Mengintip Nikah Muth’ah - Santrijagad

Mengintip Nikah Muth’ah

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Mbah Zainal Ma’arif

Nikah Muth'ah adalah nikah yang diperselisihkan halal dan haramnya antara Sunny, Syi'ah Itsna 'Asyariyah dan Zaydiyyah. Bagi kalangan Sunny dan Syi'ah Zaydiyyah nikah Muth'ah adalah haram, dan bagi Syi'ah Imamiyyah Nikah Muth'ah diperbolehkan, bahkan dianjurkan dengan berbagai motivasi pahalanya.
Mengintip Nikah Muth'ah
Nikah Muth'ah adalah nikah yang dilaksanakan dengan membataskannya pada tempo tertentu, syarat dan ketentuan berlaku juga dalam pernikahan muth'ah sama seperti nikah da-im kecuali adanya wali dalam kasus pernikahan muth'ah dengan wanita yang bukan perawan dan dua saksi (nikah muth'ah tidak membutuhkan saksi, lihat fatawa al-Sistany).

Praktek nikah Muth'ah bisa digambarkan seperti ini:

Ketika syarat syarat telah terpenuhi dan disepakati, maka si wanita bisa langsung menikahkan dirinya dengan pria yang telah disetujui dengan maharnya, seperti halnya sebuah pernikahan yang membutuhkan aqad dengan shighot yang jelas seperti;

متعتك / أنكحتك نفسي إلى وقت كذا وكذ بمهر كذا وكذا

"Aku muth'ahkan/nikahkan diriku kepadamu sampai pada waktu (menurut kesepakatannya) dengan mahar (disebutkan menurut yang disepakati)."

Kemudian setelah si pria menjawab dengan;

قبلت

"Aku terima."

Maka pernikahan telah dianggap sah dan halal melakukan berbagai aktifitas laiknya suami istri.  Atau dengan prianya yang mengucapkan shighot aqad dulu seperti:
“Ankahtuki linafsi ila syahroini bimahri hadlihil aqiq...”

Kemudian siwanitanya menjawab; “Qobiltu.”

Namun sebagaimana masalah fiqhiyyah, di dalamnya pasti terdapat berbagai pembahasan dan pengecualian, demikian juga dalam kasus nikah Muth'ah ini, seperti pengecualian terhadap wanita perawan yang akan dimuth'ah, syarat atas ridlo walinya praktis diwajibkan, dengan kata lain, tidak sah/tidak dibenarkan menikahi muth'ah wanita perawan jika tanpa persetujuan walinya.

Namun menurut Syaikh Sa’id al Thoba’thoba’i, sah-sah saja menikah muth'ah dengan perawan tanpa persetujuan walinya asal tidak diduhul baik qubul maupun dubur, dan jika hendak menduhulnya wajib mendapat persetujuan walinya.

Setelah sampai pada batas yang disepakati, secara otomatis berahir pula aqad pernikahan itu, berlaku pula hukum sebagaimana mustinya bagi seorang wanita atas berahirnya pernikahan, yaitu ‘iddah dengan standart dua masa suci baginya. Namun menurut salah satu fuqoha syia'ah yaitu al-Sistany, dalam masa iddah wanita tetap diperbolehkan melakukan transaksi lagi dengan suaminya yang telah habis masa kontraknya, istilah Mbah Lalar; ‘tanduk’.

Kemudian hukum hukum yang berkaitan dengan yang berlaku dalam rumah tangga tidak sepenuhnya berlaku di dalam rumah tangga yang dibangun dengan pernikahan muth'ah semisal warits, jika si wanita mempunyai anak dari hasil pernikahan muth'ah, sianak tidak punya hak waris dari ayahnya. Bahkan hukum warist secara muthlaq juga tidak berlaku bagi wanita tersebut dari suami muth'ah tadi.

Demikianlah sekilas tentang nikah muth'ah dimana pro dan kontro telah sekian abad mewarnainya, dari sudut pandang hukum dan asumsi kemanusiaan oleh yang menentangnya, nikah muth'ah diidentikkan dengan perzinahan berselubung agama.

Atau dari ringannya hukum yang mengikat sebuah pernikahan muth'ah, maka pernikahan muth'ah ini kemudian dijadikan peluang oleh para mucikari untuk melegal-syar’ikan bisnis prostitusinya.

Sama seperti nikah misyar yang punya peluang untuk dimanfaatkan para pemuja birahi. Sampai di sini, tolong berhenti sejenak dan tanyakan pada jiwa anda sejujurnya, andai anak-anak anda dimuth'ah atau dimisyar, bagaimana nasib anak-anak dari hasil nikah muth'ah itu, kepada siapa ia membanggakan dirinya, bagaimana ia mengenali figur kebanggaan keluarganya? [Zq]

*Sumber: FB Zainal Wong Wongan

No comments:

Post a Comment