OLEH: ABDUL JALIL MUHAMMAD
Cukup banyak ulama asal Nusantara yang tinggal di Haramain (Mekah dan Madinah). Ada yang sampai wafat di sana, ada pula yang kembali ke Tanah Air karena berbagai faktor. Di antara ulama Indonesia yang sangat terkenal dalam bidang hadis adalah Syaikh Mahfudz al-Termasi (w. 1920 M) dan Syaikh Yasin al-Fadani (w. 1990 M). Karya dua ulama ini cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya karya Syaikh Mahfudz; al-Siqayah al-Mardhiyyah (fikih), Ghunyah al-Thalabah (qira’at), Manhaj Dzawi al-Nazhar(ilmu hadits), Tsulatsiyyat al-Bukhari(hadis) dan lain-lainnya. Sedangkan karya Syaik Yasin, kita kenal Risalah fi ‘Ilm al-Manthiq (mantiq/logika), Ithaf al-Ikhwan dan al-Asanid al-Makkiyah (kumpulan sanad-sanad), al-Fawa’id al-Janiyyah(ushul fikih) serta banyak lagi lainnya.
Namun sayang sekali, saya belum sempat mengaji kepada dua ulama ini, Syaikh Mahfudz wafat jauh sebelum saya lahir. Sedangkan Syaikh Yasin wafat ketika saya masih kecil dan suka main-main saja. Tetapi saya tetap bersyukur pernah mengaji kepada ulama yang menjadi murid dari Syaikh Yasin al-Fadani, yakni Kiai Damanhuri al-Bantani (w. 2007 M), Sayyid Hamid al-Kaf (w. 2015 M), dan Kiai Husni Tamrin al-Banjari (w. 2014 M).
Sosok pertama, Ahmad Damanhuri Arman al-Bantani tsumma al-Makki, adalah kiai yang berasal dari Cikadueun, Banten, kemudian bermukim di Mekah. Saya masih ingat wajah beliau yang sangat sederhana, murah senyum, dan suka bercerita lucu tentang masa kecilnya. Di saat kami meminta ijazah sanad-sanadnya, beliau selalu rendah hati dan tawadhu, beliau bercerita bahwa dahulu tidak mengaji, hanya main-main, bahkan nakal di masa kecilnya. Di antara guru-guru beliau yang tertulis dalam ijazah yang beliau berikan kepada saya di antaranya ialah; Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi, Syaikh Hasan Masyath, Syaikh, Abdullah Shiddiq al-Ghimari, Syaikh Yasin al-Fadani, dan Sayyid Alawi al-Maliki. Beliau wafat dan dimakamkan di kuburan Ma'la, Mekah, pada tahun 2007.
Sosok kedua, al-Habib al-Sayyid Hamid bin Alawi al-Kaf al-Husaini. Beliau lahir di Banjarmasin pada hari Ahad bulan Sya'ban 1345 H. Setelah belajar di bawah bimbingan ayahnya, maupun di salah satu sekolah di tempat kelahirannya, kemudian beliau belajar di Madrasah Khairiyah Surabaya. Di antara guru beliau di madrasah ini ialah Syaikh Umar Baraja dan Syaikh Salim Aqiel. Kemudian Sayyid Hamid kembali ke Banjarmasin dan nyantri di Pesantren Dar al-Salam Martapura. Pada tahun 1367 H Sayyid Hamid berangkat ke Mekah dan belajar kepada masyaikh Masjidil Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah. Guru-guru beliau banyak sekali di tanah kelahiran Rasulullah ini, di antaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki, Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Yasin al-Fadani dan para ulama yang lain. Beliau inilah yang memimpin majlis pengajian Syaikh Yasin al-Fadani di mana kami membaca beberapa kitab hadis. Beliau juga menjadi mufti di kedutaan Indonesia yang ada di Saudi. Sayyid Hamid wafat hari Ahad, 22 November 2015 di Mekah.
Sosok ketiga, Syaikh Muhammad Husni Tamrin al-Banjari, lahir tahun 1943 di Banjarmasin. Setelah melaksanakan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Mekah. Pernah sekolah di Darul Ulum, kemudian melanjutkan ke Universitas al-Azhar Mesir. Setelah menyelesaikan pendidikan di al-Azhar, beliau kembali ke Mekah untuk mulazamah dan berkhidmah kepada Syaikh Yasin al-Fadani. Kiai Husni Tamrin ini adalah di antara murid yang sangat dekat dengan Syaikh Yasin, sampai dipercaya menjadi katib untuk Syaikh Yasin sendiri. Tak jarang beliau meneteskan air matanya ketika menyebut nama atau menceritakan tentang gurunya itu. Di antara gurunya yang lain ialah Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail Zain al-Yamani, Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi dan banyak lagi. Setelah cukup lama bermukim di Mekah, beliau pulang ke Indonesia dan membuka majlis pengajian di rumahnya, yang diberi namaZawiyah al-Hikmah. Syaikh Husni Tamrin wafat pada bulan Rabi’ul Awwal 1435/ Januari 2014.
