Oleh: Dr. Muhammad Tahir Ul Qadri, Minhaj Ul Qur’an – Pakistan
Dr. Tahir Ul Qadri |
Jajak
pendapat dari Gallup World Poll menemukan bahwa 93 % responden muslim dari 35
negeri-negeri muslim menyatakan ketidaksetujuan terhadap aksi teroris pada 11 September 2001 di Amerika. Sedangkan 7 %
sisanya mendukung serangan tersebut atas dasar kegeraman terhadap AmerikaSerikat, bukan atas dasar dalil agama.
Para
cendekiawan muslim kontemporer dari berbagai aliran pemahaman mengecam aksi
semacam ini. Namun di sisi lain, para ekstremis mencoba meraih simpati umat
dengan melandaskan aksi terorismenya di atas platform Qur’an dan Sunnah,
sebagaimana dipropagandakan oleh tokoh-tokoh Al-Qaeda semisal Usamah Bin Ladin
maupun Ayman Al-Zawahiri. Ada pula kalangan ulama yang mendukung aksi teror bom
bunuh diri dalam konteks perlawanan terhadap agresi Israel terhadap bangsa Palestina
sebagai bentuk perjuangan, seperti Syaikh Ahmad Yasin (pendiri Hamas), Akram
Sabri (mufti Jerusalem), maupun Dr. Yusuf Qardhawi.
Serangan-serangan
kaum ekstrimis dalam kerangka terorisme setidaknya menimbulkan kerusakan
dalam dua sisi:
Pertama,
kerusakan di dalam tubuh umat Islam sendiri. Banyak kaum muda umat Islam awam
yang berpaling dari agama kedamaian ini sebab citra buruk yang disiarkan media.
Kedua, kerusakan di luar lingkungan muslimin, khususnya dunia Barat. Akibat
terror yang dilancarkan sebagian kecil kelompok ekstrim, dunia Barat mulai
menerapkan kebijakan-kebijakan politik maupun militer yang agresif terhadap
negeri-negeri muslim.
Parahnya,
keadaan ini justru menyebabkan hubungan dunia Islam dan Barat penuh ketegangan, sehingga tidak sedikit generasi muda umat Islam yang reaktif dan melakukan
gerakan-gerakan militan sebagai bentuk pembelaan diri. Sedangkan dunia Barat
semakin gencar menebarkan tekanan-tekanan dan teror psikologis terhadap umat
Islam. Maka muncullah rantaian aksi-reaksi yang tak berujung.
Tak
heran jika kemudian muncul berbagai macam aksi kekerasan atas nama agama dalam
berbagai bentuk dan cakupan. Baik itu di level internasional sampai lokal, baik
itu berupa intoleransi maupun agresi. Uniknya, semua pelaku teror tersebut
menyandarkan aksinya sebagai reaksi atas konspirasi Barat dan melandaskannya
kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber utama hukum Islam.
Pertanyaannya, apakah betul aksi-aksi semacam ini sah dalam koridor ajaran
Islam?
~
Bukanlah
suatu kebetulan jika agama ini disebut dengan ‘Islam’ oleh Tuhan. Islam adalah
agama kedamaian yang membimbing penganutnya untuk saling melindungi dan
menjamin keamanan. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab tentang kedatangan Malaikat Jibril, disebutkan ada tiga aspek utama
dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad ini, yakni Islam, Iman, dan Ihsan.
Dalam
pendekatan kebahasaan, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berkaitan satu
sama lain, yakni bermakna kedamaian, keamanan, perlindungan, toleransi,
kebaikan, kasih sayang, dan kenyamanan. Islam merupakan ajaran yang komplit
tentang kehidupan.
Seorang muslim (pelaku Islam) adalah orang yang berupaya menciptakan
kedamaian dan perlindungan terhadap seluruh aspek kemanusiaan. Seorang mu’min
(pelaku iman) selayaknya menebarkan toleransi dalam hubungannya
dengan sesama manusia sehingga mewujudkan kondisi aman dan tenteram. Sedangkan
seorang muhsin (pelaku ihsan) adalah ia yang mampu
mengejawantahkan keislaman dan keimanannya dalam bentuk nyata berupa kebaikan
dan kemanfaatan bagi lingkungan sekitar.
