Ketika Vatikan Berdialog dengan Islam - Santrijagad

Ketika Vatikan Berdialog dengan Islam

Bagikan Artikel Ini
OLEH: SAIEF ALEMDAR*

Tulisan ini adalah wawancara yang dilakukan oleh Ustaz Faisal Sammak  dengan almarhum Prof. Muhammad Ma’ruf Dawaliby, yang ditulis oleh  almarhum Ustazuna Prof. Shawki Abu Khalil. Prof. Dawaliby lahir di Aleppo,  tahun 1909, beliau seorang pakar Hukum dan Politikus Suriah, beliau juga  guru besar di fakultas Hukum dan Fakultas Sharia Universitas Damascus.  Pernah menjadi Menteri Pertahanan Suriah tahun 1950. Pada tahun 1965  pindah ke Arab Saudi menjadi Penasehat pribadi Raja Faisal, dan menetap  di Riyadh sampai beliau meninggal dunia pada tanggal 26 Januari tahun  2004. Prof. Dawaliby ini termasuk dalam utusan perwakilan Arab  Saudi dalam dialog Vatikan-Islam yang diadakan pada tahun 1965 di  Vatikan, Berikut cuplikan kisah dari Prof. Dawaliby.

Prof. Dr. Muhammad Ma'ruf Al-Dawalibi
Kisah  “Dialog Vatikan-Islam” ini dimulai tahun 1958, ketika seorang pengembala  menemukan manuskrip kuno “Naskah Laut Mati” di Qumran, antara lain  isinya gulungan “Yesaya” lengkap, sedangkan yang terbit hari ini dalam  kitab Taurat (Perjanjian Lama) hanya sebagian.

Setelah Vatikan  mempelajari isi naskah itu selama 4 tahun (1961-1965), mereka mengatakan  bahwa naskah ini memberi dampak baru dalam persepsi Kristen terhadap  Islam, akhirnya Vatikan mengeluarkan sebuah buku dan mengajak dialog  dengan Islam, dan menyatakan bahwa mereka sangat menyesal atas apa yang  terjadi selama ini antara Kristen dan Islam. Mereka juga meminta kepada  Islam untuk melupakan apa yang telah terjadi, dan mari menuju ke masa  depan yang lebih baik dalam hubungan antara dua agama besar itu.

Setelah  itu, Vatikan mengeluarkan sebuah dokumen penting, bisa dikatakan  pengakuan Kristen terhadap Islam, dan ini pengakuan pertama sepanjang sejarah dua agama itu, di antara isinya;

“Semua orang yang beriman pada  Allah, Pencipta langit dan bumi, Tuhan Ibrahim dan Musa, maka dia akan  selamat dan masuk dalam lindungan Allah, dan yang pertama adalah  Muslim.”

Ketika penyataan ini terbit, kami sedang melaksanakan  ibadah haji bersama almarhum Raja Faisal bin Abdul Aziz, tahun 1965.  Saat itu Vatikan mengucapkan “Selamat Menunaikan Ibadah Haji” kepada  Raja Faisal dan seluruh Umat Islam, Raja Faisal pun membalas ucapan itu. Saat itu Vatikan secara terang-terangan mengajak dialog, kami semua  hampir tidak percaya, sampai akhirnya kami menerima undangan resmi dari Vatikan untuk hadir ke Vatikan. Secara khusus undangan itu tertuju kepada ulama-ulama Kerajaan Arab Saudi, undangan bukan untuk berdialog  tentang siapa yang masuk surga atau siapa yang masuk neraka, tetapi  dialog dalam rangka kerjasama “implementasi nilai-nilai agama, demi  kedamaian”, karena sejatinya agama itu untuk kedamaian.

Raja  Faisal menyuruh saya mewakili pemerintah Arab Saudi, akhirnya saya  bersama beberapa orang lainnya pergi ke Vatikan, saat itu kami ditemani  oleh Duta Besar Arab Saudi untuk Roma. Sampai di Vatikan kami disambut  oleh Kardinal Bemonolli, Menteri Negara Vatikan urusan kerjasama  Islam-Kristen. Saat itu kami yakin, bahwa undangan ini benar-benar  serius, dan mereka benar-benar ingin melupakan masa lalu dan meniti masa  depan.

Pada hari itu, radio Vatikan menyiarkan pertemuan kami, dan kesepatakan kami untuk menuju meja dialog.

Intervensi Duta Besar Israel   

48 jam setelah kami meninggalkan Vatikan, Duta Besar Israel di Roma  meminta waktu untuk bertemu dengan cardinal Bemonolli, padahal saat itu  tidak ada hubungan diplomatis antara Vatikan dengan Israel. Setelah  mereka bertemu, Duta Besar Israel meminta Vatikan untuk menghentikan  segala jenis dialog antara Vatikan dengan Kerajaan Arab Saudi. Tetapi  cardinal menolak permintaan Duta Besar itu.

