Dalam dominasi paradigma
Kapitalisme Materalistis, semua potensi yang kau miliki, entah itu pikiran,
badan, bakat, serta semesta raya diposisikan sebagai modal (kapital) untuk
mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan materi, khususnya; uang. Sehingga
imbasnya adalah; kesuksesan bahkan kebahagiaan diukur dengan banyaknya uang
yang kau punya.
Kesal dengan ledekan-ledekan ini, Thales
bongkar celengan, dan membeli banyak alat giling. Dan pada masa panen gandum,
orang-orang datang kepadanya untuk menyewa alat giling yang tidak semua orang
punya. Mbah Thales menyewakan alat-alat gilingnya dengan tarif yang 'wow'.
Sehingga saat orang-orang panen gandum, ia pun panen duit.
Dengan nada mencibir, dia berpidato; "Lihatlah, sebenarnya bisa saja kami mengumpulkan banyak uang dan menjadi kaya di mata kalian semua, tetapi kami punya minat lain untuk diselami."
Nah, mungkin sudut pandang seperti ini musti kita
instal dalam pola pikir kita saat melihat para pemikir, ilmuwan, aktivis
kemanusiaan, seniman, dan para sufi yang kebetulan tidak kaya dalam pandangan
sosial. Setiap orang punya kecenderungan minatnya sendiri-sendiri. []