Habib Munzir: Seluruh Ibadah Kita Ialah Bentuk ‘Talbiyah’ - Santrijagad

Habib Munzir: Seluruh Ibadah Kita Ialah Bentuk ‘Talbiyah’

Bagikan Artikel Ini
OLEH: HABIB MUNZIR AL-MUSAWA

Hadirin-hadirat, semakin besar keinginan seorang hamba untuk mencari keridhoan Tuhannya, untuk membuat Tuhannya senang maka ia semakin dicintai oleh Allah. Pahami satu jiwa yang termulia dari semua jiwa, sanubari yang paling suci dari semua makhluk-Nya, adalah Sayyidina Muhammad Saw. Manusia yang paling menjaga perasaan Allah, Manusia yang selalu ingin berbuat apa apa yang sangat dicintai Allah dan selalu ingin membimbing hamba-hamba Allah agar sampai pada kelompok orang-orang yang dicintai Allah.
Allah kabulkan niat mulia Sang Nabi sehingga Allah berfirman, “Qul in kuntum tuhibbunallah fattabi’uni yuhbibkumullah. Katakanlah; jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Nabi Muhammad) maka kalian akan dicintai Allah.” (QS. Ali Imran: 31)

Allah menjaga perasaan Sang Nabi. Allah tidak biarkan Sang Nabi Saw kecewa dan sedih. Oleh sebab itu ketika terputusnya wahyu beberapa waktu, mulailah penghinaan dari kaum kaum kuffar quraisy terhadap Sang Nabi, mereka berkata, “Tampaknya setan yang biasa menyurupimu sudah hilang wahai Muhammad.”

Nabi Saw itu kalau turun ayat, beliau menggigil, maka mereka mengumpamakan dengan ejekan yaitu kesurupan. Maka ketika tidak ada wahyu beberapa waktu, orang-orang kuffar berkata; “Berarti kau sudah sembuh dari kesurupanmu.”

Maka sakitlah Rasulullah mendengar pernyataan itu, bukan karena hinaan orang tapi karena takut berpisah dan takut jauh dari Allah. Sangat mencintai Allah dan tidak ingin berpisah dengan Allah walaupun harus berpisah dengan segala-galanya. Termuncul dari ucapan beliau (Nabi) ketika dilempari dan dikejar-kejar; “In lam yakun laka ghadhabun alayya falaa ubaliy, asal Kau (Allah) tidak murka padaku, aku tidak peduli apapun yang menimpaku.”

Inilah jiwa termegah dan jiwa yang paling mulia yang dipuji oleh Allah, “Wa innaka la’alaa khuluqin adhim, sungguh kau (Nabi) memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Ketika Sang Nabi di dalam puncak kesedihan hingga jatuh sakit karena terputusnya wahyu dalam waktu yang lama, Allah turunkan firman-Nya untuk menghibur Sang Nabi, “Wadhdhuhaa, wallaili idza sajaa, ma wadda a’ka robbuka wamaa qalaa, walal akhirotu khoirullaka minal uulaa, walasaufa yu’thiika robbuka fatardha. Demi cahaya dhuha, demi cahaya pagi dan demi malam ketika gelap gulita.” (QS. Ad-Dhuha: 1-5)

Al-Hafidh Al-Musnid Al-Imam Qurthubi di dalam tafsirnya menukil sedemikian banyak penafsiran tentang ayat ini. Dari salah satu penafsirannya yang tsigah, Al Imam Qurthubi mengatakan makna kalimat ‘wadhdhuha’ disini adalah melambangkan cahaya yang menerangi hati orang-orang yang dipenuhi cinta kepada Allah (qulubul arifin), dipenuhi cahaya khusyu’. Allah bersumpah dengan cahaya yang ada di sanubari ahlul khusyu’, ahlus sujud dan ahlul munajat. Orang yang jiwanya dipenuhi kerinduan kepada Allah, Allah bersumpah dengan cahaya itu yang menerangi jiwa mereka.