Pada keesokan  harinya, Duta Besar itu kembali menemui cardinal dan meminta permintaan  yang sama, dan cardinal tetap menolak. Hal itu terjadi sampai 5 hari  berturut-turut.

Paus Paulus VI (Giovanni Battista Enrico Antonio  Maria Montini) mengirim surat penghormatan kepada Raja Faisal, dan  menceritakan apa yang terjadi setelah utusan Arab Saudi meninggalkan Vatikan, menceritakan kunjungan dan permintaan Duta Besar Israel terkait  dialog Islam-Kristen.
Paus juga mengatakan bahwa tindakannya  mengirim surat ke kerajaan Arab Saudi adalah menyalahi adat Vatikan,  karena sejak dulu tidak pernah Vatikan memulai menyurati siapapun,  mereka hanya membalas surat dari orang lain.

Awal Dialog 

Sebelum  dialog itu dimulai, Vatikan kembali menerbitkan buku kecil sekitar 150  halaman, berjudul “Pengarahan Untuk Umat Kristiani Dalam Dialog Dengan Umat Islam”, buku itu berisi himbauan untuk melupakan konflik masa lalu,  dan menegaskan kembali isi dokumen yang telah diterbitkan sebelumnya  oleh pimpinan tertinggi Vatikan mengenai keselamatan umat Islam di sisi  Allah.

Dalam suasana kekeluargaan dan saling menghormati seperti  ini, dialog dimulai dan berlangsung. Kemudian kami mendapat undangan  dari Uni Eropa, berdasarkan keputusan Majlis Tertinggi Vatikan ke 2 di  Strasbourg. Selain itu, kami juga memenuhi undangan Dewan Gereja  Protestan Internasional di Jenewa, undangan Menteri Kehakiman Perancis,  dan Asosiasi Persahabatan Saudi-Perancis.

Pertemuan itu semuanya  terjadi dalam suasana kekeluargaan dan saling menghormati sesuai  seperti arahan Vatikan dalam buku keduanya. Hal ini adalah kejadian  pertama dalam sejarah, dimana para delegasi kerajaan Arab Saudi atas  undangan Paus Paulus VI bertemu dengan Paus sendiri dan Dewan Gereja  Protestan Internasional.

Penghentian Kristenisasi

Setelah  rentetan pertemuan dan dialog itu berakhir, antara Pengurus Besar  Vatikan dengan Ulama-ulama Muslimin dari Arab Saudi, tibalah saat  perpisahan, dan kami akan kembali ke Saudi. Pada pidato perpisahan,  cardinal Bemonolli mengatakan, “Pada hari ini, kami memutuskan untuk  menghentikan gerakan kristenisasi di Negara-negara Islam, dan kami  berharap kepada Umat Islam agar datang kembali mengunjungi kami dengan  kabar gembira, karena Jesus sendiri ketika pergi berpisah dengan  pengikutnya mengatakan bahwa setelah kepergiannya akan datang kabar  gembira, yaitu seorang Nabi yang membawa kebenaran, seperti yang  tertulis dalam  “Yesaya” sebagai berikut: setelah Jesus, akan datang  seorang Nabi dari bangsa Arab, dari negeri Faran – Negeri Ismail (Faran  dalam bahasa Aremia berarti Hijaz), semua bangsa Yahudi harus  mengikutinya. Diantara tanda-tandanya adalah dia akan lolos dari  pembunuhan, dialah Nabi yang ditunggu-tunggu, dia akan selama dari  hunusan pedang yang dihunuskan di atas lehernya, dia akan kembali  membawa 10 ribu qaddis (saint)”.

Apa yang tertulis dalam  “Yesaya” tepat seperti kenyataan, Quran surat Al Baqarah ayat 146 dan Al  An’am ayat 20 menyebutkan hal itu. Yesaya menyebut tempat kelahirannya  “Negeri Ismail”, yaitu Mekkah. “Selamat dari pembunuhan dan dia akan  kembali membawa 10 ribu qaddis”, yaitu pada malam Rasulullah hijrah,  ketika kafir qurays berkonspirasi ingin membunuh Rasulullah, dan benar  pula Rasulullah kembali ke Mekkah setelah hijrah bersama 10 ribu muslim.

Sayangnya, Paus Paulus VI meninggal secara misterius, seperti halnya beberapa  minggu setelah Paus meninggal, sang Kardinal pun ikut meninggal dunia.  Dengan meninggalnya dua orang tersebut, maka terputuslah dialog antara Vatikan dan Islam. Karena merekalah yang memprakarsai dialog ini dari  pihak Kristen.

Kenapa Tidak Membawa “Berita Gembira” Kepada Yahudi? 

Dalam  pertemuan santai dengan Kardinal Bemonolli aku (Prof. Dawaliby)  mengatakan, “Saya punya ijazah diploma jurusan Hukum Gereja”, Kardinal  terkejut, “Kok bisa? Ijazah Hukum Gereja tidak diberikan kecuali kepada  orang yang beragama Kristen, dimana anda dapat itu?”, “Saya dapat dari  Universitas Paris, bukan dari universitas Katolik”. Kata Prof. Dawaliby,  kemudian dia melanjutkan, “Ketika saya membaca Taurat dan Injil secara  detail, ada beberapa hal yang saya tidak paham, menurut saya susah  sekali dipahami, sampai sekarang saya belum menemukan orang yang tepat  untuk menanyakan hal itu, karena yang menjawab ini harus orang yang  benar-benar paham tentang hukum gereja, kali ini saya baru bertemu  dengan anda, selaku orang kedua di Vatikan, apakah boleh saya  bertanya?”.

“Silahkan”, kata cardinal.

“Jesus sebenarnya diutus kepada siapa?”.

“Waduh Doktor Dawaliby, katanya anda punya ijazah diploma Hukum Gereja, masak Jesus diutus ke siapa saja nggak tau? “

“Dalam  Injil disebutkan, Jesus berkata: “Aku diutus kepada domba-domba Bani  Israel yang tersesat”, nah itu kan artinya bahwa Jesus diutus kepada  orang Yahudi, yang menjadi pertanyaan saya, kenapa anda mengirim pendeta  untuk misi kristenisasi kepada kami umat Islam, dan tidak mengirim satu  pendetapun ke orang Yahudi?”. Kata Prof. Dawaliby.

“Dan lagi,  Yahudi itu menuduh sayyidah Maryam pelacur, dan Jesus anak haram, karena  keyakinan mereka adalah “nggak ada anak kalau nggak kawin”! kecuali  Islam, Islam menghormati sayyidah Maryam, bagi kami dia adalah perawan  suci, dia melahirkan dengan mukjizat, dan Jesus adalah anak legal bukan  anak zina. Bagaimana Jesus bisa berkata seperti yang tertera dalam Injil   “Aku diutus kepada domba-domba Bani Israel yang tersesat”, seharusnya  anda mengirim pendeta dan misionaris ke kalangan Yahudi, bukan ke kami”.  Lanjut Prof. Dawaliby.

“Besok ya saya jawab”, kata Kardinal Bemonolli.

Keesokan  harinya keluarlah pernyataan resmi dari Vatikan terkait penghentian  kristenisasi Katolik di Negara-negara Islam, itulah jawaban Kardinal.  Penyataan resmi itu terbit pada hari perpisahan dan kami kembali ke  Riyadh.

Paus Paulus VI juga memerintahkan kepada seluruh gereja  untuk tidak berbicara tentang Islam kecuali berdasarkan dari sumber yang  valid dan terpercaya oleh umat Islam.

Itulah  sekelumit cerita dari Prof. Muhammad Ma’ruf Dawaliby saat wawancara  dengan ustaz Faisal Sammak. Delegasi Rab Saudi itu dipimpin oleh Ketua  OKI pada saat itu, yaitu Sheikh Muhammad Aly Harakan, dan diikuti oleh  Prof. Dawaliby bersama beberapa Ulama lain seperti Prof. Muhammad  Mubarak, Prof. Musthafa Zarqa dan Prof. Munir Ajlany (semuanya putra  Suriah).

Setelah pertemuan perpisahan itu, Paus Paulus VI  menasehati agar delegasi jangan pergi dulu, karena ada demonstrasi oleh  pengikut aliran komunis di jalanan Roma. Delegasi mengatakan, “Lebih  baik kami pergi, karena sebentar lagi akan masuk waktu shalat Maghrib.”  Paus menjawab, “Ya sudah, shalat saja disini!” Akhirnya mereka solat  magrib di kantor Paus Paulus VI.

Ustazuna Dr. Mazen Mubarak,  adik kandung Prof. Muhammad Mubarak masih menyimpan poto bersejarah itu,  dalam poto itu terlihat sekelompok delegasi sedang salat berjamaah dan  Paus Paulus VI berdiri melihat mereka.

Kalau mau akur sama  “saudara” sesama manusia (ukhuwwah insaniyyah) saja ada yang tidak suka, apalagi kalau kita akur sama sesama saudara se-iman, sesama Muslim,  pasti “Mr. X” kebakaran jenggot! Perbedaan itu sangat dijaga oleh Mr. X untuk diperruncing setiap hari, sehingga kita akan selalu bacok-bacokan sesama saudara. []

*Penulis adalah santri alumni Gontor, kini bekerja di kedutaan Indonesia untuk Suriah, Damaskus. Sumber: Catatan Facebook Saief Alemdar dengan judul asli: "Dialog Vatikan-Riyadh"

No comments:

Post a Comment