Kedamaian Muslim Uighur dalam Gambar - Santrijagad

Kedamaian Muslim Uighur dalam Gambar

Bagikan Artikel Ini
SANTRIJAGAD ~ Berita-berita yang dilaporkan media-media mainstream di wilayah Xinjiang, batas barat China, selalu beraroma kekacauan, ketidakstabilan, dan hal-hal semacamnya.

Memang, di wilayah ini pernah terjadi ketegangan etnis antara mayoritas suku Han dan suku Uighur, yakni warga muslim China minoritas. Namun kendali pemerintah terhadap media informasi seakan-akan memberitakan bahwa kekacauan dan unjuk rasa terjadi setiap hari di sana. Kenyataannya tidak sekacau itu.

Sangat berbeda dengan apa yang dituangkan oleh Wang Qing dalam seri fotografinya, “Rituals in Life”. Sudah selama tujuh tahun, ia menangkap gambar keseharian dan peribadatan masyarakat Uighur di dekat Turpan, sebuah oasis padang pasir yang pernah menjadi pusat perdagangan dalam Jalur Sutera.


Bukannya memotret kegiatan konvoi paramiliter bersenjata, Ms. Wang justru tertarik dengan aktivitas relijius masyarakat Uighur yang ia sebut sebagai; pertumbuhan kehidupan dalam siklus hidup dan mati. Ia memotret kegiatan-kegiatan tersebut secara alamiah, bukan dibuat-buat dengan model dan akting.

Bagi Ms. Wang yang berasal dari suku Han dan tumbuh di Turpan, tradisi beragama sudah sangat familiar. Ia berujar, “Hidup kami saling terikat satu sama lain. Kami menyantap makanan tradisional Uighur di hari-hari raya mereka. Apapun yang saya sentuh dan alami di sini mencerminkan kebudayaan Islam.”


Butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk mendapatkan kepercayaan warga. Desa-desa yang dipotretnya adalah Tuyugou dan Mutougou, terletak di lembah pegunungan aktif, diapit perbukitan dengan batuan koral merah. Warga desa sangat ramah, katanya, mempersilakan dirinya mampir ke rumah-rumah mereka untuk memotret.

“Saya katakan kepada warga bahwa tujuan saya memotret adalah untuk merekam kebiasaan hidup dan tradisi Muslim Uighur. Serta memberikan pemahaman yang tepat kepada orang-orang di luar. Seiring waktu, akhirnya kami bisa membangun persahabatan dan kepercayaan,” kata Ms. Wang.


Tiap kali berkunjung, ia memberikan cetakan foto sebagai hadiah bagi keluarga yang dikunjungi. Ia menceritakan salah satu kenangan berkesan, yakni memotret sebuah keluarga dalam satu rumah yang ditinggali empat generasi.

“Kepala keluarganya bernama Jiapa. Ketika ia sudah meninggal sebab sakit, saya berikan salah satu fotonya kepada ibunya. Sang ibu terharu dan berkali-kali berterima kasih. Meskipun anaknya telah tiada, ia masih bisa menatap wajah si anak seakan-akan masih berada di sisinya. Saya sangat bersyukur bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi keluarga ini,” kisahnya.


Dalam beberapa kesempatan, ia mendapat kesulitan sebab masalah gender. Seperti tak diperbolehkan mengikuti pemakaman karena aturan agama yang ketat. Namun baginya, saling menghormati aturan dan kepercayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting. Saat ini, Ms. Wang berencana melanjutkan pemotretan di wilayah pegunungan Wudang, Provinsi Hubei, sebuah pusat sejarah kepercayaan Dao pada masa Dinasti Tang abad ke tujuh. Ia tertarik dengan fotografi bertema agama dan kepercayaan untuk menyampaikan bahwa keyakinan mendalam dan aturan tradisi tak bisa digantikan meski di tengah kehidupan modernisasi.
“Sangat memukau bagaimana masyarakat berkembang. Tak peduli seganas apapun paham materialisme merebak, kebutuhan manusia terhadap ketenangan jiwa takkan berubah,” katanya. “Tempat relijiusitas dan keyakinan ada di dalam hati. Itulah kesamaan di antara kita.” [Zq]

*Sumber dan foto selengkapnya: http://lens.blogs.nytimes.com