Selain tentang tiga tokoh di atas, ada hal lain yang ingin saya ceritakan di sini. Yakni tentang tradisi mengaji hadis di Mekah. Ada dua jenis pengajian hadis, yaitu; majlis pengajian kitab hadits, dan pemberian hadis musalsal.
Pertama, majlis pengajian kitab hadis. Tempat majlis ini adalah di rumah Syaikh Yasin al-Fadani. Setelah wafatnya Syaikh Yasin pada tahun 1990, majlis pengajiannya diteruskan oleh Syaikh Mukhtar al-Falimbani. Kemudian sepeninggal Syaikh Mukhtar, majlis pengajian ini dipimpin oleh Sayyid Hamid al-Kaf, dibantu oleh beberapa syaikh lain sperti Kiai Damanhuri, Kiai Husni Tamrin dan Kiai Yasin Barhamin. Pengajian ini hanya dihadiri oleh santri putra yang berasal dari berbagai negara. Sebagian besar murid dari Indonesia, ada pula dari Malaysia, Thailand, Suriah, Yaman, dan India. Kitab hadis yang dibaca bervariasi, ada kitab hadits yang besar seperti kitabShahih Bukhari, Sunan Abi Daud, pun Sunan al-Tirmidzi. Atau kitab hadis kecil seperti kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari, kitab al-Syama’il al-Muhammadiyyah karya Imam al-Tirmidzi, dan kitab Musnad al-Imam al-Syafi’i.
Sebagian hadirin mulai berdatangan sebelum waktu isya, agar bisa shalat isya berjama’ah di majlis tersebut. Sayyid Hamid mulai membuka majlis ini dengan pembacaan doa, dilanjutkan pembacaan beberapa hadis dari kitab yang sedang dibaca, lalu pembacaan hadis digilir kepada para hadirin, masing-masing membaca beberapa hadis sampai semua hadirin dapat kesempatan untuk ikut serta dalam membaca hadis. Biasanya ada beberapa hadirin yang membaca hadis lebih banyak karena faktor kelancaran dan kefasihan. Mereka ini duduk di barisan depan berhadapan dengan tempat duduk para masyaikh. Dengan demikian, metode yang mendominasi di sini adalah al-qira’ah ‘ala al-syaikh(membaca kepada/di hadapan seorang guru).
Dalam pengajian ini tidak banyak penjelasan tentang hadis yang dibacakan, meskipun terkadang ada diskusi dari para masyaikh mengenai suatu hadis. Sebelum membaca setiap riwayat, terdapat tambahan ungkapan ‘wa-bihi ilaihi’, ini singkatan dari ‘wa bi-sanadikum al-muttashil ila al-kitab/al-hadits’ yang artinya: ‘dengan sanad guru yang tersambung sampai kitab/hadis ini’. Selain ini, kita perlu membaca lafadz (qaala/perkata) sebelum tiap lafadz dari lafadz-lafadz al-tahammul wa al-ada’ yang terdapat pada sanad hadis, seperti:haddatsana, akhbarana, sami’tu, walaupun dua ungkapan tadi tidak disebut dalam riwayat hadis. Majlis pengajian kitab hadis di rumah Syaikh Yasin ini diadakan seminggu sekali pada tiap hari Selasa malam Rabu.
Pada malam khataman suatu kitab hadis, terlihat agak ramai. Hal ini mungkin disebabkan dua faktor. Pertama orang-orang datang majlis ini ‘ngalap berkah’ khataman suatu kitab. Kedua, karena di malam ini akan diberikan sanad kitab tersebut. Khusus untuk malam khataman, para hadirin dimintai menulis nama dan tanda tangan pada daftar hadir, sebagai catatan nama-nama yang hadir majlis khataman dan mendapat sanad kitab tersebut. Setelah mengkhatamkan suatu kitab, di malam itu pula langsung disambung dengan pembacaan dari kitab selanjutnya. Hal ini sama dengan dalam konteks khataman Al-Qur’an, bahwa pembaca Al-Qur’an yang bagus adalah ketika mengkhatamkan Al-Qur’an agar langsung disambungkan dengan memulai dari awal Al-Qur’an lagi sebagai tanda permulaan khataman yang baru. Sebagai contoh, dari fotokopian daftar hadir yang saya miliki, dicatatkan pada hari selasa malam Rabu 20 Jumadal Ula tahun 1420 H, kami telah mengkhatamkan kitab al-Adab al-Mufrad dan dilanjutkan dengan memulai membaca dari kitab al-Syama’il al-Muhammadiyyah dan kitab al-‘Umdah fi al-Ahkam karya Imam ‘Abd al-Ghani al-Maqadsi.
