Memprediksi Umur ISIS - Santrijagad

Memprediksi Umur ISIS

Share This
Tanpa adanya persatuan dan semangat juang yang tinggi, mustahil bagi rakyat Irak untuk menghalau dan menumpas ISIS yang militansinya kelewat hiper.
 Oleh: Achmad Murtafi Haris

Munculnya ISIS yang sekarang berubah menjadi IS, adalah buah dari carut marut politik dan konflik sektarian Sunni-Shiah di Irak. Konflik tesebut sedemikian parahnya hingga hari-hari di Irak tidak pernah sepi dari berita bom bunuh diri, khususnya yang dilakukan oleh kelompok radikal Sunni terhadap target-target Shiah. Beginilah sepeninggal Sadam Husein,2003, Irak ternyata dilanda konflik tiada henti hingga akhirnya muncul kelompok yang lebih dikenal dengan nama ISIS (Islamic State for Irak and Sham) atau yang dalam bahasa Arab disingkat dengan Da’ish (al-Dawlah al-Islamiyah fi al-‘Iraq wa al-Sham).

Munculnya ISIS mirip dengan munculnya gerakan Taliban di Afghanistan yang dilatarbelakangi konflik dalam negeri. Di mana pasca perang melawan Uni Soviet, faksi-faksi Mujahidin, khususnya faksi Hikmatyar dan Burhanuddin Rabbanibertempur satu sama lain untuk berebut kekuasaan. Kondisi ini mendorong lahirnya kelompok alternatif, Taliban yang kemudian dengan cepat mampu merebut kekuasaan dari para senior mereka di Mujahidin. Latar belakang konflik ini menjadikan kelahiran ISIS mirip dengan dengan kehadiran Taliban dan karenanya penulis coba menganalisa masa depan ISIS dengan pembanding Taliban.

Dari pengamatan sekilas, penulis memprediksi bahwa usia ISIS akan lebih pendek dari usia Taliban yang lima tahun. Mengapa demikian? Pertama, hingga saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang mendukung keberadaan ISIS. Berbeda dengan Taliban yang setelah menguasai Ibukota Kabul, dengan cepat mendapat pengakuan dari Pakistan, Saudi Arabia, Emirat dan menyusul Chechnya. Kedua, ISIS tidak didukung bahkan oleh sesama kelompok Jihadist seperti al-Qadah dan Jabhah Nusrah dan kelompok Islam ideologis seperti dan Ikhwanul Muslimin. Hal ini lantaran bahwa mereka semua merasa ditelikung oleh ISIS tatkala ia mendeklarasikan diri sebagai penguasa bagi Irak dan Syria tanpa melibatkan faksi-faksi yang sama berjuang dalam penjatuhan Bashar Asad. Shekh Yusuf Qardawi sebagai petinggi Ikhwan mengungkapkan kekecewaan itu. Dia mengatakan bahwa keberadaan ISIS menciderai perjuangan kelompok oposisi melawan Asad. Kasus Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah secara sepihak semakin menambah besar kemarahan kaum Jihadist. Ketiga, berbeda dengan Taliban, ISIS yang berada di Irak memiliki saudara sesama negara Arab yang suatu saat akan turun tangan membantu rakyat Irak dari kungkungan kaum ekstrimis (ISIS) atas dasar solidaritas Arab. Minimal negara Arab terdekat, seperti Arab Saudi yang terdampak langsung akan tidak segan-segan terlibat jika diminta. Dengan banyaknya musuh, sangat berat bagi ISIS bisa bertahan lama hingga seumur Taliban lima tahun sekalipun.

Meski sekilas ISIS tidak mendapat dukungan dari mana pun sehingga diprediksi berumur pendek, namun realisasinya sangatlah bergantung pada sejauh mana pemerintah Irak, Iran dan sekutu Shiah, negara Arab dan Barat serius memberantas ISIS. Untuk itu perlu kita kaji masing-masing. Pertama, Pemerintah Irak sebagai pihak yang berkepentingan mempertahankan kedaulatan negara dari kelompok separatis, berada dalam kondisi carut marut sehingga sulit untuk bisa diharapkan mampu memberantas ISIS. Kedua, ketidakmampuan pemerintah Irak dalam mengatasi ISIS, pada akhirnya mendorong negara tetangga yang ikut terancam dengan keberadaan ISIS untuk turun tangan.

Dalam hal ini muncul pertanyaan, siapakah dari negara tetangga yang akan turun tangan terlebih dahulu? Di sini ada beberapa kemungkinan. Karena pemerintah Irak dipegang oleh kelompok Shiah sebagai hasil kemenangan mereka di pemilu, besar kemungkinan Iran yang paling berkepentingan untuk membela saudara sefaham. Terkait hal ini, telah muncul keberatan dari negara Arab dan pihak Barat akan keterlibatan Iran di konflik Irak. Masuknya Iran ke Irak dan keberhasilannya kelak dalam memberantas ISIS, dikhawatirkan akan meningkatkan wibawa Iran di kawasan. Negara-negara Arab, khususnya negara besar seperti Mesir dan Arab Saudi tidak menginginkan hal itu. Di sisi lain, jika yang turun tangan adalah negara Arab, maka dimungkinkan bantuan mereka tidak maksimal; mengingat warga Irak lebih banyak yang menganut Shiah daripada yang Sunni, sedangkan negara Arab mayoritas Sunni. Meski demikian, sangat mungkin bahwa mereka bisa bersatu jika yang mereka hadapi adalah kelompok ekstrim yang membahayakan semua pihak.

