Haji Slamet: Membelah Bukit 9 Kilometer dan Hijaukan Lahan Desa - Santrijagad

Haji Slamet: Membelah Bukit 9 Kilometer dan Hijaukan Lahan Desa

Bagikan Artikel Ini

Haji Slamet telah menghijaukan puluhan hektar lahan tandus setelah berhasil membelah bukit setinggi 14 meter sepanjang 9 kilometer dengan cara mencangkulnya selama 4 tahun! Sekarang pria ini punya cita-cita baru; membuka rumah sakit gratis yang dibiayai dari hasil perkebunannya. Inilah kisah seorang pejuang lingkungan dari Kelurahan Ijo Balit, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.



Nama lengkapnya H. Lalu Slamet Suryawan Sahak, lazim disapa Haji Slamet, usianya kini menginjak 57 tahun. Ia kini memiliki lahan seluas 50 hektar yang ditanami bermacam-macam pohon, terutama pohon kelapa. Ia sangat gemar menanam pohon tiap ada kesempatan, meskipun sebenarnya ia bukan berasal dari keluarga petani. Lalu bagaimana ia bisa menjadi seorang pegiat lingkungan?


Dimulai setelah Haji Slamet menikah dengan gadis dari Natuna pada tahun 1982, ia memutuskan menempati lahan warisan orangtuanya di Ijobalit seluas 3 hektar. Kemudian ia bertekad membangun usahanya sendiri dengan segala kemampuan yang ia punyai. Awalnya ia menekuni profesi sebagai pemborong sesuai latar belakang pendidikannya. Namun lama-lama batinnya terusik sebab pekerjaan tersebut sering membuatnya tak jujur. Ia pun pindah pekerjaan sebagai penambang bahan galian seperti batu apung, kerikil, dan pasir untuk bahan bangunan.


Dari pekerjaan tersebut, penghasilan Haji Slamet dibelikan tanah sehingga lambat laun lahan miliknya semakin luas mencapai puluhan hektar. Ia pun ingin menanami lahannya dengan beraneka pepohonan produktif, namun terhalang oleh kondisi alam yang gersang sebab tidak adanya sumber air. Kondisi ini memang sudah berlangsung sejak zaman dahulu, dimana posisi geografis wilayah Ijobalit tidak terjangkau aliran air. Tentu saja hal ini membuatnya sangat prihatin. Desa Ijobalit yang luasnya 1200 hektar dengan populasi 1000 jiwa tidak terjangkau air untuk lahan pertanian. Tanahnya yang tandus hanya bisa ditanami umbi-umbian.


Berdasarkan pengamatan yang Haji Slamet lakukan secara mandiri, ia menyadari ada sumber air yang potensial untuk mengairi lahan desa, yakni sungai Parako yang berjarak 4 kilometer.  Ia pun mengajak warga untuk menggali parit sedalam 2-3 meter dari sungai Parako ke desa dengan alat seadanya, juga membendung sungai tersebut dengan karung-karung yang diisi tanah. Namun upayanya ini tidak optimal sebab debit air sungai Parako tidak begitu deras.


Kemudian Haji Slamet menyadari hal lain, bahwa di balik bukit setinggi 14 meter ada sungai yang alirannya cukup deras. Yaitu sungai Sordang yang mengalir deras dari gunung Rinjani langsung ke lautan, dihalangi oleh gundukan bukit sejauh 9 kilometer sampai ke desa Ijobalit. Di sinilah langkah gila Haji Slamet dimulai. Ia mengusulkan kepada warga desa untuk bersama-sama membelah bukit itu agar air sungai bisa mengaliri lahan persawahan warga!


Tentu saja Haji Slamet dianggap gila, usulannya kali ini diremehkan. Alasannya penolakan warga adalah bahwa medan kali ini dianggap mustahil untuk digali dengan peralatan seadanya. Harus digarap dengan modal besar dan peralatan berat. Selain itu, bukit yang akan dibelah adalah bukit yang dianggap angker. Program pemerintah masa sebelumnya juga selalu tidak jadi menggarap proyek pengaliran air melalui bukit itu. Jika pemerintah dan para kontraktor besar saja tidak sanggup, apalagi seorang Slamet.


