Oleh: Syaikh Hamza Yusuf, Zaytuna
College – California
Kebanyakan
dari kita, di tengah kesibukan hiruk pikuk dunia modern, malah lupa atau tidak
sempat melakukan refleksi. Yakni suatu upaya untuk melihat diri kita sendiri
melalui pantulan ‘cermin’, menelusur dan memahami akar segala masalah yang
terjadi akhir-akhir ini, terutama yang bernuansa agama. Padahal inilah hal yang
semestinya dilakukan oleh dua kubu; baik mereka yang mengaku relijius maupun
yang merasa sekuler.
Hamza Yusuf, Zaytuna College |
Khalil
Sarakiti, seorang intelektual Palestina pada era tahun 40-50-an, mengingatkan
para pemimpin Palestina tentang pentingnya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
tertinggi dalam kesepakatan konflik antara Israel dan Palestina. Namun dengan
pesimis, ia mengemukakan di dalam jurnalnya bahwa mereka justru menganggap
perseteruan tersebut sebagai medan laga ksatria, yang sebenarnya tidak cocok
dengan realita dalam perang modern.
Parahnya,
kenyataan yang terjadi pada manusia modern adalah; kepentingan mengalahkan
prinsip-prinsip yang telah dibangun bersama.
Dan
hal yang mengerikan adalah tumbangnya warga sipil yang tidak memiliki
kepentingan apapun, apalagi kesalahan. Militer hanya menganggapnya sebagai collateral
damage atau efek sampingan. Sedangkan beberapa kelompok umat Islam
menyerukan pembalasan dengan menyerang warga sipil pula. Tentu tidaklah
bijaksana jika pembunuhan terhadap ribuan jiwa wanita dan anak-anak di dua
pihak dimaafkan begitu saja.
Pada
dasarnya, sebagaimana aspek kehidupan manusia lainnya, agama juga memiliki
sisi-sisi paradoks. Di satu sisi, agama menawarkan nilai-nilai yang tak
ternilai harganya, seperti dalam Yahudi: “Seluruh Taurat terangkum dalam dua
hal; mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, dan mencintai tetangga sebagaimana mencintai
dirimu sendiri.” Atau dalam Kristen; “Perlakukan orang lain dengan hal yang kau
suka bila hal itu diperlakukan kepada dirimu.” Dan dalam Islam; “Menghilangkan
nyawa satu orang tanpa haq (alasan dan ketentuan) sama saja seperti membunuh
manusia seluruhnya.”
Namun
di sisi lain, ada oknum-oknum yang membuat nilai-nilai tersebut nampak kabur
dan sebatas mitos dengan menebar kebencian terhadap ‘pihak luar’ atas nama
agama. Sehingga Jonathan Swift mengungkapkan kepesimisannya terhadap agama;
“We
have just enough religion to make us hate, but not enough to make us love one
another. (Kita sudah punya cukup agama untuk membuat kita membenci, namun tidak cukup
untuk membuat kita saling mencintai satu sama lain)."
Bagi
sekelompok orang memang mulai beranggapan demikian, bahwa agama tidak lagi
menjadi solusi bagi apapun, justru menjadi sumber masalah masa kini. Tanpa
refleksi, kita hanya akan melihat masalah ini bagaikan air keruh.
Nah,
bagi kita yang merasa relijius dan mengklaim suatu keyakinan terhadap agama,
kadang justru sering menyebabkan keyakinan kita ini menjadi objek kebencian
orang banyak. Dengan sikap kita, dengan tingkah laku kita. Ketika orang-orang
melihat banyak sisi-sisi jelek manusia didemonstrasikan oleh kita yang
beragama, maka mereka akan menilai bahwa kejelekan itu bersumber dari keyakinan
yang kita anut. Parahnya, mereka kemudian akan mencoba menyerang keyakinan
kita.
Mungkin
kita bisa saja dengan mudah mencap mereka dengan berbagai sebutan; skeptis,
pencaci, sekuler, musuh agama, ateis, setan, atau apapun. Tetapi kenyataannya,
mereka juga manusia yang memiliki keyakinan. Ketika mereka menilai orang-orang
beragama justru tidak berperikemanusiaan, atau malah tidak relijius, maka
mereka kemudian mencari pandangan-pandangan lain sebagai pembimbing hidupnya.
