Menimbang Visi Baru Zakat - Santrijagad

Menimbang Visi Baru Zakat

Share This
Makna fundamental ajaran zakat (pensucian harta dan keadilan sosial) ini memberikan justifikasi teologis bahwa harta yang kita peroleh harus benar-benar dari jalan yang halal, dengan dengan mengkorup harta negara.

Oleh: Khamami Zada

Hampir menjadi kegiatan rutin tahunan, umat Islam di bulan Ramadhan ini diserukan untuk membayar zakat kepada fakir-miskin dan orang-orang yang berhak menurut ajaran Islam. Di mana-mana umat Islam diajak untuk mengeluarkan sebagian hartanya sebagai bagian dari kepedulian kepada kaum fakir-miskin. Dan, animo umat Islam untuk mengeluarkan zakat di bulan Ramadhan pun begitu besar. Orang-orang yang memiliki kelebihan harta tampaknya menyambut baik ajakan untuk membayar zakat sebbagai bagian dari wujud kepedulian sosial.

Dalam konteks sekarang ini, penunaian zakat memiliki momentum yang amat strategis di tengah kondisi masyarakat yang semakin menderita akibat kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu yang berakibat pada meningkatnya biaya hidup sehari-hari. Fenomana busung lapar, sulitnya mengakses kesehatan, dan mahalnya biaya pendidikan. Karena itu, ibadah zakat sesungguhnya bisa menjadi obat pelipur lara bagi orang-orang miskin, bukan sebagai upaya karikatif dalam agama, melainkan sebagai wujud kepedulian sosial yang berkelanjutan.

Mengentaskan Kemiskinan

Zakat dalam ajaran Islam sesungguhnya memiliki dua makna, yakni  makna teologis-individual dan makna sosial. Makna yang pertama adalah mensucikan harta yang kita miliki. Pensucian harta ini merupakan makan teologis-individual bagi seseorang yang menunaikan zakat kepada orang-orang yang berhak. Dalam hal ini, jika makna ini yang dipedomani, maka ibadah zakat hanya berdampak secara individual, yakni hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Makna pertama lebih berdimensi individual, yakni mensucikan harta untuk mendapatkan keberkahan. Makna  kedua memiliki dimensi sosial, yakni ikut mengentaskan kemiskinan, kefakiran, dan ketidakadilan ekonomi demi terciptanya keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat, terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat, yang tidak saja dinikmati oleh orang-orang kaya, tetapi dinikmati juga oleh orang-orang miskin.

Sebagaimana dikemukakan Ibnu Khaldun, harta benda itu selalu beredar di antara penguasa dan rakyat, dan ironisnya negaralah yang menjadi pasar paling besar sehingga rakyat kehilangan sirkulasi kekayaan secara merata. Karena itulah, semangat zakat adalah berbagi kenikmatan, kebahagian, dan kekayaan antar sesama umat manusia. Inilah yang disebut sebagai upaya pemertaan pertumbuhan ekonomi kepada semua lapisan masyarakat.

Di tengah desakan masyarakat internasional untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s) untuk menghapus kemiskinan di dunia hingga tahun 2025, tampaknya akan terasa sulit untuk diwujdukan jika secara politik baik nasional maupun global tidak membeirkan ruang gerak yang baik bagi orang miskin untuk mengakses pemenuhan kehidupannya secara adil. Sudah jamak diketahui, kemiskinan yang terjadi di Indonesia sesungguhnya buah dari politik pemiskinan yang sudah berjalan lama.

Inilah yang seharusnya kita lihat bahwa penunaikan zakat bukan hanya dilakukan secara karikatif sebagai ekspresi dari keagamaan instan. Setelah menunaikan zakat kembali sebagai orang kayaan dengan kekuatan modalnya melakukan perilaku pemiskinan. Dalam hal ini, zakat tidak akan memberikan efek strategis, melainkan lebih banyak menyentuh kesadaran psikologis; membuat orang miskin senang, menghibur, dan menentramkan. Memberi sebagian kecil hartanya di bulan Ramdlan, tetapi mengeruknya kembali di bulan yang lain. Padahal, yang diinginkan Islam dengan ajaran zakat adalah adanya perubahan besar dalam sistem dan perputaraan kekayaan yang ada di masyarakat.

Dengan begitu, zakat memiliki fungsi ganda yang mencerminkan eratnya kaitan antara hablun minallah (hubungan dengan Tuhan) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia). Inilah yang menjadi inti (core) dari ajaran Islam, yang tidak sekadar berdimensi ketuhanan (teologis-ilahiah), tetapi juga berdimensi kemanusiaan.

