Tafsir al-Baqarah ayat 38
قُلْنَا اهْبِطُوْا مِنْهَا جَمِيْعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّيْ هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ
(البقرة :38)
“Kami berfirman: Turunlah kamu semua dari surga ! Lalu jika datang petunjuk-Ku kepada kamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada rasa takut mengatasi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” ( al-Baqarah : 38)
Pada ayat 38 ini Allah mengulangi perintah untuk turun ke bumi , sesudah perintah turun yang pertama pada ayat 36 ‘qulnahbithu
ba’dlukum liba’dlin ‘aduw walakum fil ardli mustaqarrun wamata’un ila
hiin’ (Turunlah kamu ! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan).
Takrirul amri (pengulangan perintah) ini tidak semata-semata sebagai ta’kid (penguatan) terhadap perintah turun ke bumi, melainkan mengandung maksud (tujuan). Para Mufassir berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud dari takrirul amri tersebut.
Salah satu pendapat menyatakan : takrir
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa turun yang pertama berbeda dengan
turun yang kedua. Turun pertama (ayat 36) adalah turun dari surga ke
langit dunia, sedang turun yang kedua (ayat 38) adalah turun dari langit
dunia ke bumi. Pendapat ini dipandang lemah secara linguistik (kebahasaan) dari dua sudut pandang. Pertama, Seandainya turun yang kedua adalah turun ke bumi, tentu kalimat ‘walakum fil ardli mustaqarrun’ tentunya lebih tepat dirangkaikan pada perintah kedua bukan pada perintah yang pertama. Kedua, Dlomir (kata ganti) pada kata ‘minha’ kembali kepada kata ‘jannah’ sehingga maknanya yang tepat adalah ‘dari surga’ bukan ‘dari langit dunia’ sebagaimana yang dinyatakan pendapat diatas.
Pendapat lainnya mengemukakan bahwa takrir ditujukan untuk menjelaskan dua isyarat yang berbeda. Perintah turun yang pertama mengisyaratkan bahwa, Di
bumi, manusia (Adam as dan keturunannya) berpotensi untuk saling
bermusuhan satu sama lain. Sedang perintah turun yang kedua mengandung
isyarat bahwa manusia akan terbagi menjadi dua golongan yakni golongan muhtadiin (yang mendapat petunjuk) dan golongan dlalliin (yang tersesat).
Menurut
al-Imam ar-Razi ada pendapat yang lebih kuat selain dua pendapat
diatas. Pendapat ini mengatakan bahwa, Pengulangan perintah turun,
dimaksudkan sebagai tahqiq lil wa’dil mutaqaddim (pengukuhan terhadap janji Allah dahulu) yaitu janji bahwa Adam as diciptakan untuk diproyeksikan sebagai khalifah-Nya di bumi, sesuai yang tersurat dalam firman-Nya ‘inni ja’ilun fil ardli khalifah’. Secara
kronologis Imam ar-Razi menjabarkan : Manakala Adam as dan Hawa
melakukan kesalahan mendekati pohon khuldi, mereka diperintahkan turun
dari surga. Kemudian mereka bertaubat. Dan Allah menerima taubat mereka.
Hingga terbersit dalam hati mereka, bahwa perintah turun berkaitan
dengan kesalahan yang telah mereka lakukan. Dan konsekwensinya setelah
bertaubat dan diterima taubatnya, perintah turun itu tidak akan
dilanjutkan. Maka Allah
mengulangi untuk yang kedua kali, supaya Adam as dan Hawa memahami
bahwa, perintah turun bukanlah sebagai sangsi atas kesalahan yang telah
mereka lakukan, yang apabila kesalahan itu telah teratasi maka perintah
itu dicabut kembali. Tetapi perintah turun itu adalah realisasi dari
janji Allah untuk menjadikan Adam as sebagai khalifah di bumi. Oleh
karenanya Adam as- sebelum diturunkan ke bumi- dibekali lebih dulu
potensi berupa kemampuan mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala
macam benda yang tergambar dalam firman-Nya ‘ wa’allama adamal asma-a kullahaa’ Juga sebelum turun ke bumi, Adam
as beserta istrinya transit (singgah sementara) terlebih dahulu di
surga agar mendapat pengalaman sebagaimana tersirat dalam firman-Nya
‘uskun anta wa zaujukal jannah’. Sehingga, dengan pengalaman itu, ia
memperoleh gambaran bagaimana sebenarnya kehidupan yang akan dialaminya
di bumi dan bagaimana seharusnya ia membangun bumi itu. Dengan kata lain
melalui transit di surga, diharapkan Adam as dapat menciptakan
bayang-bayang surga di bumi. Kemudian ketika turun Adam as dibekali
empat karakteristik sebagai pedoman dalam menjalankan tugas
kekhalifahan, sebagaimana dinukil Imam ar-Razi dan Imam an-Naisaburi
dari Imam al-Hasan :
قال
الحسن : لما أهبط آدم عليه السلام إلى الأرض أوحى الله تعالى إليه يا آدم
أربع خصال فيها كل الأمر لك ولولدك واحدة لي وواحدة لك وواحدة بيني وبينك
وواحدة بينك وبين الناس أما التي لي فتعبدني لا تشرك بي شيئاً وأما التي لك
فإذا عملت نلت أجرتك وأما التي بيني وبينك فعليك الدعاء وعلي الإجابة وأما
التي بينك وبين الناس فأن تصحبهم بما تحب أن يصحبوك به
Berkata
Imam al-Hasan : “Ketika Adam as diturunkan ke bumi, Allah ta’ala
memberi wahyu padanya: Wahai Adam, ada empat karakteristik yang mesti
kamu dan anak keturunanmu pedomani yaitu hak-Ku,
hakmu, hubungan antara Aku dan kamu, dan hubungan antara kamu dan
sesamamu. Hak-Ku adalah kamu harus mengabdi kepada-Ku. Hakmu adalah Jika
kamu bekerja (beramal), maka kamu mendapatkan upah (pahala). Hubungan
antara Aku dan kamu adalah silahkan ajukan permohonan, maka akan Aku
beri pengabulan. Dan hubungan antara kamu dan sesamamu adalah
Pergaulilah mereka dengan perilaku yang kamu cintai , yang kamu harapkan saat mereka mempergauli dirimu.
*Sumber : Buletin al-ghadier kempek
No comments:
Post a Comment