Kemungkinan ketiga, adalah intervensi Amerika dan Eropa demi kemanusiaan dan demi menjaga kepentingan Barat di Timur Tengah. Untuk yang pertama, demi kemanusiaan, sangat mungkin Barat akan turun tangan meski untuk itu mereka pilih-pilih. Sejauh ini, jika korban kemanusiaan adalah dari kelompok Islam, apakah itu Arab atau non-Arab, apakah itu Sunni atau Shiah, Barat nampak tidak terlalu perduli untuk mengatasi krisis kemanusiaan tersebut.

Sebut saja apa yang terjadi di Gaza dan konflik berdarah di banyak negara Arab yang mengorbankan warga sipil. Mereka tidak sampai turun tangan pada tingkatan mengadakan operasi militer untuk menghentikan konflik demi berhentinya jatuh banyak korban dari kalangan sipil. Tetapi jika yang menjadi korban adalah kelompok minoritas, seperti yang ditunjukkan belakangan ini di mana Amerika mengirim tentara untuk menyelamatkan penganut Yazidi yang bersembunyi di gunung untuk lari dari kejaran tentara ISIS, maka mereka turun tangan. Hal ini menjelaskan, bahwa misi kemanusiaan tidaklah berlaku jika korban kemanusiaan dari kalangan sipil Arab Muslim, ia berlaku untuk kelompok minoritas non-muslim.

Selain itu, fakta menunjukkan bahwa Amerika paling sigap jika apa yang terjadi mengancam keselamatan warganya dan keamanan negara. Seperti apa yang terjadi dengan operasi militer di Ierbil, di mana Obama memerintahkan mengirim pesawat tempur untuk mengebom beberapa target milik, maka respon tersebut adalah lantaran kekhawatiran Amerika, bahwa ISIS akan mendekat ke lokasi diplomat dan warga Amerika di Irbiel dan bukan untuk tujuan memberantas kelompok ekstrimis ISIS.

Artinya, sejauh mana kepentingan Amerika benar-benar dirugikan dan terancam, hal itulah yang menjadi pertimbangan utama apakah Amerika ikut angkat senjata atau tidak. Jika yang terjadi tidak mengancam mereka, maka Amerika akan lebih memilih untuk diam dan menjauhkan diri dari konflik. Atau paling banter, mereka memilih terlibat sebagai mediator perdamaian dan jalur diplomatik lainnya. Contoh kongkrit dari hal ini adalah, tatkala Amerika menyerang pemerintah Taliban di Kabul hingga akhirnya Taliban pun hengkang dan bubar. Operasi militer Amerika ini diambil lantaran Taliban tidak mau menyerahkan Usamah b. Laden yang ditengarai sebagai otak di balik dari serangan gedung kembar WTC pada 11 September 2001. Kemarahan George W. Bush atas tragedi itu membuatnya mengejar Usamah di manapun dan menghancurkan siapa yang melindunginya.

Melihat paparan di atas, di mana keterlibatan Iran dan negara-negara Arab bisa diharapkan karena terkendala faktor sosial-politis dan pandangan keagamaan. Dan di mana intervensi Barat tidak bisa diandalkan untuk terlibat dalam pemberantasan ISIS, maka tumpuan harapan ada di pundak rakyat Irak sendiri. Untuk itu, persatuan di antara para pemimpin Irak menjadi syarat utama. Syukur alhamdulillah, bahwa perkembangan terakhir menunjukkan harapan akan bersatunya rakyat Irak kini kian besar. Pasca pengunduran diri Nouri al-Maliki dari kursi perdana menteri dan pengangkatan Haidar Abadi sebagai pengganti, soliditas warga Irak mulai terbangun kembali. Hal ini dibuktikan dengan kesiapan suku-suku besar yang ada di Irak untuk angkat senjata bersama tentara pemerintah melawan ISIS.

Dengan persenjataan berat yang dimiliki oleh tentara Irak seperti pesawat tempur dan tank, diharapkan mereka mampu mengalahkan ISIS yang persenjataannya lebih rendah. Masalahnya tinggal bagaimana semangat persatuan dipompa sedemikian kuat sehingga menjadi kekuatan dahsyat dalam mempertahankan wilayah dan merebut kembali bagian-bagian yang telah jatuh ke tangan ISIS. Tanpa adanya persatuan dan semangat juang yang tinggi, mustahil bagi rakyat Irak untuk menghalau dan menumpas ISIS yang militansinya kelewat hiper. [Bm]

*Sumber: http://www.aljamaah.net/?p=1302

No comments:

Post a Comment