Inilah Sumber Energi Perjuangan Para Sahabat Rasulullah - Santrijagad

Inilah Sumber Energi Perjuangan Para Sahabat Rasulullah

Bagikan Artikel Ini
OLEH: Dr. SHADEE ELMASRY

Muncul pertanyaan di benak kita ketika melihat kokohnya perjuangan para salaf, ibadahnya, dakwahnya, pencarian ilmunya, dan segala macam kesungguhannya. Pertanyaan itu ialah; darimana energi yang mereka dapatkan? Apa ‘bahan bakar’ yang membuat mereka begitu kokoh berjuang? Apa yang mampu mendorong mereka kepada pengorbanan harta benda, waktu, bahkan nyawa?

Jawabannya bisa kita lihat pada kilas-kilas sejarah kehidupan mereka. Bisa kita simak pada apa yang mereka ucapkan di saat-saat susah dan genting. Maka simaklah apa yang mereka ucapkan ini.
Dr. Shadee el-Masry, New Jersey UK
Pertama, Sayyiduna Khalid bin Walid. Ketika para pasukan perang yang ia pimpin nampak lesu dan payah sebab beratnya peperangan, ia berseru kepada mereka, “Katakanlah, Yaa Muhammadaah (wahai Muhammadku)!” Maka merekapun kemudian menyeru nama Rasulullah, “Yaa Muhammadaah!” Kemudian semangat merekapun tersulut. Andaikan mereka gugur dalam medan perang itu, mereka akan segera bertemu dengan sosok yang mereka rindukan, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

Kita ingat pula kisah tentang Sayyiduna Bilal bin Rabah. Ketika beliau sedang berada di ambang maut, istri beliau tersengguk meratap, “Betapa sedihnya, betapa pedihnya..” Sayyiduna Bilal justru menghardik dan berucap, “Tidak, ucapkanlah; betapa bahagianya, betapa gembiranya, sebab esok aku akan berjumpa kekasihku, yakni Muhammad dan para sahabatnya.”

Lihatlah bagaimana mereka memandang kematian. Mereka memandangnya sebagai waktu perjumpaan dengan kekasihnya. Mereka memandangnya sebagai waktu berbahagia karena hendak berjumpa dengan Baginda Nabi Muhammad, shallallahu ‘alayhi wasallam.

Kita ingat pula perkataan Sayyiduna Utsman bin Affan di hari ketika ia dibunuh. Saat itu, beliau berujar kepada istrinya, “Jangan kau hiraukan apa yang akan terjadi hari ini. Karena sungguh aku telah melihat Rasulullah dalam mimpi, beliau berkata; sempurnakan puasamu sebab engkau akan berbuka bersamaku dan bersama Abu Bakr serta Umar.”

Beginilah mereka memandang kematian. Jika mereka memandang kematian dengan cara demikian, bagaimana bisa mereka tertarik pada kenikmatan dunia? Bagaimana bisa mereka takut kepada siapapun di alam dunia? Bagaimana bisa mereka terikat dengan apapun di alam dunia?

Kita ingat pula perihal Imam Husain radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau pergi bersama rombongan dari Mekah menuju Kufah, pada saat melewati Madinah beliau bermimpi bertemu kakeknya, Rasulullah. beliaupun terbangun dalam rona bahagia, katanya, “Aku telah melihat kakekku yang mengatakan; pergilah, maka engkau akan menemui syahid, engkau akan datang menyusulku!”

Kita ingat pula tentang Sayyiduna Abdullah bin Umar bin Khattab. Tatkala kakinya terluka parah dan begitu menyakitkan. Lalu sang tabib yang sedang mengobatinya berucap, “Ingat-ingatlah apa yang kau suka, ingat siapapun yang kau cintai, agar menjadi ringan sakitmu.” Maka beliau menyeru, “Yaa Muhammadaah! Yaa Muhammadaah” sehingga hilang rasa sakit itu, sebab mengingat kekasihnya, Rasululah tercinta.

Inilah kisah-kisah yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Ibnu Asakir maupun Imam Ahmad bin Hanbal. Maka jawaban dari pertanyaan di awal tadi, apa yang menjadi sumber energi perjuangan para sahabat? Jawabannya tak lain ialah kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

Mungkin kemudian ada yang berkata, “Bukankah mereka adalah sahabat Rasulullah, mereka pernah berjumpa beliau, maka wajar saja jika demikian. Sedangkan kita tidak pernah berjumpa beliau.” Maka kita jawab;

Bahwa para sahabat juga menularkan ta’alluq (keterpautan) mereka terhadap Rasulullah, kepada para tabi’in yang tak pernah berjumpa beliau. Satu ketika, datang seorang lelaki yang mengalami kebutaan kepada Sayyiduna Utsman bin Affan. Ia bertanya, “Doa apa yang harus kupanjatkan sehingga penglihatanku bisa kembali?”

