Tanya Jawab Fikih #1 - Macam-macam Air - Santrijagad

Tanya Jawab Fikih #1 - Macam-macam Air

Bagikan Artikel Ini
TANYA JAWAB FIKIH #1 BAB MACAM-MACAM AIR
Sabtu-Jumat (19-25 Januari 2019)

1. Isti: “Hukum asal air sungai itu kan thohir muthohir, lalu bagaimana ketika air sungai tersebut terkena limbah pabrik misalnya, sehingga berubah sifat-sifatnya, apakah air sungai tersebut hukumnya menjadi thohir ghoiru muthohir karena hal tersebut? Padahal air sungai tersebut jumlahnya sangat banyak?”

JAWAB: Air yang sudah tercemar limbah sehingga berubah sifatnya jelas tidak bisa digunakan untuk bersuci. Apalagi jika air limbah tersebut berpotensi menimbulkan penyakit. Alasan kemakruhan air musyammas adalah adanya potensi penyakit, apalagi air limbah pabrik. Inilah salah satu hikmah kita mengaji thoharoh, yakni agar kita menjaga sebisa mungkin kebersihan lingkungan, terutama sumber air.

2. Hakim Usmanto: “Contoh air mutaghoyyar itu seperti apa ya?”

JAWAB: Air Mutaghoyyir adalah air yang sudah berubah sifatnya oleh benda lain yang suci, misalnya air sabun (yang sampai munthuk), air cucian beras, air susu, air teh. Intinya adalah semua jenis air yang sudah ‘bergaul’ dengan benda lain yang suci sehingga dia berubah sifat fisiknya. Kalau di pondok biasanya bikin es sirup seember besar, itu termasuk air mutaghoyyir, suci tapi tidak mensucikan. Nggak boleh buat wudhu.

3. Ilham: “Apakah air bersih hasil penyulingan limbah tinja bisa dikeluarkan dari golongan air yang terkena najis?”

JAWAB: Apabila dengan penyulingan/penyaringan sifat fisik air tersebut bisa kembali murni seperti semula, maka air tersebut kembali menjadi suci mensucikan. Misalnya dengan sistem Reverse Osmosis (RO). Air yang sudah kembali murni, selain bisa dikonsumis juga boleh digunakan untuk bersuci.

4. Atik Hidayati: “Apakah ada batas minimal volume air yang sah digunakan untuk bersuci?”

JAWAB: Batas minimalnya ya disesuaikan dengan kebutuhan bersuci yang dilakukan, dan tidak boleh isrof (berlebihan). Ukuran minimal dua qullah berlaku bila cara bersucinya dengan mengobok/nyemplung ke dalam wadah air yang digunakan, bukan air yang mengalir. Misalnya kita wudhu dengan cara mengobok (bukan menggayung) air di dalam kolam, maka volume air di dalam kolam itu harus lebih dari dua qullah.

5. Rohmathul Maisaroh: “Bagaimana jika berwudhu menggunakan air yang ada di bak mandi/ember ?”

JAWAB: Jika ukuran air di dalam bak mandi atau ember tersebut kurang dari dua qullah, maka berwudhulah dengan cara menggayung, jangan dikobok.

6. Pandu Wijaya: “jika ada air kurang dri dua kullah dan terkena najis walaupun sangat sedikit sekali misal satu titik/tetes brarti tetap tdak sah ya?”

JAWAB: Ya, hukum air tersebut menjadi mutanajjis. Semisal air dalam ember kecil yang kemasukan kotoran burung. Dengan catatan; kotoran tersebut bisa diindera, misalnya dengan mata telanjang. Kalau najisnya sangat kecil, bahkan untuk melihatnya harus memakai kaca pembesar, maka hal itu dima’fu (tidak apa-apa). Memang ada juga pendapat yang menyatakan bahwa air kurang dari dua qullah yang terkena najis dan tidak berubah hukumnya tetap suci, tapi di grup ini kita pakai pendapat yang masyhur saja ya. Sebenarnya hikmah thoharoh ini juga menimbang pengaruh air yang kita gunakan untuk bersuci dalam kesehatan. Selengkapnya tentang najis-najis yang dima’fu nanti ada di bab tentang Najis. Insyaallah.

