KH. A. Musta’in Syafi’i – Tebuireng Jombang
Ayat ke-26 surah An-Nur bertutur tentang pasangan. Yakni tentang yang buruk gendeng buruk (al-khabitsun gandeng al-khabitsat) dan baik gandeng baik (at-thayyibun gandeng at-thayyibat). Ayat ini menjawab tuduhan fitnah yang disebarkan kaum munafik bahwa ‘Aisyah rha., istri Rasulullah saw., selingkuh dengan Shafwan, seorang pemuda ganteng.
Publik terpengaruh dan Tuhan pun sengaja membiarkan sehingga pasangan mulia ini sempat pisah ranjang. Setelah dirasa cukup, akhirnya Tuhan ‘turun tangan’ mengklarifikasi dengan ayat ini. Poin yang bias diambil antara lain:
Pertama; yang dimaksud al-khabitsat adalah kata-kata yang buruk dan at-thayyibat adalah kata-kata yang baik. Gandengannya, al-khabitsun adalah orang yang buruk (baik laki-laki maupun perempuan) dan at-thayyibun adalah orang yang baik (baik laki-laki maupun perempuan). Artinya, kata-kata yang terucap dari mulut seseorang itu mencerminkan kepribadian pengucapnya.
Terkait kasus ini, yang dimaksud al-khabitsat adalah fitnah atau tuduhan zina terhadap diri ibunda ‘Aisyah. Sedangkan al-khabitsun adalah orang-orang munafik penyebar fitnah. Sebaliknya, at-thayyibat dan at-thayyibun untuk membahasakan perilaku para sahabat mulia dan segala tutur katanya yang santun dan terhormat. Inilah makna paling popular terkait munasabah ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya.
Lewat tafsir ayat ini, kami menitip pesan buat sedulur santri, bahwa seiring perkembangan dunia, komentar-komentar politik dalam bentuk apa saja, yang lugas, analisis, sentilan, banyolan, dan lain-lain di media massa telah menjadi mata pencaharian yang menjanjikan. Sehingga para pelakunya sehari-hari sangat sibuk memikirkan cara menyindir, mengkritik, dan menertawakan orang lain sehebat-hebatnya. Serta merasa puas bila kritikannya mendapatkan applaus dari orang banyak. Kritik memang perlu untuk kebaikan, tapi tetap ada etikanya.
Terhadap orang yang dikritik, itu urusan mereka. Tetapi kami merasa kasihan kepada pengkritik professional. Mereka diperbudak oleh keburukan pemikirannya sendiri. Akibatnya, kata-kata yang keluar dari mulutnya teramat buruk dan merendahkan. Mereka sibuk menertawakan orang lain tanpa sempat menertawakan diri sendiri.
Padahal, orang yang shalih dalam kurikulum sufistik adalah yang bisa ‘menertawakan’ diri sendiri.
Kedua; menunjuk sosok orang atau personal. Artinya, wanita yang baik cocoknya berpasangan dengan pria baik dan sebaliknya. Terkait kasus ini, bahwa ‘Aisyah itu sungguh wanita bersih karena telah terbukti menjadi pasangan bagi lelaki yang bersih, yakni Rasulullah. Pemahaman ini juga juga sudah bias menjawab fitnah di atas.
Kini persoalannya, bagaimana jika pasangan tidak serasi? Islam hanya memberi satu garis pokok, yaitu: wajib seiman. Sehingga menikah dengan pasangan tak seiman tidak sah secara mutlak. Sedangkan selain itu, seperti perilaku yang buruk, amoral, asusila, hanyalah arian-arian amal. Agama memberi bimbingan terbaik dan menganjurkan orang beriman memilih pasangan yang baik perilakunya, karena lebih aman. Sebaliknya, mewantiwanti agar tidak memilih pasangan yang buruk perangainya, karena mengkhawatirkan.
Itu wejangan dan bukan penghakiman. Sehingga bagi santri yang tangguh, boleh saja menikahi pelacur, artis amoral, atau penari erotis yan g dia cintai. Hukumnya sah meski berresiko. Santri tersebut dituntut sabar membimbing, aktif mendidik dan mencerahkan sehingga pilihannya itu menjadi wanita terpuji dalam pandangan Tuhan. Ia mendapat pahala ganda; pahala menjadi suami dan pahala men-shalihah-kan istri.
Hukum alam berpasangan itu serasi, sejalan dan kompak. Jika tidak sejalan ya tak bisa jalan. Rombongan burung merpati tak bias terbang sejalan dengan burung gagak. Jalan paling sederhana ya mencari pasangan lain yang diyakini bias sejalan, atau mau mengalah dengan menanggung segala beban.
Ketiga; terma ayat ini mendahulukan kata al-khabitsat dan al-khabitsun daripada kata at-thayyibat dan at-thayyibun. Urutan tersebut sesuai dengan pokok persoalan, yakni tentang fitnah yang disebar oleh orang-orang munafik. Orang-orang buruk (al-khabitsun) dengan ucapan buruk (al-khabitsat) inilah yang diklarifikasi. Sedangkan orang-orang baik (at-thayyibun) dengan ucapan yang baik (at-thayyibat) seperti para sahabat mulia justru berusaha meredam fitnah tersebut sebisanya dengan caranya masing-masing.
Urutan tersebut juga menyiratkan bahwa hal-hal buruk berupa ucapan dan perilaku harus mendapat perhatian lebih untuk diwaspadai. Karena berkata-kata buruk itu seringkali melegakan. Orang yang buruk moralnya akan merasa lega dan puas sekali bila berhasil memaki, memfitnah, dan merendahkan orang lain. Sedangkan membentuk ucapan yang baik dan tutur kata yang santun membutuhkan kesiapan mental dan kejernihan hati.
Makanya, Tuhan menjanjikan ampunan dan rejeki nan mulia;
“Lahum maghfiratun wa rizqun kariiim.”
*Sumber: Konsultasi Agama Majalah Tebuireng ed. 30/2013