Agamawan dan Problem TKW - Santrijagad

Agamawan dan Problem TKW

Bagikan Artikel Ini
Ulama yang dikenal sebagai agamawan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian masalah TKI secara komprehensif.  Bagaimana ulama mampu menafsirkan doktrin-doktrin agama agar tercipta semangat baru dalam menyelesaikan problem kemiskinan umat.



Oleh: Khamami Zada

Tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri sejak dulu menghadapi banyak masalah. Sejak pemberangkatan sampai berada di negara tujuan, mereka selalu mendapatkan masalah; dari penipuan menjelang pemberangkatan, dilacurkan, ditelantarkan di luar negeri, disiksa dan diperkosa oleh majikan, dan ada beberapa yang tewas secara mengenaskan di luar negeri. Aspek tidak adanya perlindungan hukum dan hak asasi (HAM) terhadap TKI kita di luar negeri merupakan permasalahan krusial yang terus-menerus muncul, dan tak pernah terselesaikan oleh pemerintah kita.

Fenomena seperti ini memang sudah berlangsung lama, baik di Arab Saudi, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Bahkan disinyalir, problem TKI/TKW kita merupakan sindikat yang amat rapi dan kuat yang melibatkan para calo, majikan, dan aparat kedua negara: Indonesia dan Malaysia. Tragisnya lagi, sudah banyak TKW kita yang pulang tinggal namanya saja; tewas mengenaskan di negeri perantauan. Padahal mereka berjuang untuk menghidupi keluarganya agar keluar dari problem kemiskinan yang selalu menghimpit mereka. Di desa mereka tinggal, tidak ada pekerjaan yang mampu menopang kehidupan mereka, sehingga mereka rela meninggalkan keluarga dan kampung halamanya demi mendapatkan ringgit, dinar, yen, dan dolar. Sulitnya mendapatkan lapangan kerja membuat mereka rela mendapatkan perlakuan diskrimninatif dengan menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh bayi atau pelayan toko.

Di tengah permasalahan TKI yang terus-menerus muncul, justeru kita disibukkan oleh fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri tanpa mahram. Peneguhan kembali fatwa yang sudah dikeluarkan oleh MUI sejak Juli 2000 merupakan langkah yang tidak strategis di tengah pencarian solusi alternatif bagi perlindungan hukum yang mesti didapat oleh para TKI/TKW. Meskipun upaya ini dimaksudkan untuk mencegah problem yang selama ini dihadapi TKW asal Indonesia yang sering diperlakukan tidak adil dan diskriminatif di negeri perantauan, seperti disiksa, diperkosa, tidak dibayar gajinya, dll., namun fatwa haram hanya menjadi problem baru bagi sistem ketenagakerjaan di tanah air kita. Padahal, perlindungan hukum itulah yang menjadi kunci utama permasalahan TKI di luar negeri.

Dalam kondisi demikian, apa lacur kita melarang mereka kembali bekerja di luar negeri hanya karena adanya doktrin agama yang melarang perempuan keluar rumah tanpa ditemani “mahram” (semacam pendamping perempuan yang berasal dari keluarganya). Terkesan fatwa itu ingin membebaskan problem yang selama ini dihadapi TKW; disiksa, diperkosa, dan dibunuh oleh majikan. Tapi semuanya itu tidak bisa menyelesaikan masalah, karena problem TKW kita di luar negeri lebih kompleks dari itu. Dengan fatwa haram, tidak membuat mereka jera untuk bekerja di luar negeri. Di sinilah, agama mestinya dapat mentransformasikan nilai-nilai ajarannya dalam dimensi yang lebih konkret, realistis, dan kontekstual. Sehingga tidak sekadar berbicara hitam dan putih tetapi juga bagaimana solusi yang ditawarkan dalam setiap menghadapi masalah.

Problem TKW Kita

TKI/TKW  kita seirng disebut sebagai pahlawan devisa. Merekalah yang bekerja keras meski jauh dari keluarga dan kampung halaman untuk mendapatkan rezeki, tetapi juga mereka mendatangkan devisa yang signifikan bagi bangsa Indonesia. Bayangkan saja pahlawan devisa ini menyumbangkan pendapatan nasional sebesar US$ 1 miliar (sekitar 9,5 trilyun). Tak heran jika keberadaan mereka tidak serta-merta membawa masalah bagi negera, tetapi juga memberikan nilai positif bagi pendapatan negara.