7. Nur Alip: “Apakah boleh air sebanyak 2 kullah yang tidak mengalir dipakai berwudhu secara di celup langsung. Misal tanpa menggunakan gayung atau kran? Bolehkah dipakai oleh orang lain berikutnya?”

JAWAB: Boleh asalkan volumenya tetap banyak (lebih dari dua qullah), tidak kelong (berkurang). Juga boleh dipakai oleh orang lain berikutnya. Air yang sudah digunakan membasuh (wudhu) itu dihukumi musta’mal, tapi ketika dia sudah jatuh ke dalam wadah bersama air banyak (lebih dari dua qullah), maka dia kembali suci mensucikan. Cara ini sangat berguna di musim kemarau saat susah air.

8. SAR: “Apakah clipratan air bekas wudhu/mandi wajib yang masuk ke air ember yang kurang dari dua qullah yang suci mensucikan akan merubah status air di ember tersebut?”

JAWAB: Air bekas bersuci disebut musta’mal. Ketika percikan air musta’mal masuk ke wadah yang kurang dari dua qullah, maka air dalam wadah itu musti dilihat: (1) Kalau berubah sifatnya, tidak bisa dipakai bersuci. Kalau tidak berubah, tetap bisa dipakai bersuci. (2) Kalau percikannya lebih sedikit daripada air di dalam wadah, maka air di wadah itu bisa dipakai bersuci. Kalau percikannya lebih banyak atau sepadan dengan air di dalam wadah, maka air di wadah itu tidak bisa dipakai bersuci. Tapi umumnya yang namanya percikan air musta’mal tentu saja lebih sedikit dan tidak sampai mengubah air dalam ember yang diperciki, maka hukum air di ember itu tetap suci mensucikan. Jadi tak perlu was-was ya.

9. Ryan Septianto: “Kalo air dalam kemasan semisal dalam galon ato ukuran lain baik yang dari sumber mata air atau proses penyinaran air tanah, apakah masih bisa di kategorikan air mutlak yang suci dan mensucikan?”

JAWAB: Ya, secara kategori kesuciannya, air tersebut suci mensucikan. Artinya, bisa dan boleh digunakan untuk bersuci. Namun di dalam fikih ada yang namanya air Musabbal lis-Syurbi, yakni kategori air yang diperuntukkan khusus untuk minum, misalnya air kendi atau galon di serambi masjid yang diperuntukkan buat musafir. Nah, air semacam ini tidak boleh untuk bersuci kalau tidak terpaksa (misalnya sudah tak ada air lain lagi dan dibolehkan oleh si empunya galon).

10. Hakim Usmanto: “Mandi wajib menggunakan air yang ditampung menggunakan ember 10 liter yang tersambung dengan selang yang mengalir tetapi ember tersebut terkena cipratan air yang digunakan saat mandi wajib. Bolehkah?”

JAWAB: jawabannya sama seperti pertanyaan nomor 8, yakni tentang percikan air musta’mal ke dalam wadah air yang kurang dari dua qullah.

11. Sri Sundari: “Bagaimana dengan air dam/bendungan, yang area sekitarnya pernah dipakai untuk ternak hewan babi?”

JAWAB: Asalkan air di dalam dam/bendungan tersebut tetap murni, tidak berubah sifatnya (warna, bau, dan rasanya) sebab najis babi, maka air dam tersebut suci mensucikan. Tentu saja ukuran dam/bendungan lazimnya sangat besar ya, berjuta-juta qullah. Misalnya ada sendang/waduk/embung yang kecemplungan bangkai babi hutan, kalau sifat airnya berubah tentu jadi mutanajjis, kalau tidak berubah ya tetap suci.

12. Fahmi Amrullah: “Di rumah saya menggunakan tempat penampungan air dari sumur (toren). Lokasinya di atas genteng. Yang mana ketika akan digunakan mandi/wudhu saat ashar, magrib & isya, airnya menjadi panas setelah seharian terpapar matahari dan menjadi dingin pas subuh. Apakah dihukumi Musyammas /makruh untuk bersuci juga?”