Apakah Haji Slamet menyerah? Tidak. Meskipun tidak ada yang mau diajak membelah bukit, Haji Slamet memulai cangkulan pertamanya pada tahun 1991 sendirian. Ia lakukan setiap hari, tak peduli hujan ataupun terik. Minggu demi minggu berlalu, meter demi meter bukit berhasil ia robohkan, hal ini membuat beberapa warga desa bersimpati sehingga mulai mau membantunya.


"Misalnya, kalau kita mengajak masyarakat mencangkul, maka kita harus memberi contoh lebih dahulu. Makanya saya selalu mencangkul saat pagi-pagi gelap. Ketika tanah belum kelihatan, saya sudah sibuk di kebun. Contoh lainnya, kalau kita menyuruh orang mengangkut pasir, orang mengangkut satu karung maka kita harus mengangkut tiga karung. Nah, seperti itulah pelaksanaan Tut Wuri Handayani," kata Haji Slamet.


Tegarnya sikap dan keyakinan Haji Slamet membuahkan hasil menakjubkan. Empat tahun kemudian bukit itu berhasil dibelah. Dilanjutkan dengan penggalian saluran air dari sungai ke desa, dilakukan secara bersama-sama oleh warga desa.


Maka pada tahun 1995, Haji Slamet bersama warga desa Ijobalitmenyaksikan suatu peristiwa bersejarah dan mengharukan. Yakni detik-detik saat aliran air jernih dari sungai Sordang mengalir membelah bukit membasahi bumi Ijobalit yang selama turun temurun dikenal sebagai wilayah gersang. Warga desa pun bersorak sorai, saling berpelukan, memanjatkan syukur dan menangis haru.


Sejak itu penduduk desa Ijobalit tidak hanya mencari nafkah dengan menambang pasir atau batuan alam, tetapi juga berladang palawija, buah, maupun pepohonan kayu. Ijobalit yang dahulu dikenal gersang berdebu, kini menjadi dataran hijau yang subur dan makmur. Lahan pertanian yang dahulu hanya seluas 25 hektar yang mengandalkan air hujan, kini meluas jadi 80 hektar lebih. Bahkan kini Kelurahan Ijobalit sudah memiliki tempat pariwisata yang bernama Lembah Hijau.



Apakah perjuangan Haji Slamet selesai? Belum. Setelah menjadi pahlawan bagi warga dari kekeringan berkepanjangan, ia kini bermimpi membangun rumah sakit gratis bagi warga miskin di desanya. Hal ini bermula ketika kelahiran anak keduanya, berbarengan dengan meninggalnya seorang warga sebab tidak punya biaya berobat. Batinnya tergolak, ia pun bercita-cita membuat rumah sakit gratis.


"Beruntung anak saya Baiq Nurlatifah memiliki intelektual yang bagus, sehingga setelah lulus SMA, langsung daftar di fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi di Jogja. Setelah lulus, anak saya kini bekerja di rumah sakit di Selong, sekaligus membuka praktik di rumah," kata Haji Slamet.


Meskipun praktik medis ini melayani pasien kapanpun mereka datang. Serta dibuka secara gratis, namun tetap saja kadang-kadang warga tetap saja membayar seikhlasnya, ada yang membayar 5 ribu rupiah atau 10 ribu rupiah. Sekedar sebagai penawar rasa tidak enak. Haji Slamet meniatkan, jika nanti rumah sakit sudah berdiri, maka hasil kebunnya berupa ribuan pohon kelapa akan digunakan untuk membiayai tenaga medis dan obat-obatan yang diperlukan.


Niat baik dan tulus Haji Slamet disambut baik oleh banyak pihak yang mendengar rencana pembangunan rumah sakit gratis ini. Beberapa pengusahan menyumbangkan bahan bangunan, bahkan ada pengusaha nasional yang sudah sepakat dengan Haji Slamet untuk melengkapi seluruh peralatan medisnya.


"Sesungguhnya ini adalah ‘tangan’ Tuhan yang bekerja. Saya bersyukur sekali. Yang jelas, saya tidak akan takut melakukan apapun sepanjang Tuhan menyertai langkah saya. Ini keyakinan saya. Awalnya saya tidak suka didatangi media, takut dibilang memamerkan pekerjaan saya. Tapi saya lantas berpikir, jika apa yang saya lakukan dapat menjadi contoh yang baik, saya pikir toh tidak ada salahnya," tutur Haji Slamet yang selalu berpenampilan sederhana itu.


*Dirangkum oleh Santrijagad dari berbagai sumber (Antara, Kampung-Media, Blojensi)

No comments:

Post a Comment