Namun demikian, ada problem mendasar yang dihadapi oleh para TKI/TKW kita di luar negeri. Pertama, secara individual, mereka dibelenggu oleh masalah kemiskinan sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja untuk menghidupi keluarganya. Maka apa pun fatwa yang dikeluarkan MUI terhadap mereka tidak mampu menghentikan niat mereka kembali ke negeri perantauan. Bagi mereka, fatwa hanyalah sekadar pandangan keagamaan yang tidak realistis dan kontekstual. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana menghidupi keluarganya.

Kedua, perundang-undangan kita belum mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pekerja di luar negeri agar mereka bisa nyaman bekerja dan mendapat perlindungan hukum. Policall will dari pemerintah untuk mau mengurusi mereka (tidak hanya mengambil keuntungan finansial/devisa) menjadi entry point  bagi upaya penyelesaian problem TKW/TKI. Sebagai warga negara, tentunya mereka memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan HAM dari pemerintah di mana pun berada. Lihat saja bagaimana bekerja kerasnya pemerintah Filiphina dalam melindungi TKW-TKW mereka yang bermasalah dengan hukum. Mereka memiliki komitmen perundang-undangan yang jelas tentang perlindungan tenaga kerja di luar negeri.

Dalam konteks tenaga kerja di Malaysia, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memiliki kesepakatan dengan pemerintah Malaysia dalam menyelesaikan problem TKI. Akta Imigresen 1154/2002 menegaskan bahwa  penegakkan hukum tidak hanya menindak para TKI ilegal, tetapi juga perusahaan/majikan yang memperkerjakan mereka. Dengan komitmen ini, perlakuan diskriminatif tidak saja terjadi kepada para TKI, tapi dalam prakteknya selalu saja yang dipersalahkan adalah para TKI.

Peran Ulama

Dalam konteks inilah, peran berbagai kalangan; seperti LSM, agamawan, dan rakyat Indonesia dalam menyikapi permasalahan TKI/TKW sangat diperlukan. Dalam hal, misalnya, para ulama yang dikenal sebagai agamawan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian masalah TKI secara komprehensif.  Bagaimana ulama mampu menafsirkan doktrin-doktrin agama agar tercipta semangat baru dalam menyelesaikan problem kemiskinan umat. Tapi sayangnya, doktrin-doktrin agama seringkali ditafsirkan secara literal yang kemudian menciptakan kesulitan-kesulitan baru bagi penyelesaian problem TKI/TKW. Fatwa haram pekerja perempuan di luar negeri merupakan langkah yang tidak strategis bagi upaya penyelesaian problem yang dihadapi TKI/TKW.

Di sinilah ulama diharapkan dapat memainkan peran baru dalam memecahkan problem-problem sosial. Bukan lagi urusan agama saja yang diperhatikan para ulama, terutama tentang hukum halal-haram, tetapi bagaimana menggerakan pandangan hidup masyarakat agar membekali diri dengan pengetahuan dalam setiap melakukan pekerjaan. Peran inilah yang dulu dilakukan oleh ulama di tanah air. Di samping sebagai pendakwah agama, ia juga menjadi dokter, konselor terutama masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat, pelopor kemerdekaan, dan sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. Semangan multi-fungsi ulama di zaman sekarang diharapkan dapat memberikan pencerahan religius dan sosial bagi masyarakat.

Dengan demikian, ulama juga berfungsi sebagai pencerah sosial yang aktif untuk melakukan kritik terhadap pemerintah, penebar damai kepada masyarakat, dan pemberi solusi masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Mengembalikan spirit keulaman zaman dahulu ke zaman sekarang merupakan modal sosial yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat religius. Semuanya ini bukan dimaksudkan ulama melakukan atau mengambil alih pekerjaan kaum profesional (dokter, konselor, dll.), melainkan ikut memberikan spirit perubahan sosial. Pada gilirannya nanti ulama betul-betul dapat memainkan peran sosialnya lebih baik tanpa harus berkutat pada persoalan mengeluarkan fatwa tentang halal-haramnya sesutau perbuatan/masalah. [Bm]

No comments:

Post a Comment