JAWAB: Setelah air itu dialirkan ke dalam wadah, diamkan sebentar agar tidak panas lagi. Salah satu hikmah pemakruhan Air Musyammas adalah karena adanya kekuatiran munculnya penyakit (khususnya penyakit kulit) dari air yang terpanaskan sebab paparan ultraviolet. Apalagi air yang terpanaskan oleh sinar matahari di dalam wadah logam (selain emas dan perak).

Paper And Pen: (13) Untuk penjelasan terkait air menurut sumber, saya melihat ada air embun. Apakah untuk jenis ini ada ketentuan jumlah untuk dimanfaatkan bersuci (wudhu)? Misal kita di suatu tempat yang adanya air embun, sedang di gunung misalnya, bagaimana mengambil hukum apakah  sebaiknya tayamum atau wudhu dengan air itu?

JAWAB: Saya pribadi belum pernah praktek bersuci dengan air embun. Caranya adalah dengan mengumpulkan air embun itu sehingga mungkin digunakan untuk keperluan bersuci. Misalnya dalam wudhu ada mengusap dan membasuh, maka kondisikan air embun itu biar bisa digunakan mengusap dan membasuh. Artinya kita musti mengalirkan terlebih dahulu embun-embun di dedaunan itu ke dalam satu wadah. Tapi dari salah satu berita sains yang saya baca, ada orang di Maroko yang menggunakan jaring khusus untuk menangkap embun dan kabut sehingga terkumpul menjadi air. 

(14) Mengenai Air Musyamas. Ada penjelasan "hukum kemakruhan hilang jika air sudah tidak terlalu panas". Nah, apakah boleh, jika kita berwudhu dengan air yang dihangatkan (misal kondisi cuaca dingin), tapi sebenarnya bukan karena sakit dan semisalnya?

JAWAB: Air hangat yang direbus tidak masuk kategori Air Musyammas. Jadi tidak makruh digunakan, kecuali jika air itu sangat panas maka hukumnya makruh. Jadi ya boleh berwudhu atau mandi wajib dengan air hangat hasil rebusan. Termasuk dalam hal ini air hangat (semisal di daerah saya ada sumber mata air Guci), juga tidak makruh.

(15) Tentang air yg terkena najis. Misal suatu saat kita bersuci dengan air, sudah selesai, lalu sholat, dan akhirnya baru tau jika air tadi ada najisnya. Bagaimana hukum sholat kita?

JAWAB: Wallahu a'lam. Saya belum ketemu ibarot yang pas untuk masalah ini. Tapi saya juga pernah mengalami, dan saya pilih mengulangi wudhu dan shalat untuk berhati-hati, jika memang mengetahui keberadaan najis seketika itu juga. Wallahu a'lam. Sangat penting bagi kita untuk memperhatikan kondisi air yang akan digunakan untuk bersuci.

16. ifur: “bagaimana hukumnya cebok ( buang air kcil & besar)  menggunakan air yang kurang dari dua qullah + musta'mal,  apakah bagian badan tersebut bisa menjadi suci atau apakah air musta'mal dan air sdikit tersebut hanya khusus gak bisa dipake untuk wudhu' dan mandi wajib saja?”

JAWAB: Hukum bersuci (thoharoh) mencakup wudhu, mandi besar, tayammum, dan istinja (cebok). Jadi kalau mau cebok dengan air yang kurang dari dua qullah, maka ceboknya harus dialirkan/digayung, jangan dicelup/dikobok. Selain air itu jadi najis, ‘kan ya jijik juga to.

17. Masruri: “Apakah air di ember yang terkena jilatan kucing tetap suci dan sah untuk digunakan mandi wajib?”

JAWAB: Air tersebut tetap suci. Begitu juga bekas jilatan hewan lain (yang suci). Kecuali jika hewan tersebut peranakan anjing atau babi, maka jadi najis. Sekali lagi, perhatikan air tersebut adakah perubahannya atau tidak. Jika berubah sifatnya (warna/rasa/bau), mungkin saja di mulut kucing itu membawa najis yang mengubah sifat air. Jika sekedar dijilat-jilat dan tak ada perubahan, maka tidak apa-apa. Santai saja.

Pen and Paper: (18) Tentang air embun, berarti jika masih bisa diupayakan mengumpulkan hingga cukup untuk wudhu, kita masih dalam hukum belum boleh tayamum ya?

