Kisah Kudeta Mekah 1979: Akar Gerakan Teror Modern (2/2) - Santrijagad

Kisah Kudeta Mekah 1979: Akar Gerakan Teror Modern (2/2)

Bagikan Artikel Ini
Lanjutan dari artikel sebelumnya: Kisah Kudeta Mekah 1979: Akar Gerakan Teror Modern (1/2)

Diapit oleh tiga militan bersenjata bedil, pistol, dan belati, Juhaiman mulai menerobos kerumunan di pelataran, kea rah Ka’bah yang suci dan Imam Masjidil Haram. Sang Ulama (Syekh Muhammad as-Subayl –ed), yang baru saja memalingkan wajahnya dari Ka’bah ke arah keributan yang terjadi di antara kaum mukmin, member isyarat bahwa ia berdiri di samping kanan peti mati. Peti itu berisi jenazah sungguhan; keluarga anak yang meninggal itu, abai akan kehebohan yang memuncak, mengharap imam mendoakan mayat kecil tersebut.

Sang ulama bersedia membantu, membacakan doa-doa suci, memberi penghormatan terakhir kepada si mayat yang tersirat lewat wajahnya. Dia sadar saat itu, bahwa Juhaiman dan beberapa orang bersenjata tersebut, yang sekarang menjadi sumber kehebohan, adalah mereka yang pernah mengikuti kuliah-kuliah Islamnya di Mekah. Rasa ngeri kembali muncul tatkala Juhaiman, dengan tanpa hormat, mendorong sang ulama ke samping, sekaligus merebut mikrofon. Ketika sang imam mencoba mempertahankan mike, salah seorang perusuh mencabut sebilah belati tajam dan berteriak sekuat-kuatnya, siap menikam.



Dengan mengangkat sepatu, ribuan orang berlarian ke tembok pagar. Hanya lima puluh satu orang yang terkurung. Orang-orang bersenjata itu terlihat beringas, moncong senjata diarahkan ke kerumunan, menghalangi semua jalan keluar. Tidak tahu hendak berbuat apa, beberapa jamaah mulai menggemakan ‘Allahu Akbar – Allah Mahabesar!’. Orang-orang bersenjata itu, tanpa diduga, turut meneriakkan kalimat tersebut, menjadikannya semakin bergema meluas ke seluruh penjuru masjid, hingga memekakkan telinga.

Tatkala gemuruh suara menyurut, Juhaiman menyerukan seruan militer melalui mikrofon. Kontan, sejumlah anak buahnya yang terlatih membelah kerumunan, memasang senapan mesin di puncak tujuh menara tempat suci itu. Jamaah yang tertangkap dipaksa membantu. Beberapa orang diperintahkan menggulung ribuan karpet di dalam pelataran dan dijejerkan di sepanjang dinding. Yang paling mengerikan adalah mereka, yang dipaksa dengan odongan pistol, memanjat tangga curam ke puncak menara, membawa air sekaligus peti-peti berisi amunisi. Proses pengambilalihan tempat tersuci umat Islam itu berlangsung cepat dan sempurna.

Pada ketinggian 89 meter (292 kaki), menara masjid bisa memperlihatkan sebagian besar jantung kota Mekah, memberi ruang leluasa bagi para sniper kaum pemberontak. Sembari mengusap pelatuk logam dingin tersebut, mereka mengawasi sekitar jalan, berjaga-jaga barangkali ada musuh.

“Jika kalian melihat tentara pemerintah hendak mengangkat tangan melawanmu, apa boleh buat, tembaklah! Karena ia ingin membunuhmu,” seru Juhaiman kepada para sniper dengan aksen paraunya, “Jangan ragu!”

Di bawah menara, bahkan orang-orang Saudi –yang fasih dalam dialek lokal- sulit menyimpulkan apa yang tengah terjadi. Tangisan para perempuan, batuk para manula, dan bunyi langkah kaki telanjang, memenui pelataran Masjidil Haram dengan senandung cemas. Banyak orang luar negeri di antara sepuluh ribuan sandera yang kurang mampu berbahasa Arab berdiri terpaku di tengah kekacauan. Mereka bertanya, dalam bahasa yang bercampur aduk dengan bahasa-bahasa lain, kepada orang-orang senegara yang lebih terpelajar untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Komplotan tersebut telah dipesiapkan mengatasi persoalan linguistik, agar bisa dipahami. Segera, mereka mengelompokkan jamaah Pakistan dan India di satu sujud masjid bersama pemberontak kelahiran Pakistan. Pemberontak tersebut menerjemahkan isi pengumuman ke dalam bahasa Urdu kepada para jamaah yang kebingungan. Kelompok orang Afrika diberi juru bicara dalam bahasa Inggris.

“Sit down! Sit down and listen,” orang-orang bersenjata komplotan Juhaiman member aba-aba, sembari menodongkan moncong senjata kepada yang kurang patuh.

Saat para jamaah akhirnya tenang lantaran takut, kelompok misterius itu menganggap bahwa otoritasnya sekarang telah kian meluas, melampaui Masjidil Haram ke ibukota Arab Saudi hingga ke kota suci kedua dari dua kota tersuci umat Islam.