Maka Sayyiduna Utsman berkata, “Dahulu ada seorang bernama Dharir, ia datang kepada Rasulullah dan mengadukan kebutaannya. Lalu Rasulullah bertanya; maukah engkau bersabar? Itu baik bagimu. Pria itu meminta; doakan aku. Maka Rasulullah memerintahkan; shalatlah dua rakaat, lalu berdoalah dengan doa ini; ‘Duhai Allah, aku memohon pada-Mu, dan menghadap pada-Mu, dengan Nabi Muhammad Nabiyyu ar-Rahmah. Wahai Ahmad, wahai Muhammad, sunggu aku menghadap kepada Tuhanku dengan perantaramu agar hajatku ini tertunaikan. Duhai Allah, berikanlah syafaat kepadanya untuk diriku.’ Kemudian sembuhlah ia dan kembalilah penglihatannya.”

Lalu Sayyiduna Utsman mengajarkan doa ini kepada orang tersebut. Beliau mengajarkan ta’alluq terhadap Rasulullah kepada tabi’in yang tak pernah bertemu nabinya. Landasan keterpautan kita terhadap Rasulullah, padahal tak pernah berjumpa beliau, adalah bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, “Hidupku baik bagimu. Dan kematianku pun baik bagimu. Adapun saat hidupku, aku bisa berbicara kepadamu dan engkau bisa bicara padaku. Sedangkan setelah aku mati, akan ditampakkan padaku amal perbuatanmu. Jika kulihat amalmu itu baik, maka aku akan memuji Allah. Dan jika yang tampak adalah amal selain itu, maka aku akan mintakan ampun kepada-Nya.”

Inilah keterpautan antara orang beriman dengan nabinya yang mulia. Lalu bagaimana cara menanamkan keterpautan kepada kita terhadap orang yang tidak pernah kita tahu? Sebab inilah para ulama terdahulu menjadikan bulan Rabi’ul Awwal, bulan kelahiran Baginda Nabi, sebagai Bulan Rasulullah, sebagai momen untuk mengenalkan beliau kepada kita. Menjadi bulan untuk mengenang sifat Sang Rasul, menjadi bulan untuk mengingat kepribadian Sang Rasul, menjadi Bulan menghidupkan kenangan tentang perjuangan Sang Rasul di dalam hati dan akal kita semua.

Inilah saat yang tepat untuk mengajarkan kepada anak-anak kita tentang Rasulullah. Sebab beliau perna bersabda, “Didiklah anak-anakmu tentang tiga hal; mencintai nabinya, mencintai keluarga nabinya, dan membaca Al-Quran.” Hadits ini menempatkan didikan kecintaan kepada Rasulullah bersamaan dengan didikan untuk membaca Al-Quran.

Ada ujaran bahwa para sahabat terlebih dahulu diajari Rasulullah tentang iman, baru kemudian belajar tentang Al-Quran. Artinya, beliau mengajari para sahabat pondasi-pondasi keimanan terlebih dahulu sebelum mengajari hukum-hukum syariat. Adapun pondasi keimanan ialah cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

Sempurnanya kecintaan kepada Nabi Muhammad adalah dengan mengenang kepribadiannya. Bagaimana beliau begitu bersabar terhadap umat ini. Bagaimana beliau membimbing kaum yang terus menyakitinya. Bagaimana beliau tetap tegu berjuang dengan penuh kesabaran, mengajar, mendidik, dan menyertai para sahabatnya. Beliau menyambut siapapun yang membutuhkan, tidak pernah menolak mereka. Allah Ta’ala berfirman:

"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, maka Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 64)

Maka ketahuilah wahai orang-orang beriman. Jika engkau mencintai Nabimu, jika engkau mencintai kekasih Allah, maka taubatmu takkan ditolak oleh Allah meski bergunung dosa-dosamu. Melainkan engkau akan diampuni-Nya, dan kesalahanmu akan diganti dengan kebaikan demi kebaikan. Mari perbaiki kembali keterpautan kita terhadap Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. [Zq]

*Ditranskrip dan diterjemahkan oleh Santrijagad dari khutbah Jumat Dr. Shadee Elmasry (Safina Society, New Jersey) di Masjid Al-Rahmad Guildford, Sidney, Australia, 2 Desember 2016.

No comments:

Post a Comment