Lalu
mereka berkiblat kepada filsafat Epictetus, atau Tao Te Ching, atau malah
Deepak Chopra. Atau mereka justru menyerah dan menenggelamkan diri dalam film
atau musik yang tidak hanya menjadi pengisi waktu luang, tetapi juga sebagai
panduan hidup.
Agama yang melembaga dan merasa angkuh, tampil menekan dan turut campur berlebih
terhadap kehidupan masyarakat secara tidak proporsional, menggiring
pemikir-pemikir dunia modern untuk semakin menyisihkan ide-ide agama ke tong
sampah sebagai barang usang. Sehingga ironisnya, para penganut agama merasa
tertekan dengan teriakan-teriakan dan pemaksaan ide-ide sekuler yang
digembar-gemborkan.
Inilah masalahnya, orang yang menolak agama merasa terancam oleh orang-orang beragama. Dan orang-orang beragama pun merasa terancam oleh orang-orang yang menolak agama karena berusaha menyisihkan agama.
Padahal,
semakin agama tersisihkan, semakin marah pula para penganutnya. Semakin marah
mereka, maka makin tersisihkan pula agama tersebut. Wah, seakan-akan kita terjebak
dalam siklus keterancaman dan tempur yang tak berujung pangkal.
Kita
bisa belajar dari fakta sejarah yang tragis di Eropa, terutama pada era
Aufklarung alias masa pencerahan. Begitu muaknya mereka terhadap tindakan
intoleran dan kekerasan tanpa akhir selama berabad-abad oleh pihak Gereja
sebagai representasi agama Kristen. Sehingga menyebabkan pemisahan dan
ketidakpercayaan besar-besaran terhadap agama secara formal. Meskipun
nilai-nilai moralnya tetap berusaha dipertahankan, namun itu tidak memiliki
pengaruh apapun sekarang.
Sayangnya,
hal demikian sangat mungkin dialami umat Islam. Berbagai macam kasus kekerasanatas nama agama, baik internal (sesama muslim) maupun eksternal (beda agama)
bisa mengendapkan benih-benih keraguan terhadap Islam. Efek samping seperti ini
–bahayanya- tidak hanya berlaku pada orang di luar Islam, tetapi juga bagi
pemeluk Islam itu sendiri. Kita khawatir jika umat Islam yang hidup di era
modern ini menjadi muak terhadap agama yang dianutnya. Sehingga mereka mencari
alternatif sikap dan pandangan hidup lain, konsep filsafat yang berbeda.
Berbicara
tentang kekerasan, hal itu sama sekali bukan merupakan hal yang dibenarkan
dalam agama, tak pernah dan tak akan pernah. Rasulullah pun menyatakan; “Jangan
berkeinginan untuk berjumpa (membunuh) seorangpun dalam perang. Namun jika
terpaksa, bersiaplah.”
Selain
itu, tindak balas dendam dengan merasa ksatria sebagaimana disinggung di awal
tulisan merupakan faktor yang bisa memperparah keadaan. Entah bagaimana jadinya
bila para penganut agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) benar-benar
meneladani putra Adam yang berkata;
لإن
بسطت إلي يدك لتقتلني ما أنا بباسط يدي إليك لأقتلك
“Jika
kau melayangkan tanganmu untuk membunuhku, aku takkan melayangkan tanganku
untuk membunuhmu. Aku takut kepada Tuhan, Penguasa semesta alam.”
Jadi
solusinya adalah pada penyikapan kita terhadap berbagai fenomena. Dengan
kecerdasan pola pikir dan kebijaksanaan pola tindak.
Setiap
orang yang berkomitmen terhadap Islam seharusnya menanyakan kepada dirinya
sendiri; sudah sejauh mana dia merepresentasikan agama Sang Maha Penyayang ini?
و
عباد الرحمن الذين يمشون على الأرض هونا وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلما
“..dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil ‘menyapa’ mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan..” (Al-Furqan; 63)
Sudahkah ia –penganut agama ar-Rahman- betul-betul berusaha
menjadi seperti sosok-sosok yang digambarkan Al-Quran dengan sangat indah itu?
[]
*Sumber:
www.sheikhhamza.com. Penerjemah: Zia Ul Haq
No comments:
Post a Comment