JAWAB: Ya, tentu saja ukuran memungkinkan itu sesuai dengan kondisi riil ya. Kalau memang tidak memungkinkan, ya tayammum. Sama halnya jika kita tahu ada aliran air di bawah tanah, tapi tidak memungkinkan bagi kita untuk mengambilnya sebab tidak punya alat.

(19) Tentang air di kolam renang. Kalau jumlah pasti banyak sekali ya, lebih dari dua qulah, tapi agak yakin kalau mungkin  banyak najis disana, nah tapi mungkin sdh diantisipasi dg pembersih kaporit dan lain sebagainya yg membuat air tidak terlihat berubah warna ataupun bau. Jadi ini air masuk kategori apa?”

JAWAB: Air yang dicampur kaporit seperti air pam, air kolam renang, dan sejenisnya tetap dihukumi suci mensucikan. Kriteria air Mutaghayyir adalah air yang salah satu sifatnya berubah sampai menghilangkan kemutlakan nama air tersebut. Tapi hal ini juga musti melihat bagaimana perubahan airnya.

Kalau kira-kira si air tercampur dengan sesuatu, kemudian terjadi perubahan yang signifikan sehingga air itu menjadi jenis air yang berbeda, maka ia disebut Mutaghoyyir. Contohl; air teh, air kuah, air susu, air mawar, atau semacamnya. Berbeda jika perubahannya sedikit dan tidak signifikan, serta sifat airnya masih dominan, sehingga hanya disebut dengan ‘air yang berbau susu’ atau ‘air berbau teh’, atau ‘air bau kaporit’.

20. Pandu Wijaya: “Saya pakai air sumur, tempat saya klo hujan jadi agak keruh dan pasti agak bau tanah tadz karena memang daerah sawah, apakah air sumur saya itu menjadi termasuk mutagoyyar dan tdak sah u bersuci badan?”

JAWAB: Bau tanah, bau lumpur, bau daun, bau lumut, bau batu, bukan termasuk penyebab air menjadi Mutaghoyyir. Air tersebut tetap suci mensucikan. Kriteria air menjadi Mutaghoyyir adalah jika ia tercampur dengan benda suci lain yang relatif susah dipisahkan kembali, sehingga menjadikan air itu lazimnya tidak lagi ‘dianggap sebagai air’. Contohnya ya air dicampur daun teh, maka ia lazim disebut teh. Dalam tema air Mutaghoyir ada istilah ‘mukholit’ dan ‘mujawir’. Mukholit adalah benda suci yang ketika masuk di air menjadi lebur (larut). Sedangkan Mujawir adalah yang tidak larut.

21. Akhsin Nachrowi: “Mohon rujukan utk jawaban no 8 poin ke-2, ttg percikan/cipratan air bekas wudhu misalnya yg disebutkan tdk memusta'malkan air dlm ember, krn percikan lebih sedikit dr air di ember. Air di ember bervolume brp? Besar sekali?”

JAWAB: Kalau volume air dalam ember lebih dari dua qullah tentu otomatis tidak ada masalah. Tapi di dalam pertanyaan yang diajukan, volume air dalam ember yang dimaksud kurang dari dua qullah. Ketika air dalam ember tersebut kecipratan air musta’mal, maka hukumnya ditafshil melihat kondisi air tersebut sebagaimana sudah dijelaskan. Rujukan dari Mughni (Ibnu Qudamah) Juz 1.

22. Teguh Prasetyo: “Apakah air mineral yang sudah kadaluarsa bisa di katagorikan air mutlak?”

JAWAB: Air yang berubah dengan sendirinya karena terlalu lama berhenti di tempatnya, maka air samacam ini hukumnya tetap suci mensucikan. Begitu juga air mineral yang disebut ‘kadaluarsa’. Setahu saya, tanggal kadaluarsa pada air mineral itu sebenarnya berlaku untuk kemasannya, bukan air di dalamnya. Ketika lewat tenggang masa berlaku, dimungkinkan bahan-bahan kimiawi berbahaya dari kemasan (semisal bisphenol) akan terlarut ke dalam air, sehingga berbahaya bagi kesehatan (khususnya anak-anak, bayi, atau ibu hamil).

*Catatan ini merupakan dokumentasi tanya jawab dari grup telegram Madrasah Santrijagad

1 comment: