Hukum Beramal dengan Mengharapkan Pahala - Santrijagad

Hukum Beramal dengan Mengharapkan Pahala

Bagikan Artikel Ini
Syaikh abdullah bin Ahmad al-Zubaidi bertanya kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad  tentang hukum orang yang beramal dan melakukan kebajikan dengan tujuan mengharapkan pahala. 

Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menjawab “ Hal itu adalah harapan yang baik dan usaha yang terpuji dan penuh keberkahan. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang saleh dari kalangan Salaf (Yang tedahulu ) dan Khalaf ( Yang belakangan ). Karena seorang hamba diciptakan dalam keadaan lemah dan sangat membutuhkan karunia Allah, Dzat yang Mahakaya lagi Mahabesar. Demikian jawaban yang ringkas. Adapun jawaban yang terperinci akan sangat panjang, sehingga kami hanya akan menyampaikannya secara global saja sebagai berikut.



Orang yang melakukan satu perbuatan Ibadah terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, yang melakukannya karena takut ancaman hukuman Allah. Mereka disebut sebagai al-Kha’ifun ( orang yang takut pada Allah ). Kedua, yang beramal karena mengharap pahala. Mereka disebut sebagai al-rajun (Orang-orang yang berharap pahala ). Ketiga, yang beramal karena menjalankan perintah Allah semata, merekalah yang disebut al-‘arifun (orang-orang yang mengenal Allah). Seorang ‘arif billah harus memiliki rasa takut dan harapan, dan seorang yang kha’if (takut kepada Allah) harus memiliki harapan dan ma’rifat. Tetapi terkadang seseorang akan dinisbahkan kepada sesuatu yang lebih dominan pada dirinya, baik Maqom maupun ahwal-nya (keadaan).

Mengenai perkataan sebagian ulama tasawuf yang mengisyaratkan bahwa orang yang beramal dengan mengharapkan balasan pahala atau takut akan adzab adalah memiliki kedudukan yang rendah, hal itu diartikan sebagai peringatan bahwa orang yang beramal semata karena menjalankan perintah Allah lebih mulia kedudukannya disbanding orang yang berharap pahala atau takut adzab, demikianlah yang sebenarnya. Akan tetapi, kedudukan seorang memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Seorang hamba tidak kuasa untuk menempatkan dirinya sesuai dengan yang ia kehendaki. Semua itu merupakan kuasa Allah untuk menempatkan siapapun yang Dia kehendaki pada kedudukan yang Dia inginkan. Allah akan senantiasa menempatkan beberapa orang beriman pada salah satu dari tiga tingkatan di atas. Keadaan mereka tidak menjadi baik atau hati mereka tidak menjadi lurus kecuali dengan beramal sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing.

Terkadang, sebagian ulama ahli ma’rifat merendahkan kedudukan dan maqom seseorang yang beramal karena menghrapkan pahala dan berdasarkan harapan kepada keadaan seseorang yang jika tidak diimingi dengan pahala dan ditakut-takuti dengan dosa maka ia tidak akan beramal. Di dalam hatinya tidak terdapat rasa ta’dhim (pengagungan) dan penghormatan kepada Allah yang  bisa mendorongnya untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Masalah ini agak sedikit rumit, dan saya melihat ada sedikit kesalahan dan kerancuan pada ucapan sebagian ahli tasawuf.

Saya ingin mengatakan, beramal karena melaksanakan perintah dan mengharapkan keridhaan dan kedekatan kepada Allah adalah perkara yang baik. Beramal dengan mengharapkan pahala dan takut terhadap adzab juga termasuk perkara yang baik. Dan orang yang menggabungkan ketiga tingkatan itu dengan baik dan sempurna adalah orang yang digolongkan sebagai hamba pilihan Allah, akan tetapi mereka itu sedikit sekali.

Seseorang hendaknya mengetahui tingkatan dirinya dan beramal sesuai dengan tingkatannya itu. Janganlah bersikap seperti pekerja yang buruk, yang tidak akan bekerja kecuali jika mendapatkan upah. Jangan pula seperti hamba sahaya yang jahat, yang tidak akan berbuat baik kecuali karena takut hukuman. Hendaknya ia beramal karena Allah adalah Tuhan dan penolong dirinya, dab Dia yang memberi perintah dan larangan. Mengharap pahala karena itu adalah anugerah dan kebaikan Allah. Dan takut akan adzab-Nya karean ia su’ul adab (berlaku buruk) kepada Allah dan keteledorannya dalam beribadah kepada-Nya. Juga berharap keselamatan dari Allah sebagai karunia dari-Nya. Inilah jalan yang pernah dicontohkan oleh para ulama salaf yang saleh. Barangsiapa yang memperhatikan ucapan-ucapan mereka serta mengetahui sejarah hidup mereka, maka ia akan memahami apa yang kami sampaikan. Kami memohon ampun kepada Allah dan senantiasa memuji-Nya.” [Akhmad Syofwandi]

*Sumber : Buku Guru Sufi Menjawab Terjemahan Kitab Al-Nafais Al-'Uluwiyah; Fi Al-Masa'il Al-Shufiyah karya Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad

1 comment:

  1. Kok tidak ada sumber alquran dan al haditsnya utk sebagai dasar penafsiran..
    Atau hanya pemikiran seorang tasawuf saja

    ReplyDelete