Pada dasarnya, Islam memang tidak sekadar mengajarkan kepada pengikutnya untuk beribadah dalam hubungannya dengan Tuhan semata, tetapi juga berhubungan dengan sesama umat manusia. Ajaran tentang shalat, puasa, dan haji pun tidak sekadar berdimensi individual, tetapi juga berdimensi sosial. Karena itulah, Islam sebagai agama tidak menginginkan para pengikutnya hanya mementing dirinya sendiri menuju ke jalan ruhani Tuhan, tetapi menginginkan para pengikutnya menuju jalan sosial kemanusiaan.

Jebakan Korupsi

Namun demikian, makna ganda ajaran zakat ini seringkali dimanfaatkan oleh sebagian umat Islam, sehingga kehilangan makna substansialnya. Pertama, makna pensucian harta yang terdapat dalam ajaran zakat seringkali disalahartikan secara sepihak oleh orang-orang yang bergelimang harta (aghniya) dan para pejabat negara. Oleh mereka, zakat sekadar dijadikan sebagai cara untuk mensucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil korupsi dan praktik kemaksiatan lainnya. Karena itulah, zakat kehilangan makna substansialnya untuk mensucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Harta yang diperoleh dari praktik korupsi dianggap suci dan halal setelah dibayarkan zakatnya kepada kaum fakir-miskin.

Inilah wujud dari pemahaman yang formalistik, lahiriyah, dan tidak mengambil makna terdalam dari hakekat agama. Padahal, harta yang diperoleh dari praktik korupsi tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Karena agama bukanlah sebagai pensucian terhadap segala praktik haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Dengan demikian, agama tidak lagi dimanfaatkan doktrinnya untuk menghalalkan praktik korupsi yang telah dilakukan para pejabat negara. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan korupsi mendapatkan laknat dari Tuhan dan tidak mendapatkan keberkahan dalam hartanya.

Kedua, korupsi sesungguhnya telah mengingkari makna dari ajaran zakat yang secara sosial bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Bukankah harta yang telah dikorupsi adalah uang rakyat, umat, atau masyarakat luas, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir-miskin, anak terlantar, anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan kaum yang perlu mendapat perlindungan ekonomi? Di manakah letak kepedulian sosialnya, jika ia mengkorup harta orang banyak demi untuk memperkaya diri sendiri. Karena itulah, korupsi adalah salah satu penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran sosial.

Dalam konteks ini, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang tidak halal. Apa pun alasanya, jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, maka tidak otomatis menjadi suci harta kita. Inilah yang mestinya kita sadari bersama bahwa makna ibadah zakat harus benar-benar dapat mensucikan harta dan menciptakan keadilan sosial.

Di tengah keseriusan kita beribadah puasa dan menunaikan zakat, maka upaya pemberantasan korupsi memiliki arti penting tersendiri bagi  upaya kita menemukan makna substansial ajaran agama. Dalam hal ini, zakat memiliki dimensi yang luhur terhadap upaya pemberantasan korupsi yang sudah mendarah daging di hampir seluruh birokrasi negara kita. Makna fundamental ajaran zakat (pensucian harta dan keadilan sosial) ini memberikan justifikasi teologis bahwa harta yang kita peroleh harus benar-benar dari jalan yang halal, dengan dengan mengkorup harta negara.

Karena itulah, diperlukan seruan yang tegas dari agamawan untuk memberantas praktik korupsi di tanah air. Fatwa agama sudah dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama dalam Konferensi Besar dan Musyawarah Nasional Alim Ulama di Pondok Gede April 2002, yang memberikan hukuman tidak boleh dishalati jenazahnya bagi pelaku korupsi. Inilah yang fatwa agama yang cukup keras dan tegas dalam upaya pemberantasan korupsi, yang dimulai dari ormas Islam. Bahkan NU dan Muhammadiyah sudah bersepakat  untuk bekerjasama memberantas korupsi melalui program bersama secara bertahap dan simultan. Namun demikian, fatwa ini dapat memberikan sumbangan besar bagi upaya pemberantasan korupsi, jika dibarengi dengan sikap tegas seluruh ulama untuk memerangi praktik korupsi di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di sinilah signifikansi agama dalam upaya pemberantasan korupsi dengan lebih mempertegas sikapnya untuk menghukum setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak korupsi.

Tanpa sikap tegas dan hukuman berat bagi para pelaku korupsi, maka fatwa agama tidak akan bernilai apa-apa. Fatwa hanyalah sekadar fatwa yang tidak memiliki kekuatan yang efektif untuk memberantas praktik korupsi di masyarakat dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi di seluruh birokrasi negara. Fatwa agama harus segera diimplementasikan sebagai kampanye bersama perang melawan korupsi. [Bm]

No comments:

Post a Comment