OLEH: FAISAL KAMANDOBAT
KH Hamim Djazuli atau akrab dipangil Gus Miek dikenal sebagai salah seorang aulia yang khawariq--eksentrik/berbeda dari kebanyakan orang. Misalnya, Gus Miek dikenal hidup dengan berdakwah dari hotel ke hotel berbintang, namun tidurnya justru lebih sering di toko kitab milik sahabatnya dengan beralaskan koran. Jarang kelihatan mengaji kitab, namun tiba-tiba mengisi mauidzah dalam khataman Uqudul Juman dan Fathul Wahhab.
Keanehan lainnya, Gus Miek adalah ulama yang jarang sekali tinggal di pesantren. Sebagai putra seorang ulama pesantren Ploso Kediri yang besar itu, Gus Miek lebih memilih berdakwah di luar lingkungan pesantrennya dengan berlaku sebagai pengelana di berbagai kalangan. Sebab baginya santri yang ada di dalam pesantren sudah ada yang membimbing, sedang masyarakat di luar sana belum tentu ada yang membimbing. Itulah kenapa Gus Miek berlaku sebagai ulama kelana.
Bagaimana Gus Miek berdakwah adalah sebuah seni yang menarik dipelajari. Ia tentu memiliki kemampuan komunikasi yang mampu membawa hati pendengarnya sehingga pikiran dan sikap mereka dapat berubah menjadi lebih baik. Salah satu contohnya adalah kisah berikut ini.
Di Pesantren Ploso, Kediri, para santri mendapat jadwal berjaga malam di rumah para kiai secara bergiliran. Salah satu di antaranya adalah berjaga di rumah Gus Miek. Sebab, meski Gus Miek jarang sekali tinggal di rumah, masih ada Ibu Nyai Miek dan keluarganya. Dengan adanya santri yang jaga malam, para tamu dari berbagai daerah yang hendak sowan pada tengah malam dapat dilayani dengan baik.
Suatu malam santri dari Asrama Al Firdaus mendapat giliran berjaga di rumah Gus Miek. Dan beruntung, malam itu mereka mendapat tamu tuan rumahnya sendiri: Gus Miek pulang ke rumah, setelah berbulan-bulan berkelana. Lebih beruntung lagi, Gus Miek kemudian menghampiri para santri yang jaga malam dan ikut duduk bersama mereka. Gus Miek lantas meminta pembantunya membuat kopi dan menyediakan makanan untuk para santri tersebut. Sungguh malam yang beruntung bagi santri-santri itu karena dilayani oleh kiai yang mereka rindukan dan hormati.
Setelah minum kopi dan makan, Gus Miek lantas bilang dengan nada satire kepada para santri, bahwa ciri-ciri seorang wali itu harus khawariq/punya keanehan tertentu. Misalnya, jika sudah tidak ada orang yang jaga malam, maka ia berjaga malam. Malam adalah waktu yang penting untuk beribadah, terutama sepertiga malam menjelang subuh (tsulus allail alakhir). Mendengar penjelasan tersebut, para santri mengangguk sambil tersenyum malu, merasa tersindir.
Ciri khawariq lainnya dari seorang wali, kata Gus Miek, adalah bermain poker. Gus Miek lalu meminta salah seorang santri mengambil poker. Jadilah malam itu para santri bermain poker dengan Gus Miek--tentu saja tanpa berjudi. Sambil bermain poker Gus Miek bercanda sehingga bisa menjadi dekat dengan para santri dan menyelami jiwa mereka. Hal itu merupakan keanehan di tengah gejala ulama yang justru kian jauh dari para santri karena adanya perbedaan status.
Setelah bermain kartu, Gus Miek mengatakan tentang khawariqul adah (berlawanan dengan adat kebiasaan) sebagai ciri kewalian. Ia menyebut bahwa umat Islam saat itu telah sedikit yang membaca Al-Quran. Tentu saja suatu hal yang berbahaya jika melupakan Al Quran telah menjadi "adat" bagi umat Islam. Untuk menunjukkan dirinya "khawariqul adah", malam itu Gus Miek lantas mengajak para santri untuk bertadarrus Al Quran. Mereka melakukannya sambil berjaga malam, melantunkan ayat-ayat AlQuran di tengah heningnya malam, di saat kebanyakan orang tertidur pulas atau melakukan aktivitas yang lain.
Begitulah Gus Miek. Dalam pandangan umum, ia dipandang sebagai ulama eksentrik yang kurang memperhatikan syariah, namun praktiknya justru menekankan pentingnya syariah dengan mengingatkan ibadah-ibadah yang telah dilupakan. Caranya mengingatkan adalah dengan menyelami terlebih dahulu jiwa masyarakat; bergaul secara akrab dengan mereka, menghibur kesedihan dan kehampaan jiwa mereka dengan permainan dan canda, kemudian membenahi akhlaknya dengan melaksanakan ibadah sesuai kemampuan. Dan, semua itu dilakukan dengan pendekatan yang orisinal, eksentrik, dan menyentuh.
*Kisah ini diambil dari pengalaman penulis di Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri
KH Hamim Djazuli atau akrab dipangil Gus Miek dikenal sebagai salah seorang aulia yang khawariq--eksentrik/berbeda dari kebanyakan orang. Misalnya, Gus Miek dikenal hidup dengan berdakwah dari hotel ke hotel berbintang, namun tidurnya justru lebih sering di toko kitab milik sahabatnya dengan beralaskan koran. Jarang kelihatan mengaji kitab, namun tiba-tiba mengisi mauidzah dalam khataman Uqudul Juman dan Fathul Wahhab.
Keanehan lainnya, Gus Miek adalah ulama yang jarang sekali tinggal di pesantren. Sebagai putra seorang ulama pesantren Ploso Kediri yang besar itu, Gus Miek lebih memilih berdakwah di luar lingkungan pesantrennya dengan berlaku sebagai pengelana di berbagai kalangan. Sebab baginya santri yang ada di dalam pesantren sudah ada yang membimbing, sedang masyarakat di luar sana belum tentu ada yang membimbing. Itulah kenapa Gus Miek berlaku sebagai ulama kelana.
Bagaimana Gus Miek berdakwah adalah sebuah seni yang menarik dipelajari. Ia tentu memiliki kemampuan komunikasi yang mampu membawa hati pendengarnya sehingga pikiran dan sikap mereka dapat berubah menjadi lebih baik. Salah satu contohnya adalah kisah berikut ini.
Di Pesantren Ploso, Kediri, para santri mendapat jadwal berjaga malam di rumah para kiai secara bergiliran. Salah satu di antaranya adalah berjaga di rumah Gus Miek. Sebab, meski Gus Miek jarang sekali tinggal di rumah, masih ada Ibu Nyai Miek dan keluarganya. Dengan adanya santri yang jaga malam, para tamu dari berbagai daerah yang hendak sowan pada tengah malam dapat dilayani dengan baik.
Suatu malam santri dari Asrama Al Firdaus mendapat giliran berjaga di rumah Gus Miek. Dan beruntung, malam itu mereka mendapat tamu tuan rumahnya sendiri: Gus Miek pulang ke rumah, setelah berbulan-bulan berkelana. Lebih beruntung lagi, Gus Miek kemudian menghampiri para santri yang jaga malam dan ikut duduk bersama mereka. Gus Miek lantas meminta pembantunya membuat kopi dan menyediakan makanan untuk para santri tersebut. Sungguh malam yang beruntung bagi santri-santri itu karena dilayani oleh kiai yang mereka rindukan dan hormati.
Setelah minum kopi dan makan, Gus Miek lantas bilang dengan nada satire kepada para santri, bahwa ciri-ciri seorang wali itu harus khawariq/punya keanehan tertentu. Misalnya, jika sudah tidak ada orang yang jaga malam, maka ia berjaga malam. Malam adalah waktu yang penting untuk beribadah, terutama sepertiga malam menjelang subuh (tsulus allail alakhir). Mendengar penjelasan tersebut, para santri mengangguk sambil tersenyum malu, merasa tersindir.
Ciri khawariq lainnya dari seorang wali, kata Gus Miek, adalah bermain poker. Gus Miek lalu meminta salah seorang santri mengambil poker. Jadilah malam itu para santri bermain poker dengan Gus Miek--tentu saja tanpa berjudi. Sambil bermain poker Gus Miek bercanda sehingga bisa menjadi dekat dengan para santri dan menyelami jiwa mereka. Hal itu merupakan keanehan di tengah gejala ulama yang justru kian jauh dari para santri karena adanya perbedaan status.
Setelah bermain kartu, Gus Miek mengatakan tentang khawariqul adah (berlawanan dengan adat kebiasaan) sebagai ciri kewalian. Ia menyebut bahwa umat Islam saat itu telah sedikit yang membaca Al-Quran. Tentu saja suatu hal yang berbahaya jika melupakan Al Quran telah menjadi "adat" bagi umat Islam. Untuk menunjukkan dirinya "khawariqul adah", malam itu Gus Miek lantas mengajak para santri untuk bertadarrus Al Quran. Mereka melakukannya sambil berjaga malam, melantunkan ayat-ayat AlQuran di tengah heningnya malam, di saat kebanyakan orang tertidur pulas atau melakukan aktivitas yang lain.
Begitulah Gus Miek. Dalam pandangan umum, ia dipandang sebagai ulama eksentrik yang kurang memperhatikan syariah, namun praktiknya justru menekankan pentingnya syariah dengan mengingatkan ibadah-ibadah yang telah dilupakan. Caranya mengingatkan adalah dengan menyelami terlebih dahulu jiwa masyarakat; bergaul secara akrab dengan mereka, menghibur kesedihan dan kehampaan jiwa mereka dengan permainan dan canda, kemudian membenahi akhlaknya dengan melaksanakan ibadah sesuai kemampuan. Dan, semua itu dilakukan dengan pendekatan yang orisinal, eksentrik, dan menyentuh.
*Kisah ini diambil dari pengalaman penulis di Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri
No comments:
Post a Comment