“Mekah, Madinah, dan Jeddah sekarang ada dalam genggaman kita,” para pemberontak mendeklarasikannya melalui sistem komunikasi publik yang ada di tempat suci tersebut. Saking kerasnya, kata-kata mereka terdengar sampai ke tengah kota Mekah.

Kemudian, Juhaiman menyerahkan mikrofon kepada seorang pengikutnya yang lebih menguasai kemampuan berbicara dengan bahasa Arab klasik. Itulah waktunya menjelaskan tujuan gerakan nekat ini.

Saat berikutnya, pengeras-pengeras suara Masjidil Haram mengabarkan pesan-pesan mengejutkan bagi satu milyar muslim dunia. Pengumuman bahwa sebuah ramalan telah terpenuhi dan masa perhitungan telah tiba. Manakala pidato disampaikan, sekali-kali diselingi suara tembakan, berhenti sejenak, dan pengeras suara kembali memecah kesunyian. Kepanikan merasuki seluruh kota Mekah. Bahkan para pelayan di kafe-kafe di luar dekat masjid berlarian lintang pukang.

Kemudian mulailah peperangan yang membuat Mekah berlumuran darah, menandai sebuah peristiwa yang sangat krusial bagi dunia Islam dan Barat.  Dalam hitungan jam, kekejaman ini mendorong krisis diplomatik global, menyebar kematian dan kehancuran ribuan mil jauhnya.
Aksi teror Juhaiman bersama 270 pasukannya berlangsung dengan rapi. Setelah menguasai keadaan di Masjidil Haram, dia membai’at iparnya, Muhammad bin Abdullah al-Qahthani, sebagai Imam Mahdi. Sejak 20 Noember, hingga slama dua pekan kemudian, suasana Masjidil Haram begitu mencekam, baku tembak terjadi di sana-sini. Lima hari pertama, Sang Mahdi tewas, banyak anggota teroris yang menyerahkan diri. Aksi ini berhasil dilumpuhkan pada 5 Desember, lalu pada 10 Januari 1980, Juhayman dan 60-an anggotanya dieksekusi, 19 orang dipenjarakan, 23 wanita dan anak-anak direhabilitasi. Perisiwa ini memakan korban 12 orang pegawai dan 115 tentara Arab Saudi meninggal, 402 pegawai dan 49 tentara terluka, 75 anggota teroris tewas, dan 15 lainnya ditemukan tewas di terowongan-terowongan sekitar Masjidil Haram.
Ledakan di Masjidil Haram
Komplotan Juhaiman yang mengkudeta Masjidil Haram, Jamaah Salafiyah Muhtasiba
Dalam upaya menangkap Juhaiman yang berindak kurang ajar menyerang tempat tersuci umat Islam tersebut, Pemerintah Saudi memperlihatkan arogansinya, ketidakcakapan dan pengabaiannya akan kebenaran yang membingungkan. Kesan yang ditunjukkan keluarga kerajaan tersebu ternoda selamanya. Kebanyakan kaum muslim Arab Saudi dan sekitarnya, termasuk Osama Bin Laden muda, sangat menolak pembantaian besar-besaran di Mekah tersebut (yang dilakukan pemerintah dengan dalih menumpas teroris), yang kemudian meruntuhkan loyalitas mereka.

Pada tahun-tahun berikutnya, mereka melakukan penyimpangan dan oposisi terhadap Istana Saudi dan penyokong Amerikanya. Ideology berapi-api yang diinspirasikan oleh orang-orang Juhaiman, membunuh dan menganiaya di tempat suci umat Islam tersebut, sekarang berubah menjadi kekerasan yang semakin padat, yang puncaknya ada dalam kelompok-kelompok teror di kemudian hari.

Melalui pelbagai peristiwa global, ideologi Juhaiman ini jelas mempunyai nilai yang sangat besar bagi berlangsungnya Perang Dingin di dunia modern. Model Islam brutal ala Juhaiman memperoleh dukungan dan perlindungan dalam penyebarannya di planet ini sejak 1979. Saat ini, gerombolan penganut ideologinya begitu sering terlibat dalam peledakan pesawat terbang, hotel-hotel turis, stasiun-stasiun kereta api yang membawa orang pulang pergi bekerja di empat benua.

Arti penting kudeta Mekah tersebut telah dilupakan saat ini, bahkan oleh kebanyakan pengamat bermata tajam. Terlalu banyak ancaman lain yang menjadi perhatian Barat. Pengambilalihan Masjidil Haram sebagai operasi skala besar pertama oleh sebuah gerakan jihad internasional di masa modern, dipandang sebelah mata sebagai hanya insiden lokal, warisan suku Badui Arab di masa lalu yang menyalahi zaman.

Tetapi, yang tak boleh dilupakan, dalam penelusuran jejak sejarah tersebut, sangat jelas bahwa latar belakang peristiwa 11 September, bom-bom terror di London, Madrid, Paris, hingga kekerasan mengerikan kaum militant Islam yang merusak Afghanistan, Irak, Libya, hingga Suriah, semuanya dimulai di pagi hari bulan November yang panas itu, tepat di bawah baying-bayang Ka’bah. [Zq]

*Sumber: Yaroslav Trofimov, ‘Kudeta Mekah: Sejarah Yang Tak Terkuak’, bagian prolog hal. 6-15, Pustaka Alvabet: Jakarta, 2012.

No comments:

Post a Comment