pembuka, maka kitab-kitab inipun sangat jarang yang mencantumkan dalil.

Hal ini juga masih sering disalahpahami oleh teman-teman puber agama. Bahkan pernah suatu kali saya diprotes seorang kerabat yang aktif dalam kegiatan liqo ala kawan-kawan tarbiyah. Ia protes mengapa ketika di madrasah para ustadz melulu mengajar kitab kuning, tidak langsung mempelajari Quran dan hadits sebagai sumber utama ajaran Islam. Itu juga -menurut saya- sebab kerabat saya itu tak sadar strata.

Dalam prakteknya, jenjang ini dipraktekkan di level madrasah, baik berupa madrasah diniyyah maupun tsanawiyah-aliyah. Meski tidak menutup kemungkinan bisa dilaksanakan pula di surau-surau kampung secara tradisional.

Tahap santri awal ini bisa mencukupkan diri hanya sampai sini, kemudian melanjutkan penguasaan bidang-bidang ilmu lain berupa sains, humaniora, atau keterampilan. Lalu ia bisa mulai menggali keterkaitan antara ajaran Islam dengan bidang keilmuan atau profesinya masing-masing.
Namun ketika santri level pemula ini memutuskan untuk lebih menggali lebih dalam tentang ilmu-ilmu syariah agama, maka ia pun musti melanjutkan ke jenjang selanjutnya.

---

Strata ketiga, level santri mahir atau tingkat menengah ke atas. Inilah tahap ketika santri sudah mulai berkenalan dengan referensi-referensi teoretis konseptual. Biasanya ditandai dengan kitab-kitab yang mulai tebal dan berjilid-jilid.

Ia mulai akrab dengan dalil-dalil dan hasil-hasil istinbath para ulama besar. Mulai mengaji sebab-sebab penurunan ayat Quran, ayat-ayat dan hadits-hadits hukum, pendalaman fikih secara detail, perbandingan antar-mazhab, kaidah-kaidah fikih, aliran-aliran teologi, perbedaan pendapat ulama, tasawuf, ensiklopedi hadits, hingga ilmu-ilmu Quran yang membahas metode tafsir dan perbedaan bacaan.

Dalam prakteknya, jenjang ini dilaksakan dalam bentuk ma'had 'aly, atau bisa juga dalam bentuk lain yang berbeda. Di tahap ini, masih ada lapisan-lapisan lain mulai dari jenjang kitab yang dibaca hingga daya argumentasi di forum-forum diskusi ilmiah.

----

Strata keempat, level alim atau cerdik pandai, jamaknya: ulama. Yakni ketika seorang santri mahir sudah berkecimpung begitu intensif dan cukup lama dengan ilmu-ilmu syariah, baik berupa kegiatan belajar maupun mengajar. Plus ditunjang dengan penguasaan suatu ilmu tertentu sebagai bidang spesialisasinya.

Namun kriteria di tahap ini tidak hanya sekedar kecakapan pemahaman atau intelektualitas belaka. Ada satu kriteria lagi sebagaimana disebutkan di dalam Quran, yakni adanya 'khosy-yah', rasa tunduk mengkirut di haribaan Allah. Jenjang 'alim inipun masih ada lapisan-lapisan kualifikasinya juga.

Perihal lapis keulamaan ini kita bisa merujuk jenjang yang dipakai di Damaskus. Yakni mulai dari mutsaqqif (mempelajari satu bidang ilmu dasar), thalib (mempelajari beberapa ilmu mendasar), ustadz (mempelajari 12 cabang ilmu), 'alim (mempelajari 12 cabang ilmu dan menguasai salah satunya), hingga 'allamah (menguasai seluruh cabang ilmu). Penjelasan lengkapnya bisa Anda baca di artikel "Standar Keulamaan di Damaskus, Mulai Ustadz Hingga Allamah".

Perjenjangan di atas tentu tak ada sangkut pautnya dengan gelar akademik formal semisal sarjana, magister, doktor, hingga gelar akademik-kelembagaan semisal profesor atau guru besar. Bisa saja, seorang doktor dalam bidang pertanian masih berada di tahap awam dalam ranah agama, sehingga ia perlu menginsafi diri untuk tidak terlalu menggebu bicara bidang di luar kompetensinya. Begitupun sebaliknya.

Adapun tentang sebutan-sebutan keagamaan di tengah masyarakat, semisal kiai, habib, dai, muballigh, dan ustaz, pernah saya tulis tersendiri di artikel lain berjudul "Silakan Panggil Saya Ustadz"

Terakhir, semoga kita bisa mulai mengukur diri di mana posisi kita masing-masing. Tentu saja untuk kemudian menjadi pendorong pendalaman ilmu sesuai dengan stratanya masing-masing. Juga untuk bicara sesuai jenjang dan pendalamannya masing-masing. Atau mungkin untuk mereka-reka tentang pendidikan anak-anak kita di masa depan. Wallahu a'lam.

*foto: para santri Ribathul Quran Pesantren Al-Munawwir Krapyak sedang berhalaqah. Krapyak, 18 Ramadan 1438

1 comment:

  1. Masih di tingkatan awam nih, mas. Tapi ada anak yang sedang mondok, semoga bisa lebih baik dari orangtuanya.

    ReplyDelete