Serangan Fajar Pemilu? Monggo! - Santrijagad

Serangan Fajar Pemilu? Monggo!

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Zia Ul Haq - Tegal
Dalam kebudayaan masyarakat kami, istilah ‘serangan fajar’ berkonotasi menjadi dua hal. Pertama, bermakna kebelet berak stadium parah di pagi hari, biasanya berbentuk mencret. Kedua, berupa silaturrahim calon pemimpin terhadap mangsa, eh, warganya dengan menyisipkan amplop-amplop berisi fulus.

Untuk pengertian yang pertama, kita semua maklum atas keabsahannya. Saya yakin, ulama sedunia akhirat juga sepakat bahwa ‘serangan fajar’ dengan makna kebelet berak tingkat dewa harus dituntaskan. Apalagi jika ditahan bisa mengakibatkan mules akut, stress berat, hingga usus meledak dan bol jebol. Justru membahayakan diri, padahal salah satu tujuan agama adalah hifdhu an-nafs, maka hukumnya bisa jadi wajib.

Lalu bagaimana dengan ‘serangan fajar’ ala calon pemimpin beberapa saat sebelum pemilihan umum? Mari kita obrolkan; modus operandi, hukum, dan sikap atas serangan fajar.

Pelaku yang paling sering mempraktikkan serangan fajar adalah oknum calon lurah dan calon legislatif di kampung-kampung. Gaya dan bentuknya bisa bermacam-macam. Seorang calon bisa menyebar tim suksesnya ke rumah-rumah warga untuk memberikan brosur informasi disisipi amplop lima puluh ribuan dengan dalih sosialisasi. Atau dengan mengajak warga sarapan pagi dan doa bersama, pulangnya dikantongi berkat dan amplop berfulus.

Apa tujuan serangan fajar? Orang songong pengangguran gudikan amburadul macam saya pun tahu bahwa maksud serangan fajar adalah untuk menarik simpati agar dipilih. Pemaknaan lain sebagai sedekah atau uang silaturrahim atau uang rokok hanya kamuflase belaka. Praktek serangan fajar adalah bentuk jual beli suara, salah satu spesies dalam famili money politic. Kau kuberi lima puluh ribu, maka kau harus pilih aku.


Apakah serangan fajar termasuk suap? Nah, kita harus tahu dulu, apa itu suap?

Dalam istilah fiqh, suap disebut ‘risywah’, yakni sesuatu yang diberikan kepada seorang hakim atau lainnya, agar keputusannya memihak si pemberi atau mengikuti kemauan pemberi. Dan praktek suap termasuk dalam kategori maksiat berat. Baik si pemberi maupun penerima mendapat jatah kapling di neraka, begitu wanti-wanti Kanjeng Nabi.

Biasanya praktek suap ini dilakukan untuk memuluskan kasus di pengadilan atau di saat ketilang jalanan. Dan itu sudah membudaya di masyarakat kita, jingak tenan! Lalu apakah serangan fajar termasuk kategori suap?

Jika suatu harta dalam bentuk apapun diberikan atas dasar kasih sayang, maka itu termasuk hadiah. Hal ini justru dianjurkan Kanjeng Nabi, saling memberi hadiahlah agar kalian saling mencintai, sabda beliau. Jika tujuannya hanya untuk menarik simpati, tanpa ikatan atau ijab qabul apa-apa, maka itu bukan suap. Tapi jika sudah terjadi transaksi, baik berupa bisik-bisik kesepakatan, penandatanganan dokumen, apalagi ikrar janji sok sakral, maka jelas itu suap.

Nah, termasuk ke dalam kategori manakah serangan fajar? Hadiahkah? Penarik simpatikah? Atau suap? Sangat gamblang bahwa praktek ini adalah bentuk suap. Negara jelas sangat menentang praktek semacam ini. Bawaslu, konon, akan menindak tegas pelakunya. Itu sih katanya, entah kenyataannya.

Namun bagaimanapun kotornya praktek sogok-menyogok, keputusan tetap ada pada kita sebagai ‘incaran’. Mau menerima atau tidak, mau ikut arus busuk atau teguh berpendirian.

Sebagai masyarakat berperadaban, sepertinya kita harus mengingat ujaran Kanjeng Nabi ini,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيْقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيْلِ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَاهُ ، إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيْدُ وَفَى لَهُ ، وَإِلاَّ لمَ ْيَفِ لَهُ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ ، فَحَلَفَ بِاللهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا ، فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا ، وَلَمْ يُعْطَ بِهَا اهـ رواه البخاري ومسلم

“Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah kelak pada hari kiamat, Allah tidak akan membersihkan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Pertama, orang yang memiliki air melebihi kebutuhan dalam perjalanan dan tidak memberikannya kepada musafir (yang membutuhkannya). Kedua, laki-laki yang membai'at seorang pemimpin hanya karena dunia. Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembai'atannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya. Dan ketiga, orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu asar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal barang itu belum pernah ditawar sekian oleh orang lain.”

Mengomentari kategori kedua dalam hadits tersebut, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan,

“Pada dasarnya orang membai'at pemimpin itu bertujuan agar ia melakukan kebenaran, menegakkan batasan-batasan Allah, melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, barang siapa yang menjadikan pembai'atannya kepada pemimpin karena harta yang diterimanya tanpa melihat tujuan utama, maka dia telah mengalami kerugian yang nyata dan masuk dalam ancaman hadits di atas, serta ia akan celaka apabila Allah tidak mengampuninya. Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang tidak bertujuan mencari ridha Allah, tetapi bertujuan mencari kesenangan dunia, maka amal itu rusak dan pelakunya berdosa. Hanya Allah-lah yang memberikan taufiq-Nya.”


Jangan salahkan siapa-siapa jika praktek pemerintahan masih menjijikan jika dari tahap pemilu saja kita sudah pro dengan serangan fajar. Lalu bagaimana jika kita terima uangnya tapi tak perlu pilih orangnya? Itu mental penipu. Dan jangan salahkan orang-orang busuk di pemerintahan jika mereka sering menipu kita. Hahaha. Belum lagi kalau kita bicara berkah, wow jauuuh.

Cara amannya gampang saja. Saat ada pasukan penyerang menyerbumu di kala fajar, dialogkan dengan santun;

“Matursuwun atas silaturrahimnya kemari, Mas. Ini uang saya terima, saya anggap sebagai hadiah dan sedekah Sampean pada keluarga saya. Sebagai tolak bala dan amal dari Sampean dalam rangka menghadapi amanah yang akan diemban, insyaallah. Tapi saya tidak berjanji untuk memilih Sampean dan hadiah ini tidak menjamin apapun di antara kita berdua selama hidup maupun kelak di akhirat. Yang datang bukan hanya Sampean, calon-calon lain juga masuk kesini. Jadi ya nggak mungkin saya pilih semuanya. Saya pilih siapa, itu rahasia saya sebagai warga negara. Setuju?”

Kalimatnya kepanjangan? Ya sudah, tolak saja. Gampang ‘kan?

Tapi saran saya, terima uangnya atau tidak, jangan pilih calon goblok yang dengan begitu jingaknya menebar uang untuk membeli suara. Pasti kalau jadi, dia bakal panen di parlemen. []