OLEH: HABIB JINDAN BIN NOVEL JINDAN
Diceritakan
bahwa Imam Hasan As-Syadzili kedatangan seorang yang ingin belajar ilmu
kimia merubah benda menjadi emas. Ilmu ini sudah lama punah. Imam
mengiyakan dengan syarat setiap batal wudhu harus melakukan shalat
sunnah. Setahun kemudian ketika sedang menimba air terasa berat dan
didapati air tersebut berubah menjadi emas!. Karena sudah istiqomah
untuk berwudhu shalat sunnah maka dituang lagi, di tarik lagi. Didapati
emas lagi, dibuang lagi terus hingga kembali menjadi air “Ini yang saya
mau!”.
Murid
tadi menemui Imam As-Syadzili meminta dikembalikan seperti semula, maka
berkata sang Imam “Cukuplah. Dirimu pun sudah mejadi emas hingga hatimu
pun menjadi emas!” Berkat keberkahan dekat kepada orang mulia, bagi
murid emas dan tanah adalah sama!
Habib Jindan bin Novel Jindan
Lihat.
Cinta Habib Munzir kepada gurunya yaitu Al-Habib Umar bin Hafidh begitu
besar hingga kalau di suruh lompat terjun pun beliau akan lompat. Bagi
Habib Munzir kalau Habib Umar menyuruh melakukan A ya harus A bukan a
kecil tapi A besar. Saya buka sedikit,dulu ketika Habib Munzir sering
memajang fotonya dan Habib Umar di jalan jalan, Habib Umar berkata
kepada saya untuk menyampaikan jika pada kedatangan kita berikutnya
jangan tempel foto di jalan umum, sekedar pengumuman tanpa foto. Biarkan
itu (pengumuman dan foto, red) milik para orang politik, berlaku hingga
sekarang. Ini penyerahan seratus persen terhadap gurunya, seperti mayat
di hadapan gurunya.
Dulu
di awal perjalanan dakwah, Habib Munzir sering keluar kota berhari hari
hingga banyak problem berupa sakit, tumpukan hutang dll, maka datang
surat dari Habib Umar melarang keluar kota dan perintah rinci lainnya
tidak boleh begini, harus begini dlsbnya. Tidak boleh pinjem sama
siapapun. Banyak perintah berat dengan adanya surat tersebut, saya tahu
isi surat tersebut karena bacanya bareng di kamar saya. Habib Munzir
syok dengan keadaan tersebut, sampai berkata “Kalau ane tahu hati Habib
Umar akan seperti ini, ane gak mau jadi ulama mending jadi tukang
sate!”.
Sayyidina
Umar bin Khattab pernah berkata “Andaikata aku tidak pernah dilahirkan
ke dunia, andaikata ibuku mandul, andaikata aku dilahirkan sebagai
seekor kambing maka akan lebih ringan. Hanya makan minum gemuk
disembelih maka selesai, tidak harus memikul tanggung jawab besar di
hadapan Allah.”
Saya
bilang “Ya munzir, mau bagaimanapun berat dan ringannya, Habib Umar
guru kita. Kita tidak faham saat ini tetapi ke depan bakal faham.”
Ternyata betul! Urusan jadi beres, hutang selesai, dakwah hingga jadi
seperti sekarang dlsbnya. Kalau bukan karena surat Habib Umar tidak
bakal seperti ini dan semua itu pun butuh pengorbanan, mau makan pun
susah karena sudah gak boleh pinjam, terkadang ke majelis naik taksi,
kadang saya yang jemput, berkat taat dan kepatuhan. Lambangnya bukan
banyaknya massa dlsbnya, tetapi dengan ridhonya Habib Umar terhadap
beliau simaklah bait bait syairnya, beliau Habib munzir lakukan dengan
penuh pengorbanan. Intinya jangan pernah melepaskan diri dari syaikh
dalam keadaan apapun.
Belasan
tahun lalu, pernah satu saat, Habib Umar bercerita kepada saya ada
seorang murid Habib Umar, seorang teman kami berdakwah di Jazirah Arab,
sukses memiliki banyak jamaah, selesai majelis ditunggu banyak mobil
jamaah yang minta dinaikinya. Macam macam fasilitas. Tetapi ia lupa dan
berkata bahwa semua ini adalah hasil dari jerih payahnya, dari
keringatnya, bukan hasil dari gurunya. Menisbatkan kesuksesan kepada
dirinya lupa kepada gurunya yaitu Habib Umar. Ketika ia melepas diri
dari Habib Umar maka hilanglah sudah semua hal yang dianggap miliknya.
Tidak ada lagi macam macam fasilitas yang menunggunya, mobil mobil
muridnya hanya berlalu begitu saja tidak memperdulikan hanya sekedar “Oh
ada ustad.” Maka celaka orang yang dekat dengan syaikh tapi tidak
beradab!
Semoga kita menjadi murid yang membanggakan guru dan juga
menjadi kebanggaan guru kita. Aamiin.
Allahuma soli ala sayidina muhammad nabiyil umiy wa alihi wa shobihi wa salim. [bq]
Sumber: islamuna.info #google-nya aswaja
No comments:
Post a Comment