Islam, Seni Musik, Seni Tari, Seni Peran dan Seni Rupa - Santrijagad

Islam, Seni Musik, Seni Tari, Seni Peran dan Seni Rupa

Bagikan Artikel Ini
Oleh : Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq al-Azhari


Islam adalah agama yang mencintai keindahan dan mendambakan terwujudnya keteraturan dan harmoni dalam berbagai hal. Inilah yang sebenarnya hakikat Islam yang pernah ditengarai Nabi saw. dalam sebuah sabdanya, " Sesungguhnya Allah Mahaindah; mencintai keindahan."

Seni pada hakikatnya adalah kreasi-kreasi keindahan yang tak pernah ditentang Islam. Namun demikian, tampaknya harus segera ditegaskan bahwa Islam memang lebih memprioritaskan prinsip moralitas dari sekedar prinsip keindahan. Dengan kata lain, kreasi-kreasi artistik dan estetik harus dikaitkan dengan dan di bawah kendali, etika dan moral. Inilah sebenarnya sikap dasar Islam terhadap berbagai bentuk kesenian. Standar Islam dalam menilai berbagai karya seni sebenarnya dapat diformulasikan dalam sebuah kaidah; " Seni yang baik adalah baik, seni yang buruk adalah buruk."


Al-Qur'an-melalui ayat-ayatnya yang cukup banyak-kerap kali mengajak pembacanya untuk memperhatikan keindahan alam raya dengan segala keteraturan dan keserasiannya. Alam raya adalah kreasi Sang Mahaindah yang tak pelak telah merefleksikan keindahan dan kesempurnaan Penciptanya. Alam raya memang lebih dari sekedar pesona keindahan yang menimbulkan decak kagum mereka yang mengamatinya. 

Jika demikian halnya perintah al-Qur'an untuk mengamati keindahan alam menjadi mustahil bila Islam dianggap  memusuhi keindahan karya-karya seni dan kesenian. Islam sama sekali tidak menolak karya-karya seni dan kreasi-kreasi kesenian yang luhur. Yang ditolak oleh Islam adalah karya-karya seni picisan yang rendah lagi amora.

Dari penjelasan di atas, jelaslah kiranya bahwa tak ada alasan bagi Islam untuk menolak suatu karya seni yang menimbulkan kedamaian pikiran, mengasah kelembutan hati, serta melatih sensivitas perasaan. Tetapi seni yang keluar dari tujuan luhurnya, yang sengaja membangkitkan selera rendah birahi manusia, adalah suatu karya seni yang destruktif yang akan meluluhlantakan kehidupan dan bangunan peradaban umat manusia. Karya-karya yang berselera rendah dan amoral sebenarnya tidak layak disebut sebagai seni, tetapi lebih tepat disebut sebagai kejahilan hedonistik yang harus ditolak.

Musik dan lagu yang diaransemen dengan apik, lirik yang baik, nada yang asyik dengan dukungan karakter vokal yang kuat dan merdu, tentu tidak akan ditolak oleh Islam, selama musik dan lagu itu mengindahkan prinsip-prinsip kepatutan dan moralitas. Nabi Muhammad saw. pernah memuji suara merdu Abu Musa al-Asy'ari yang tengah menyenandungkan ayat-ayat al-Qur'an. Nabi juga memilih mereka yang bersuara nyaring dan merdu untuk mengumandangkan adzan. Bahkan Nabi saw. pernah mendengar suara genderang ditabuh dan seruling mendayu-dayu tanpa merasa sungkan.

Suatu ketika, di hari raya, Abu Bakar menyaksikan puterinya yang menjadi isteri Nabi, Aisyah, tengah mendengarkan dua sahaya perempuannya bernyanyi sambil diiringi tabuhan gendang. Menyaksikan hal itu, Abu Bakar melarang Aisyah mendengarkan nyanyian dua sahaya itu. Namun Nabi saw. menolak keberatan Abu Bakar itu seraya berkata, " Biarkanlah kedua sahaya melakukan hal itu, wahai Abu Bakar. Sesungguhnya hari ini adalah hari raya." Nabi saw. bahkan pernah meminta Aisyah untuk mengutus seseorang yang dapat bernyanyi untuk suatu resepsi perkawinan salah satu kerabatnya. 

Hadist-hadist yang berkaitan dengan diperbolehkannya musik dan lagu sebenarnya cukup banyak. Kesemua riwayat itu menjelaskan, bahwa lagu dan musik bukan-lah dua hal yang dilarang dalam Islam, selama keduanya tidak mengandung kemngkaran-kemungkaran amoral yang ditentang Islam.

Mengenai seni tari, Islam membedakan antara tarian laki-laki dan tarian perempuan. Tarian tradisional yang dimainkan oelh seorang atau sekelompok laki-laki, tidaklah menjadi masalah. Nabi Muhammad saw. sendiri memperkenankan isteri beliau, Aisyah ra. menyaksikan tarian yang dibawakan oleh beberapa pria asal Habasyah ( Ethiopia ) di hari raya. Demikian pula, tarian perempuan yang terbatas disaksikan oleh kalangan perempuan, juga tidak jadi masalah. keberatan Islam atas seni tari lebih ditujukan pada tarian-tarian perempuan yang dipertontonkan di hadapan laki-laki, karena akan mengakibatkan sejumlah dampak negatif yang tidak diinginkan Islam

Adapun seni peran, Islam sama sekali tidak melarangnya selama mengindahkan prinsip-prinsip etika dan moral. Tentu tak seorang pun dapat memungkiri pengaruh besar dari seni peran yang baik dan bernilai tinggi dalam membantu mengatasi berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, Islam tidak melarang munculnya seni-seni peran yang mengandung entertainment yang baik yang tidak keluar dari batas-batas kepatutan. Hal yang sama juga berlaku pada seni rupa dan fotografi karena besarnya peranan seni yang disebut terakhir ini dalam kehidupan manusia modern.

Sementara dalam kaitannya dengan seni pahat atau patung, memang terdapat beberapa teks dasar keagamaan (nash) yang jelas-jelas menunjukan keharamannya. Hal ini disebabkan karena Islam meletakkan kemurnian Tauhid sebagai perhatian utamanya, di mana dikhawatirkan patung-patubg tersebut akan menjadi sembahan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum pagan dahulu. Akan tetapi boleh jadi jika kekhawatiran tersebut dapat diantisipasi-sejalan dengan semakin meningkatnya daya nalar manusia yang tidak akan menyembah patung-patung buatan manusi-seni ini pun menjadi tidak dilarang.

Hanya saja perlu diingat pula bahwa untuk mengantisipasi agar tidak terjerumus kepada sesuatu yang dilarang, Islam memilih menutup pintu-sebagai tindakan preventif-bagi kemunculan jenis seni yang satu ini, karena tetap berpotensi mengakibatkan ekses-ekses negatif di masa-masa selanjutnya (dalam yurisprudensi Islam disebut dengan prinsip sadd adz-dzari'ah )  Sebab syari'at Islam adalah syariat universal yang diperuntukan bagi seluruh generasi dan setiap masa. Apa yang dianggap tidak mungkin terjadi di wilayah tertentu, ia menjadi mungkin di wilayah lain. Demikian pula, bisa jadi sesuatu yang dianggap mustahil terjadi di masa tertentu akan menjadi sesuatu yang nyata terjadi-cepat atau lambat-di masa yang akan datang. [Akhmad Syofwandi]

No comments:

Post a Comment