Dan dari sedemikian banyak jiwa yang memiliki cahaya rindu kepada Allah, tentu pemimpinnya adalah Sayyidina Muhammad. Allah sedang melambangkan indahnya iman pada jiwa Sang Nabi dan para arifin (ahli makrifah) lainnya.

“Wallaili idza sajaa, demi malam ketika gelap gulita.” (QS. Ad-Dhuha: 2). Al-Imam Qurthubi menafsirkan salah satu dari makna penafsiran ini adalah demi malam ketika gelap gulita. Allah bersumpah menqiyaskan jiwa orang orang kuffar yang memusuhi Sang Nabi dalam gelap gulita. Tidak mengenali kemuliaan dan iman. Maksudnya perbandingan antara jiwa Sang Nabi serta orang-orang yang dimuliakan Allah dan orang-orang yang gelap hatinya.

“Ma wadda‘aka robbuka wamaa qalaa, Allah tidak akan meninggalkanmu wahai Muhammad dan tidak akan murka kepadamu.” (QS. Ad-Dhuha: 3). “Walal akhirotu khoirullaka minal uulaa, hal-hal yang akan datang jauh lebih baik daripada yang sekarang ini” (QS. Ad-Dhuha: 4). “Wa lasaufa yu’thiika rabbuka fatardha, Allah akan memberimu anugerah sampai kau benar benar ridha dan puas.” (QS. Ad-Dhuha: 5).

Al-Imam Ibn Abbas dalam tafsirnya menafsirkan makna ayat “wa lasaufa yu’thiika rabbuka fatardha” adalah Syafa’at Nabi Muhammad di yaumal qiyamah. Ayat ini juga menenangkan orang-orang yang merindukan Allah karena pemimpin mereka Nabi Muhammad ditenangkan oleh Allah dengan turunnya ayat ini. Dan ayat ini juga diperuntukkan bagi kita. Tenangkan diri kita dengan cahaya Keagungan dan Kasih Sayang Ilahi.

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah, oleh sebab itu Sang Nabi Saw selalu ucapan bibirnya mengucap Nama Allah, berdzikir, berdoa dalam segala hal. Bahkan diriwayatkan didalam Shahih Bukhari, beliau selalu mengucapkan talbiyah; “labbaik allahumma labbaik”, mulai dari medan Arafah saat beliau pergi haji sampai Mudzdalifah, dari Mudzdalifah sampai Mina. Terus ucapan ini diucapkan “labbaik allahumma labbaik”, aku datang pada-Mu wahai Allah, aku datang. Dan ucapan ini, para ahlul ma’rifah (para ulama) kita sering mengucapkannya walau bukan di musim haji dan umrah. Tapi dari cinta mereka kepada Allah, mengatakan “wahai Alllah wahai Allah, kami datang kepada kasih sayang-Mu, kepada Rahmat-Mu, kepada Pengampunan-Mu, kepada Majelis Dzikir-Mu, kepada masjid-masjid-Mu, kepada Panggilan Shalat-Mu”.

Seluruh bentuk ibadah dan taat kepada Allah adalah bentuk talbiyah dan ucapan; aku datang kepada-Mu wahai Allah. Seluruh bentuk ibadah. Setiap sujud adalah bentuk daripada ucapan; ‘labbaika allahumma labbaik’. Wahai Allah aku datang pada-Mu wahai Allah, dalam setiap shalat kami, dalam setiap ibadah kami. Jadikan dirimu siang dan malam dipenuhi cahaya talbiyah (aku datang kepada-Mu wahai Allah). Datang siang, malam dalam kebaikan dan ibadah. [Zq]

*Sumber: transkrip ceramah Habib Munzir bin Fuad al-Musawa di Masjid Al-Munawwar Pancoran, Jakarta Selatan, Majelis Rasulullah 17 November 2008.

No comments:

Post a Comment