Dari Redaksi
Mulanya kurikulum pendidikan umum berubah-ubah dan anak-anak kita dijadikan uji coba. Juga ada beban berat yang harus ditanggung dari TK sampai Kuliah berupa rancangan-rancangan jadwal yang benar-benar menyita waktu tapi minim sekali nilai-nilai kebaikan. Sekolah mesti enam jam dalam kurun waktu 5-6 hari. Dibebani dengan PR-PR yang tidak terukur. Juga les-les yang dilakukan di luar jam ini sehingga bimbingan belajar, kursus menjamur dimana-mana sebagai solusi sedatif. Bius rasa sakit bagi beban-beban pendidikan. Dimana jam untuk bermain dan bersosialisasi? Dimana alokasi untuk jam madrasah diniyah?
Jalan cepat, metode kilat, rumus-rumus samber gledek muncul supaya bagaimana caranya orang mengerjakan soal dengan cepat bahkan mendapat nilai tanpa mengerjakan soal. Soal yang sebenarnya bukan masalah karena soal adalah pertanyaan yang sudah pernah ada dan diulangi sementara masalah adalah yang harus dicari. suatu tujuan penting dalam pendidikan: problem solving seperti dikesampingkan.
Kelas dikotakkan. Yang pintar dicampur dengan yang pintar dan yang bodoh disatu kelaskan. Naik lagi dalam skala sekolah, ada sekolah internasional, sekolah lokal, ada sekolah desa yang terpojok dan hampir rubuh dengan buku-buku tua. Lalu dibikinlah ranking-ranking supaya ada anak pintar, ada anak bodoh. Anak pintar punya masa depan cerah dan anak bodoh menjadi tersisih. Ditambah dengan seleksi-seleksi yang dibuat-buat sendiri supaya dari jumlah besar, hak belajar banyak orang menjadi hak belajar untuk sedikit orang. Banyak generasi kita lalu menjadi buangan dari sekolah.
Kemungkinan kita memandangnya sebagai dampak dari rentetan peristiwa yang kurang disimak. Kemudian orang-orang menyalahkan siswa yang berorientasi nilai, pemikiran yang dangkal, wabah mencontek di setiap sudut kelas, anak-anak muda yang membolos dan merokok di mana-mana, hobi pacaran, mabuk-mabukan diantara siswa, hamil di luar nikah, pembunuhan dari kisah cinta siswa yang masih sangat belia. Kita lupa ini asap dan kita sendiri yang menyalakan apinya.
Setiap anak dilahirkan fitrah dan sepertinya ada pelampiasan-pelampiasan pada generasi kita dari tekanan-tekanan yang terjadi. Jangan harap ada Einstein yang lahir kembali apalagi melahirkan Nicola Tesla. Belum lagi inovasi, kreatifitas anak muda dijegal politik dari orang tua sendiri sehingga anak-anak kita menjadi gelandangan intelektual. Lalu kita menyalahkan para ahli yang kabur ke luar negeri. Sakit pendidikan kita begitu sistemik.
Madrasah diniyah telah mati...
Tulisan dari Twitter Pesantren Sidogiri Tentang MDA
Oleh sebagian kalangan saat ini keberadaan madrasah diniyah dinilai sudah sampai pada posisi la yamutu wa lahya alias hidup segan, mati enggan. Madrasah diniyah sudah tampak tidak menarik karena secara materi tidak menjanjikan & ijazahnya yg tidak terformalkan alias tidak diakui. Ditambah manajemen & tata kelola madrasah diniyah yg terkesan tidak serius dan asal-asalan membuat institusi ini kurang diminati. Sekalipun secara de facto madrasah diniyah sangat penting untk mencetak mental bangsa, tetapi secara de jure ia masih sebatas pelengkap. Pengelola madrasah diniyah masih terjebak dalam isu kesejahteraan. Karena dinilai tidak menjanjikan maka madrasah diniyah lantas ditinggalkan.
Kian kentalnya pola pandang materialistik dalam mengukur tujuan pendidikan memaksa pikiran pelaku pendidikan mengukur segala sesuatu dengan materi. Mirisnya, pendidikan agama pun terseret ke dalam kecendrungan itu. Tentu saja, ini menjadi kabar buruk bagi masa depan pendidikan agama. Tidak adanya kepentingan materi, baik bagi pengelola/murid diakui sebagai salah satu rahasia sukses pesahtren-pesantren di masa lampau. Faktor inilah yang banyak menyebabkan pesantren & madrasah diniyah bisa berperan mnjadi sumber utama terciptanya masyarakat yang agamis & berakhlak.
Dulu, cerita tentang madrasah, pesantren & guru agama di negeri ini begitu menyentuh. Ikatan ketiganya terbawa pengaruhnya sepanjang hidup.Saat ini, tradisi luhur itu mulai agak tergerus. Trend masyarakat, kebijakan pemerintah & fenomena politik sudah berorientasi materi. Memang dilematis, berbicara nasib guru agama ke depan, kita seperti terjebak dalam bulatan dilema yang tak berujung.
Jika urusan kesejahteraan berada di depan, mungkin fungsi guru/ustadz akan bergeser. Kiai/ustad & guru bisa jdi sama dengan pegawai/karyawan. Sebaliknya, jika tidak disertai dengan jaminan kesejahteraan, maka pendidikan madrasah bisa terancam gulung tikar. Saat ini, sngat sulit menemukan tenaga pengelola & pengajar yang sungguh-sungguh tanpa imbalan materi. Standar kesejahteraan sudah benar-benar mengakar (tujuan-red).
Oleh karena itu, pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan nasional, harus punya niat untuk melestarikan madrasah dan pesantren. Tanpa madrasah/pesantren cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai agama akan terus meluntur & itu sangat merugikan bangsa ini. Yang paling dibutuhkan dri pemerintah adalah kebijakan penguatan peran, dengan senantiasa menghormati pola pendidikannya yang independen dan salaf. Melihat fenomena ini, para pengelola pendidikan keagamaan perlu membaca keadaan tapi jngan sampai terikut arus.
Perlu ada perubahan untuk mnjaga minat masyarakat tapi jangan sampai menyentuh pada ranah prinsip yang diwariskan para leluhur. Pada kondisi seperti ini yang penting dijaga dalam diri guru/pengelola madrasah diniyah adalah keteguhan hati; Jangan sampai ada perasaan bahwa dengan tanpa dana mreka tak bisa berbuat apa-apa. Ketergantungan yg kuat pd materi berpotensi merusak jati diri.Bukankah leluhur kita menancapkan cita-cita luhur tanpa sedikitpun dirisaukan olh urusan dana?! Semoga hati kita juga bisa! Semoga perjalanan pendidikan agama di negeri ini kian maju, diminati dan keterpurukan bangsa dari mental & moral terhindari.
Sumber: Twitter Pesantren Sidogiri, diedit seperlunya (Bm)