Kedua, pemberian hadis musalsal. Hadits musalsal adalah hadis yang dalam sanadnya antara satu rawi dengan rawi setelahnya melakukan hal yang sama, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun keduanya. Dengan kata lain, para rawi hadis musalsal mencoba mempertahankan sifat, cara, keadaan, tempat dan waktu sebagaimana ia diterima dari rawi sebelumnya. Sebagai contoh: hadis musalsal bil mahabbah, pada praktek periwayatan hadis ini setiap rawi (guru) berkata ke muridnya; “Hai fulan, sungguh saya mencintai kamu (inni uhibbuka),” kemudian membacakan sanad hadis sampai kepada Rasulullah saw. yang berkata kepada sahabat Mu’adz bin Jabal; “Ya Mu’adz, inni uhibbuka ….” dan seterusnya. Atau mempertahankan waktu periwayatan, seperti musalsal bi yaum al-‘idyang diriwayatkan kepada yang lain sebagai hadis musalsal di Hari Raya ‘Ied atau musalsal bi yaum al-jum’ah yang di riwayatkan di hari Jumat.
Di Mekah, para murid berusaha mendengar/mendapatkan hadis musalsal bil awwaliyyah dari seorang syaikh. Dalam hadis ini, setiap rawi berkata; “Inilah hadits pertama yang kudengar dari guruku.” Hadis ini juga disebut hadits al-rahmah yang berbunyi;
Mayoritas hadis musalsal yang saya dapati adalah dari Syaikh Muhammad Husni Tamrin. Dalam komunitas terbatas, kami berkelompok bersama teman-teman menuju ke rumah beliau seminggu sekali untuk mendapat hadis musalsal. Pada awalnya kami mendapatkan hadis musalsal sudah diketik dan difotokopikan. Setelah beberapa bulan, Syaikh Husni meminta agar kami menulis hadis musalsal yang beliau bacakan dengan tulis tangan. Sehingga majlis ini menjadi seperti yang disebut dalam sejarah hadis sebagai majalis al-imla’.
Di antara hadis musalsal yang sudah saya dapatkan berkali-kali dari Syaikh Husni Tamrin maupun dari syaikh lain adalah hadits musalsal bi-yaum al-‘id. Sehabis sholat ‘Idul Fitri di Masjidil Haram, kami seharian berkunjung ke rumah beberapa guru agar mendengar hadis musalsal bi-yaum al-‘id. Selain tiga syaikh asal Indonesia yang saya sebut di atas, ada pula syaikh-syaikh lain yang kami kunjungi seperti Syaikh Huesin al-Falimbani, Syaikh ‘Abd al-Subhan Nur Wa’idz dari Burma, Syaikh Ahmad Jabir dari Yaman dan lain-lain.
Ketika saya sudah pulang ke Indonesia, tradisi ini, pemberian hadis musalsal, sudah jarang saya jumpai. Belum pernah saya melihat seseorang/murid berkunjung ke rumah kiai di hari raya untuk mendengar hadis musalsal bi-yaum al-‘id, rata-rata hanya bertujuan silaturrahim dan mohon berkah doa kiai. Walaupun demikian, alhamdulillah saya dapat beberapa hadis musalsal di Indonesia dari KH. Masruri Abdul Mughni (w.2011 M) dari Benda, Brebes, dan KH. Abdur Razzaq Imam dari Lasem. Semoga tetap ada generasi muda yang melanjutkan perjuangan ulama Indonesia, baik di Mekah, di Indonesia, dan dimanapun di muka bumi ini. Khususnya dalam bidang periwayatan hadis dan isnad. [Zq]
*Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Akidah dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga dan pengajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Sumber tulisan: http://ilmuhadis.uin-suka.ac.id/index.php/page/kolom/detail/12/mengaji-hadis-kepada-ulama-indonesia-di-mekah
kalau mau mlht bagi musalsal dtng ke martapura syekh wildan salman jalil
ReplyDeleteAssalamualaikum , ana ingin sekali bersekolah di makkah , untuk saat ini ana masih mondok dan tidak lama lagi 2 tahun setengah akan lulus . Adakah antum tau caranya supaya bisa bersekolah di sana , mohon penjelasannya yaa sayikh?? Syukran wassalam!
ReplyDeletemasya Allah
ReplyDeleteAssalamu'alaikum ustadz Ahmad Abdul Jalil boleh minta kontaknya
ReplyDelete