OLEH: ZIA UL HAQ
Ketika belajar tentang Sirah Nabawiyyah di madrasah –bahkan hingga di bangku kuliah-, imajinasiku didominasi dengan bayangan-bayangan tentang penindasan, boikot, intimidasi, konflik, dan perang. Mungkin kau juga demikian. Belum lagi kalau dilanjut ke fase sejarah para suksesor Rasulullah, mulai masa para sahabat, tabi’in, para salafussaleh, hingga masa para sultan abad 15 hijriah. Kita akan disuguhi data-data tentang upaya perebutan kekuasaan serta konflik sengit, baik dengan pihak luar maupun dengan sesama kaum muslimin.
Sebenarnya ada banyak data tentang tindakan-tindakan Baginda Nabi Muhammad yang mengupayakan perdamaian dalam berbagai konteksnya. Namun data-data ini biasanya hanya tersaji dalam narasi etika, khususnya buku-buku tentang akhlak dan tasawwuf. Sangat sedikit ruang dalam referensi kesejarahan secara umum dalam bentuk ‘sirah’ yang menyajikan catatan-catatan tersebut secara runtut. Sehingga nuansa yang tercipta dalam pelajaran sejarah Islam ialah atmosfer politis. Bukan nuansa humanis.
Perang dan berbagai fragmen perjuangan Rasulullah memang harus kita pahami dan teladani. Namun tentu tidak menjadikannya dominan sehingga ‘mengalahkan’ berbagai fragmen ketika Rasulullah berperan sebagai pejuang rekonsiliasi. Tentu akan sangat berbeda pengaruhnya ketika kita membaca narasi sejarah yang penuh data tentang pertikaian, dibandingkan saat menelaah catatan sejarah yang seimbang dan banyak tersaji tentang aksi-aksi rekonsiliasi.
Padahal, sebagaimana disebutkan Syaikh Said Ramadhan al-Buthi di dalam Fiqhus Sirah; memahami sejarah Islam, terutama perjalanan hidup Rasulullah, adalah aspek yang sangat penting untuk memahami Islam itu sendiri. Maka, kalau kau mempelajari sejarah kehidupan beliau begitu dominan dengan data peperangan, maka perspektifmu tentang Islam bisa jadi adalah ‘agama perang’. Di titik ini kau bisa tergelincir menjadi ekstrim, entah ekstrim kanan (ifrath) maupun ekstrim kiri (tafrith).
Kalau kita telisik peran Rasulullah dalam hal rekonsiliasi, kita bisa menarik kesimpulan bahwa upaya perdamaian antarmanusia adalah salah satu sunnah nabawiyyah utama. Bahkan perintahnya disebutkan gamblang di surat An-Nisa ayat 114. Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala berfirman,
“Tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Anjuran Rasulullah dalam hal rekonsiliasi juga bertebaran dalam banyak redaksi hadits. Yang paling masyhur tentu redaksi yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Tirmidzi, yakni ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku kabarkan tentang derajat yang lebih mulia dari puasa, solat dan sedekah?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliaupun bersabda, “Yaitu mendamaikan antar sesama (yang berselisih).”
Tak sekedar anjuran, Rasulullah sendiri meneladankan ujarannya itu dalam praktek yang riil. Upaya pendamaian yang Rasulullah lakukan melingkupi permasalahan individu, keluarga, dan masyarakat. Mencakup perkara rumah tangga, utang piutang, hingga darah dan nyawa.
Suatu hari terjadi konflik antar penduduk Quba, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari. Saat itu mereka berkelahi dengan saling lempar batu. Mungkin dalam istilah kita bisa disebut sebagai ‘tawuran antarwarga’. Salah seorang penduduk buru-buru melaporkan hal ini kepada Rasulullah. Tanpa banyak selidik, beliau langsung berujar, “Ayo segera pergi kesana! Kita damaikan mereka!”
Permasalahan keluarga juga satu hal yang tak luput dari langkah rekonsiliasi Rasulullah. Misalnya ketika terjadi ketegangan antara putri beliau, Sayyidatuna Fathimah, dan menantu beliau, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib seperti tercatat dalam Shahih Bukhari. Suatu ketika Rasulullah mengunjungi rumah putrinya itu, namun beliau tak bertemu sang menantu di sana. Sang putri mengatakan bahwa mereka berdua sedang tak akur sebab suatu hal, suaminya marah dan keluar rumah tanpa berucap sepatah katapun.
