Habib Umar bin Hafidh: Sepuluh Prinsip Hidup dalam Keberagaman (1/2) - Santrijagad

Habib Umar bin Hafidh: Sepuluh Prinsip Hidup dalam Keberagaman (1/2)

Bagikan Artikel Ini
Hubungan baik antar manusia dengan berbagai macam keberagaman ras adalah hal pokok dalam kehidupan. Allah Ta’ala menyatakan;
“Wahai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujuraat: 13)
Dengan mengingat kesatuan asal muasal manusia, maka ikatan psikologis telah dijalin demi persatuan sosial. Serta mengurangi sebisa mungkin kebanggaan-kebanggan individu yang saling merendahkan satu sama lain. Hal ini berdasarkan pada ayat suci;
“…dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (Al-Furqon; 20)
Setidaknya ada sepuluh prinsip yang diajarkan syari’ah Islam untuk menata kehidupan sebagai konsep dalam masyarakat yang plural;
al-Habib Umar bin Hafidh


1. Tidak ada pemaksaan dalam berkeyakinan

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyebutkan;
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Al-Baqarah: 256)
Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa mendakwahkan agama dan mengkampanyekan kebaikan-kebaikannya tidak akan berhasil dengan paksaan, maka hal tersebut dilarang. Meskipun begitu, dakwah tetap merupakan kewajiban, bahkan menjadi tugas yang pokok bagi kaum muslimin.

Ada perbedaan yang sangat jelas antara menerapkan kekerasan untuk pemaksaan agama dengan perlawanan fisik terhadap hambatan dakwah, yang dimulai dengan argument-argumen bernas. Ketika memang terjadi hal terakhir itulah, perlu ada perlawanan fisik. Allah Ta’ala berfirman;
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 193)
Namun tentu saja, sikap perlawanan ini tidak boleh bertentangan dengan ayat sebelumnya, bahwa “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”

2. Perlindungan atas nyawa, harta, dan kehormatan setiap warga

Di dalam Al-Qur’an disebutkan;
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda; “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (yakni orang yang dijamin keselamatannya, merujuk kepada orang non-muslim yang hidup di negeri muslim), tidak akan mencium wewangian surga, meskipun aroma surga bisa tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan.”

Maka atas dasar perlindungan terhadap kehidupan, kepemilikan dan kehormatan itulah pentingnya membangun hubungan baik di antara kelompok-kelompok sebagai anggota suatu masyarakat.



3. Keadilan dalam setiap kebijakan pemerintah terhadap semua elemen masyarakat

Pembawaan emosional maupun kepentingan pribadi tidak diperbolehkan menjadi dasar untuk membuat putusan; baik untuk menegaskan yang salah, maupun untuk membatalkan kebenaran. Allah Ta’ala berfirman;
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (An-Nisa: 58)
Disebutkan juga di dalam Al-Qur’an;
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sejarah kejayaan Islam menyebutkan kisah menarik, yakni tentang suatu balapan kuda antara putra ‘Amr bin ‘Ash (gubernur Mesir saat itu) dengan seorang warga Mesir biasa. Karena kalah, putra ‘Amr ini emosi kemudian memukul orang Mesir itu tanpa kendali. Kemudian orang Mesir tersebut melaporkan hal ini kepada Khalifah Umar bin Khattab. Beliaupun memanggil putra ‘Amr dan ayahnya, lalu mempersilakan si orang Mesir untuk membalas sesuai dengan perlakuan yang dialaminya. Lalu khalifah menegur si pelaku; “Sejak kapan engkau mulai memiliki orang yang terlahir merdeka ke dunia ini?”

Lihatlah, kejadian ini menjadi salah satu cerminan prinsip keadilan dan kesetaraan did ala Islam.

4. Cinta kasih dan kesetiaan vis-a-vis keadilan dan kebaikan

Meskipun cinta dan kasih mendalam tidak diperkenankan untuk ditunjukkan kepada mereka yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya, namun nilai-nilai kebaikan dan keadilan harus tetap ditegakkan, sebagaimana diajarkan oleh Islam dan merupakan warisan dari Rasulullah saw. Penjelasan tentang ini nampak jelas di dalam Al-Qur’an;
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Larangan di dalam ayat ini terkecualikan bagi segelintir orang, yakni mereka yang memobilisasi kekuatan untuk menyerang, menekan, dan menjajah, sebagaimana ditekankan dalam ayat Al-Qur’an;
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Mumtahanah: 9)
 Jika ayat-ayat Al-Qur’an kita lihat secara keseluruhan, maka ayat-ayat semacam ini: “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At-Taubah: 73), ialah merujuk kepada kelompok manusia tertentu yang melakukan penyerangan, menjajah kemerdekaan, dan menebarkan kerusakan.

Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa penjajah memang harus dilawan. Namun perlu dipahami bahwa ada garis-garis tuntunan dalam hal tentang perlawanan ini. Narasi berikut ini sekiranya bisa menggambarkan hal tersebut;

Diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi, dari Abu ‘Imran al-Jawni, bahwa Abu Bakr as-Shiddiq ra. suatu kali mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan ke Syam (hari ini Suriah dan sekitarnya). Kala itu, Yazid berkata, “Aku tak suka melihat keadaan ini; aku berkendara sedangkan engkau jalan kaki.” Kemudian Abu Bakr menyahut, “Engkau telah keluar sebagai orang yang berperang di jalan Allah, maka aku mengharapkan pahala dari jalan kakiku ini.” Lalu beliau menasehati Yazid, “Jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, jangan pula menyerang orang terluka dan sakit, maupun para rahib. Pastikan jangan sampai menebang pohon-pohon berbuah, atau merusak wilayah berpenghuni. Jangan bunuh unta-unta atau hewan ternak melainkan sekedar untuk makan, jangan pula tenggelamkan pohon-pohon kurma ke laut atau membakarnya.”

Jika demikian halnya etika yang diteladankan oleh Rasulullah melalui para sahabat terhadap para penyerang dan penjajah, maka bagaimana kiranya akhlaq beliau terhadap mereka yang tidak menyerang? [Zq]

Bersambung ke artikel Habib Umar bin Hafidh: Sepuluh Prinsip Hidup dalam Keberagaman (2/2) 
*Sumber: Naseem al Sham, diterjemahkan oleh Zia Ul Haq dari catatan Dr. Muhammad Yasir al-Qadmani atas transkrip ceramah al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh.

No comments:

Post a Comment