Bercerita atau menulis ulasan kecil tentang tokoh besar nan sempurna seperti Nabi Muhammad mestilah hati-hati. Salah satu bentuk kehati-hatian itu adalah menyiapkan psikologis kita; menyadari bahwa dalam berbagai segi, sosok agung itu selalu jauh melampaui deskripsi dan narasi pihak ketiga yang berbicara tentangnya, menceritakan kegeniusannya, menggambarkan kesempurnaan dan humanitasnya apalagi berbicara tentang kedekatannya dengan Tuhan.
Ilustrasi masyarakat Arab lama |
Seperti yang disinggung sebelumnya bahwa Nabi lahir dari keturunan terpilih. Ada beberapa kesepakatan ulama mengenai nasab, atau urutan moyang Nabi; pertama, Ulama sepakat tentang person-person ayah dan kakek nabi, mulai Abdullah bin Abd Muthalib sampai Adnan (urutan 1-21) (HR. Bukhari). Kedua , ulama sepakat bahwa Nabi adalah keturunan Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim al Khailil (HR. Muslim), meskipun ulama berselisih mengenai person-person sebelum dan setelah Ismail bin Nabi Ibrahim Al Khalil.
Nabi Ibrahim yang bergelar Abu Anbiya; bapak para nabi itu berasal dari Babilon. Sebuah wilayah yang masuk ke Sumeria dan masuk juga wilayah Akkad, sebelah utara Mesopotamia atau Irak sekarang. Nabi Ibrahim mempunyai dua orang istri. Istri kedua Nabi Ibrahim; Hajar dan putranya; Ismail migran ke Mekah, tepatnya tinggal didekat Baitullah. Pada saat itu Mekah sudah berpenghuni, mereka adalah suku Jurhum. Sejak saat itu kelurga kecil Nabi Ismail dan ibundanya yang mulanya menggunakan bahsa Babilon mulai beradaptasi dengan bahasa setempat yaitu bahasa Arab.
Pada saat itu maupun jauh sebelum Ibunda Hajar dan Nabi Ismail migran ke Mekah, sudah ada masyarakat yang berbahasa Arab. Mereka diantaranya adalah ‘Ad, Tsamud, Thasim, Jadis, dan Hadhramaut. Mereka itulah yang disebut-sebut sebagai Arab Badi’ah. Adapula Arab yang disebut Arab ‘Aribah, yaitu orang Arab Asli keturunan dari Yasyjab bin Ya’rab bin Qhathan. Mereka disebut pula dengan Arab Qahthaniy. Kedua-duanya adalah Arab asli. Perbedaannya, Arab Badi’ah secara umum telah punah, sementara Arab ‘Aribah terus berkelanjutan.
Dari fakta yang demikian, para ulama menyimpulkan bahwa Nabi memang masuk “Mu’arab”, warga Arab pendatang berdasarkan naturalisasi. Demikian secara singkat, tentu saja penelitian lebih lanjut harus diupayakan.
Satu hal yang harus digaris bawahi, jikalah itu kemudian terbukti faktual, maka sama sekali tidak mengurangi kesempurnaan dan ajaran yang diturunkan oleh Allah melalui manusia terpilih ini. Dan seandainya hadits berikut dapat diterima;
أحب العرب لثلاث : لأنه عربي ، والقرآن عربي ، ولسان أهل الجنة عربي
"Cintailah Arab karena tiga hal; karena Aku orang Arab, karena al Qur’an menggunakan bahasa Arab dan kerena penduduk surga menggunakan bahasa Arab."
Sekali lagi, seandainya hadits itu dapat diterima, dan kesimpulan itu faktual, tidak salah jika Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, menggunakan pendekatan itu sebagai dasar Nasionalisme. Sembari mengatakan;
"Keturunan boleh-boleh saja Arab, Cina, ataupun Belanda, tapi kita dilahirkan di negeri tercinta Indonesia, kita dituntut untuk mencintai tanah kelahiran kita."
Agaknya memang sikap toleran dengan lokalitas dan respek dengan universalitas adalah salah satu denyut nadi Islam, bahkan semenjak nabi agung itu masih dalam rahim-rahim leluhurnya yang suci. [Zq]