Mendengar hal ini, Rasulullah minta tolong kepada seseorang untuk mencari tahu dimana menantunya berada. “Ia sedang di masjid wahai Rasulullah, sedang berbaring,” jawab seseorang. Rasulullah pun menuju ke masjid, beliau dapati menantunya memang sedang berbaring di sana, nampak lesu. Beliau menyapa menantunya dengan sapaan ‘Abu Turab’ sebab banyak debu (turab) menempel di badannya, kemudian beliau meraihnya untuk bangkit, “Mari Abu Turab, bangun.” Tentu sapaan Rasulullah ini bukan sekedar sapaan, justru mengandung makna yang sangat dalam dan menimbulkan pengaruh psikologis yang sangat membekas pada saat itu bagi pasangan suami istri tersebut.
Belum lagi bila kita daras riwayat-riwayat shahih bagaimana Rasulullah mendamaikan orang-orang yang bertengkar sebab utang piutang. Bagaimana beliau mendamaikan pertikaian suku Aus dan Khazraj yang merupakan musuh bebuyutan. Serta bagaimana pula beliau mencetuskan rekonsiliasi jenius ketika suku-suku Mekah berebut peran dalam pemasangan kembali Hajar Aswad, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi utusan Allah.
Begitu banyaknya keteladanan Rasulullah (sunnah) dalam hal rekonsiliasi, sehingga muncul satu metode tersendiri (manhaj) yang dibahas dengan apik oleh Kang Fahd al-Balwa, seorang sarjana asal tanah Tabuk, Arab Saudi, dalam bukunya. Metodologi rekonsiliasi ini mencakup kondisi bagaimana yang harus didamaikan dan kondisi bagaimana yang tak perlu. Juga mengurai bagaimana sikap ketika terjadi perselisihan, bagaimana cara mendamaikan, bagaimana pula mempertahankan perdamaian. Serta klasifikasi yang dibutuhkan bagi seorang juru damai.
Tentu tak bijak bila aku membahas buku tersebut terlalu berpanjang lebar di sini. Tulisan singkat ini hanya ingin memopulerkan kembali tema yang lumayan ‘langka’ ini. Tema yang relatif ‘lugu’ bila dibandingkan tema-tema siyasah lainnya. Tema yang perlu kita gemakan secara serius di tengah sumuknya situasi dunia saat ini. Beberapa waktu lalu sudah kutulis tentang tiga tokoh ulama sepuh yang konsisten menyurakan dakwah Ishlah.
Tiga tokoh itu ialah Syaikh Abdullah bin Bayyah dari Mauritania, pakar ushul fiqh yang mengetuai Forum for Promoting Peace in Muslim Society. Ada juga ulama dari India, Maulana Wahiduddin Khan yang membangun Centre of Pluralism and Spiritualism International. Ada satu bukunya yang sangat kusuka; Quranic Wisdom, berisi ratusan tema kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari yang diambil dari Al-Quran. Dari Indonesia, kita kenal Maulana Habib Luthfi bin Yahya yang memimpin Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah, sosok sufi yang kita tahu betul kapasitas spiritual dan kenegarawanannya. Itu hanya tiga sampel ulama besar nan sepuh yang meneladani Rasulullah dalam hal rekonsiliasi, menempuh jalan damai sesuai konteks zaman.
Jalan rekonsiliasi yang mereka tempuh cenderung mengambil langkah kooperatif dengan pemerintah atau penguasa demi kemaslahatan bersama yang lebih luas. Tentu saja, sikap-sikap semacam ini tidak akan cocok dengan nalar sebagian saudara kita yang menganggap ulama hanya mereka yang 'dibenci pemerintah dan tidak disukai penguasa', sebab terpengaruh broadcast watsap berisi petikan qaul Imam Syafi'i. Serta menganggap bahwa mujahid hanyalah mereka yang senantiasa menyerukan perjuangan dengan ‘tanda seru’. Tidak menganggap bahwa upaya perdamaian pun termasuk dalam jihad, bahkan jihad yang sangat berat. Wallahu A'lam. []
_________
Krapyak, Malam Jumat Legi 14 Jumadil Ula 1438. Penulis adalah siswa semester XIV Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Melihat Rasulullah Sebagai Juru Damai
Bagikan Artikel Ini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment