Oleh: Geko
Dulu, di Ploso
hidup seorang naib bernama Mas Muhammad Utsman. Beliau lebih sering dipanggil
dengan sebutan Pak Naib. Semasa beliau sering sowan kepada para kiai
karena mengikuti saran dari KH. Muhammad Ma’roef Kedunglo. Saran tersebut
dilaksanakan dengan harapan beliau dapat memiliki anak atau keturunan yang
alim.
Pada tanggal 16 Mei
1900, di Ploso, lahirlah putra ke-7 dari Pak Naib tersebut. Putranya itu diberi
nama Mas’ud, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Djazuli Utsman. Semasa kecil
Mas’ud tidak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang mengisi hari-hari
dengan bermain. Setelah cukup memasuki usia sekolah, Mas’ud belajar di Sekolah
Desa yang juga disebut Sekolah Cap Jago. Tiga tahun lamanya Mas’ud belajar di
Sekolah Cap Jago, kemudian melanjutkan belajarnya ke InlandscheVervolgshool selama dua tahun. Setelah lulus dari InlandscheVervolgshool
Mas’ud melanjutan studinya ke Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Seperti Saudara-saudaranya yang lain, biasanya setelah lulus dari Sekolah Desa
kemudian belajar agama seperlunya di peantren. Namun berbeda dengan Mas’ud yang
mempunyai prestasi baik sehingga mendapat kesempatan pendidikan yang lebih
tinggi.
Setelah tamat
belajar di HIS Mas’ud masuk ke Stovia
(sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) Jakarta. Namun belum lama
berada di Jakarta, Mas’ud diperintahkan untuk kembali pulang. Pasalnya, Pak
Naib didatangi oleh Kiai Ma’roef Kedunglo dan memberikan saran agar Mas’ud
pulang dan melanjutkan pendidikan ke pesantren saja. Pak Naib memang sangat
menghormati ulama sehingga beliau pun menuruti kembali nasihat Kiai Ma’roef.
Pak Naib mengutarakan keinginannya kepada Mas’ud untuk belajar di pesantren,
Mas’ud menyetujuinya.
Pesantren yang
pertama menjadi tempat belajar Mas’ud adalah Pesantren Gondanglegi Nganju. Di
pesantren ini Mas’ud mendalamai ilmu tajwid dan ilmu nahwu dengan kitab
Al-Jurumiyah. Tidak lama belajar di pesantren ini, kemudian Mas’ud melanjutkan
belajar ke Pesantren Sono Sidoarjo yang terkenal dengan ilmu sharafnya atau
tashrif. Dengan belajar di kedua pesantren tersebut, Mas’ud telah mnguasai dua
induk ilmu.
Setelah cukup
menguasai dasar-dasar ilmu, Mas’ud melanjutkan ke Pesantren Mojosari, asuhan
KH. Zainuddin. Di pesantren ini Mas’ud menjadi santri yang memikat perhatian
gurunya, sehingga Kiai Zainudin berniat ingin menjadikan menantunya. Karena
tida mempunyai anak, maka Kiai Zainuddin menjodohan dengan anak angkatnya,
Badriyah, yang juga merupakan anak dari Kiai Khazin Langitan Tuban.
Dalam rasa
kebinugungan, timbul keinginan di hati Mas’ud untuk menunaikan ibadah haji.
Tekadnya yang begitu besar dapat meyakinkan keluarganya di Ploso untuk menjual
seluruh bagian tanah warisan miliknya dan beberapa ekor sapi. Namun ternyata
uangnya belum cukup untuk melunasi ongkos naik haji (ONH) yang sebesar 115
golden. Di tengah kebingungannya, Mas’ud mendapat cobaan, istrinya sakit. Namun
tekadnya masih kuat untu naik haji. Di luar dugaan, Kiai Zainuddin, sang mertua
memberi uang 100 golden sehingga Mas’ud memiliki uang lebih dari cukup untuk
naik haji.
Sesampainya di
tanah suci, dengan khusyu’ Mas’ud melaksanankan seluruh rangkaian ibadah haji.
Tiba-tiba mendapat kabar bahwa Badriyah, istrinya, telah meninggal dunia.
Meskipun cukup sedih, dia tetap mengikhlaskan istrinya menghadap Allah SWT.
Sejak saat itu Mas’ud memutuskan untuk menetap di tanah suci dan memperdalam
ilmu agamanya dengan berguru kepada para ulama Masjidil Haram.
Di tanah suci
Mas’ud berkenalan dengan seorang teman bernama Sahlan yang berasal dari Gurah
Kediri. Atas saran sahabatnya ini Mas’ud mengubah namanya menjadi Djazuli.
Kemudian namanya digabung dengan nama ayahnya sehingga menjadi Haji Djazuli
Utsman.
Mas’ud dan Sahlan
bekerja di biro perjalanan haji. Namun ternyata pekerjaan itu menyita banyak
waktu. Mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk belajar, sehingga mereka
memutuskan untuk keluar dari pekerjaan biro dan melanjutkan memperdalam ilmu
agamanya.
Keduanya memutuskan
untuk berguru epada Syaikhal-Allamah al-Aidarus di Jabal Hindi Mekkah. Tak lama
kemudian, beberapa orang yang mukim di Mekkah meminta Djazuli untuk mengajar
mereka. Kemudian Djazuli diberi uang sekedarnya untuk menyambung hidup di
Mekkah.
Pada tahun 1922
terjadi serangan kaum Wahhabi. Pemerintah menyatakan keadaan tidak aman dan
memulangkan orang-orang asing ke negara asal mereka. Sebelum pulang, Djazulli
dan kawan-kawannya menyempatkan ziarah ke makam Nabi Muhammad saw. di Madinah.
Ketika kaum Wahhabi berhasil menggulingkan pemerintahan Sunni, Mas’ud dan
kawan-kawannya tertangkap di Madinah. Mereka dipulangkan ke Indonesia melalui
konsulat Belanda. Tanpa persiapan, mereka langsung di masukkan ke dalam kapal.
Kitab-kitab yang berada di Mekkah tidak sempat di bawa. Hanya kitab Dalail
al-Khairat yang sempat dibawa oleh Djazuli.
Sepulangnya ke
Indonesia, Djazuli berkeinginan belajar kepada Kiai Hasyim. Pengasuh Pesantren
Tebuireng Jombang ini telah mengenalnya sebagai “Masud-nya Kiai Zainuddin
Mojosari”. Maka, Kiai Hasyim tidak mempersilakan Djazuli belajar, tetapi
memerintahkannya untuk mengajar. Kealiman dan akhlak mulianya membuat para kiai
ingin menjadikan menantu, termasuk Kia Hasyim. Karena Kiai Hasyim sudah tidak
memiliki anak perempuan maka ditawarkan kepada Kiai Muharrom dari Karangkates,
sekitar 2 km dari Ploso. Akhirnya Djazuli menikah dengan putri Kiai Muharrom
yang bernama Hannah.
Karena Hannah masih
berusia belia maka Kiai Muharrom menawarinya untu mondok lagi bersama dua kakak
iparya, Jufri dan Makki. Mereka belajar di Pesantren Tremas yang diasuh oleh
KH. Dimyathi (adik Syaikh Mahfuzh al-Turmusi). Lagi-lagi Djazuli tidak
diperkenankan belajar, tapi jusru mengajar. Nama Djazuli semakin populer di
kalangan para santri.
Di karangkates,
Kiai Muharrom mempersiapkan tanah untuk dijadikan pesantren kelak jika
menantunya pulang. Namun, istri Kiai Muharrom merasa ragu dengan Djazuli apakah
kelak mampu mencukupi kebtuhan ekonomi anaknya atau tidak. Setelah Djazuli
pulang, kesalahpahaman dan kecemburuan menyelimuti keluarga ini. Djazuli dan
dua kakak iparnya membuka pengajian. Dan ternyata santri yang mengaji kepada
Djazuli lebih banyak ketimbang kedua kaka iparnya. Situasi ini merusak hubungan
keluarga di antara mereka. Demi kebaikan bersama, Djazuli terpaksa menceraikan
Hannah setelah mendapat restu dari keluarganya di Ploso.
Setelah bercerai,
Djazuli pulang ke Ploso. Djazuli diikuiti oleh seorang kaka iparnya yang
bernama Muhammad Qomar. Djauli tinggal di sebuah komplek masjid. Di sebuah
masjid inilah Djazuli mulai merintis pesantren pada tahun 1924. Pria yang dulu
dikenal sebagai Mas’ud, kini mulai dikenal sebagai Kiai Djazuli.
Pada tahun 1925,
Kiai Djazuli mendirikan madrasah yang diberi nama Al-Falah. Hisyam, kawan
sealmamater Tremas, yang telah digembleng Kiai Djazuli selama enam bulan mulai
diperintahkan untuk mengajar. Materinya adalah Sullam al-Taufiq, Risalah
al-Mubtadi’in, dan Bad’ al-Amali. Pebangunan madrasah ini terus berkembang
hingga tahun 1927. Pada tahun 1928 dibangunlah pondok D (Darussalam) dan pondok
C (Cahaya) sebagai tempat tinggal para santri yang belajar di madrasah
tersebut.
Pada tanggal 15
Agustus 1930, Kiai Djazuli menikah untuk yang ketiga kalinya. Pernikkahan kali
ini dengan Nyai Rodhliyah atau Roro Marsinah yang merupakan janda dari Syaikh
Ihsan Dahlan al-Jamfasi. Dari pernikahannya dengan Nyai Rodliyah in membahkan
11 orang anak, yaitu Siti Azzah (wafat usia 1 tahun), Hadziq (wafat usia 9
tahun), Zainuddin (KH. Zainuddin Djazuli, pengasuh pesantren Ploso sekarang),
Nurul Huda (KH. Nurul Huda Djazuli, pengasuh pesantren putri), Hamim Thohari (KH.
Hamim Thohari Djazuli atau Gus Miek, wafat tahun 1992, mursyid Dzikrul
Ghafilin), Fuad Mun’im (KH. Fua Mun’im Djazuli), Munif (KH. Munif Djazuli,
pengasuh Pesantren Queen Al-Falah Ploso), Lailatul Badriyah (Nyai Hj. Lailatul
Badriyah Djazuli), dan Suad (wafat usia 4 hari).
![]() |
KH. Hamim Thohari Jazuli (Gus Miek) |
Dalam hal
pendidikan, ada yang menarik dari cara Kiai Djazuli mendidik anak dan
santrinya. Kiai Djazuli bersikap halus dan sabar jika dengan santrinya, namun
tidak dengan anaknya sendiri. Kepada anaknya sendiri Kiai Djazuli mendidik
dengan cara keras. Jika anaknya tidak mengerti pelajaran yang diberikan, tak
segan Kiai Djazuli menamparnya, memukul dengan sepatu, bahkan menyodok kaki
anaknya dengan bara api. Maklum, Kiai Djazuli adalah seorang perokok. Di suatu
kesempatan, Gus Dah bahkan pernah ditampar di depan para santri karena
kesalahannya tidak datang tepat waktu ke pengajian setelah maghrib.
Tahun 1930-an
akhir, jumlah santri Pesantren Ploso sekitar 100 orang. Ketika itu, pesantren
sering meminjam kantor kenaiban yang ada d Ploso. Tahun 1939, Kiai Djazuli
membangun komplek A (Andayani) yang dilengkapi mushola di depannya. Dengan
begitu, para santri tidak lagi sering gaduh di masjid kenaiban. Maklum, anak
usia remaja memang suka ribut atau ramai-ramai. Tahun 1941 kantor kenaiban dipindah
ke Mojo, sehingga gedung, pendopo, masjid serta tanah yang luas dibeli oleh
pihak Pesantren Ploso.
Setelah Indonesia
Merdeka, tahun 1948 terjadi peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI. Kondisi
pesantren saat itu sedang tidak aman. Pada tahun itu pula belanda datang
kembali ke Indonesia melakukan Agresi Militer. Kondisi semakin tidak aman. Kiai
Djazuli dan seluruh keluarganya mengungsi. Dalam susasana seperti itu, ibu Kiai
Djazuli (Nyai Naib Utsman) wafat. Sekali-sekali jika kondisi sedang aman, Kiai
Djazuli kembali ke Ploso untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.
Tahun 1950 keadaan
mulai tenang. Kegiatan di pesantren mulai normal kembali. Santri yang berjumlah
400, yang sebelumnya pulang ke rumah masing-masing, mulai datang kembali ke
pesantren, bahkan jumlahnya semakin banyak. Tahun1952 didirikan kimplek (al-Bar). Aturan juga semakin diperketat.
Kiai Djazuli mencontoh suasana Pesantren Tebuireng ketika masih benar-benar
salaf, ketika belum ada pembaharuan dan belum ada pelajaran umum. Tahun-tahun
berikutnya jumlah santri Ploso semakin bertambah sehingga di bangun komplek G
(al-Ghazali), komplek H (Hasanuddin), komplek A (al-Asyhar). Kemudian
mendirikan madrasah Lailiyah untuk anak-anak sekitar Ploso.
Tahun 1968 Kiai
Djazuli terkena sebuah penyakit. Mskipun sempat mmbaik, selanjutnya tersrang
penyakit kembali. Bahkan penyakitnya komplikasi dengan rasa sakit yang parah.
Dengan kondisi yang seperti itu, Kiai Djazuli masih berusaha mengajar para
santrinya. Hampir setahun beliau melakukan sholat lihurmatil waqti
(untuk menghargai waktu) terkadang sampai menjamaknya.
Delapan tahun Kiai
Djazuli harus sabar menahan penderitaan penyakitnya. Akhirnya, tanggal 10
Januari 1976 M/ 10 Muharram 1396 H, beliau wafat. Asuhan pondok diteruskan oleh
putra pertamanya KH. Zainuddin Djazuli yang dibantu adik-adiknya serta H.
Sabuth Pranoto Projo (putra Gus Miek)
![]() |
KH. Zainuddin Jazuli |
Sumber: Solahudin,
M. 2013. “Napak Tilas Masyayikh”. Kediri: Nous Pustaka Utama
No comments:
Post a Comment