MaknaIslam yang penuh kedamaian ini sangat kontras dengan pengertian terorisme,
terutama dalam berbagai macam aksinya. Terorisme adalah serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan ketakutan terhadap sekelompok
masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara
peperangan, seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban
jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Bahkan
dalam kacamata hukum Islam, kondisi perang pun tak lepas dari berbagai macam
aturan yang mengikat setiap pejuang. Di antara aturan-aturan itu adalah; selain
tentara musuh, pejuang Islam tidak boleh membunuh wanita, orang tua dan
anak-anak meskipun mereka bukan pemeluk Islam, bahkan tidak diperkenankan
membunuh para pemuka agama lain. Selain itu, larangan menyerbu musuh di
pemukiman mereka dan merusak lingkungan hidup berupa perlengkapan keseharian
maupun tumbuh-tumbuhan juga menjadi bukti ketatnya aturan Islam dalam hal peperangan.
Lalu
bagaimana para ekstrimis memijakkan aksi terornya di atas pondasi Islam?
Padahal tindakan mereka berupa; pengeboman yang menewaskan ribuan jiwa warga
sipil, wanita dan anak-anak, muda dan tua; penculikan warga negara asing;
perusakan fasilitas publik dan lingkungan biotik, sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Terorisme
sama sekali berbeda dengan jihad dalam konteks perang (qitaal). Liga
Muslim XVI yang digelar di Mekah pada 5-10 Januari 2002 menyuarakan Deklarasi
Mekah yang memuat definisi terorisme. Al-Irhaab (terorisme) diartikan
sebagai serangan yang dilancarkan oleh individu, kelompok, atau negara yang
ditujukan terhadap pihak lain, baik terhadap sisi agama, nyawa, pemikiran,
harta, maupun kehormatannya. Serangan yang dimaksud berupa serbuan bersenjata
ataupun tekanan-tekanan yang menimbulkan ketakutan. Dan bentuk yang paling
berbahaya adalah aksi teror yang diakomodasi oleh negara dalam bentuk holocaust,
pembantaian massal.
Para pelaku teror ini justru semakin jelas wujudnya sebagai bentuk Khawarij modern yang telah dinubuatkan oleh Rasulullah. Pada masa Ali ra., kaum Khawarij -yang rata-rata memiliki ciri-ciri kesalehan- mengangkat senjata melawan kepemimpinan Ali ra. Dengan slogan khasnya; ‘tidak ada hukum selain Hukum Allah’, mereka menolak rekonsiliasi antar kelompok dan memaksakan penafsiran mereka sendiri terhadap Al-Qur’an untuk menghalalkan darah sesama muslim.
Serupa
dengan Khawarij klasik, teroris modern juga melakukan aksi teror di belakang
topeng Qur’an dan Hadits, mengibarkan panji-panji tauhid dan misi suci
penegakan syariat. Namun pada hakikatnya mereka tak berkaitan seutas benangpun
dengan ajaran Islam. Meskipun mereka berkilah bahwa aktivitas mereka demi
menegakkan syariat Islam, tetap saja tak bisa dibenarkan. Bagai menyucikan
najis dengan air kencing, justru mengeruhkan pandangan umat dan penduduk dunia
terhadap Islam. Mereka menjadi fitnah di tengah umat.
~
Kejahatan
tetaplah kejahatan meski diniati dengan tujuan mulia, apalagi jika menyinggung hak-hak
hidup kemanusiaan yang berkaitan dengan jiwa, harta, keyakinan dan kehormatan.
Meskipun pelaku teror melancarkan aksinya atas nama jihad melawan tirani dan
kolonialisme Barat, tetap saja hal ini tak bisa dibenarkan dalam neraca hukum
Islam yang suci. Mereka merasa sedang memperjuangkan keadilan bagi kaum
muslimin, padahal aksinya justru menumpahkan darah dan menebar ketakutan.
Orasi
dan semangat mereka tampak memukau dengan mengumbar pesan maupun ajakan mulia
berupa jihad di jalan Allah, padahal sebenarnya mereka hanyalah perusak di muka
bumi. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an;
“…dan di antara manusia ada orang yang
ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada
Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling
keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah
kepada Allah,” bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka
cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat
tinggal yang seburuk-buruknya.” (Al-Baqarah [02]; 204-205)
Kesombongan dan kesalahan persepsi membuat akal pelaku
teror tak bisa berpikir jernih. Sehingga ketika diperingatkan oleh berbagai
pihak yang peduli terhadap ajaran Islam, mereka justru mengklaim sedang
melakukan kebaikan. Anggapan mereka, aksi teror yang dilakukan memiliki dampak
positif yang lebih besar dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi. Al-Qur’an
dengan jelas menggambarkan kondisi semacam ini;
“..dan bila dikatakan kepada
mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab:
"Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah,
Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka
tidak sadar.” (Al-Baqarah
[02]; 11-12)
Hasrat untuk melindungi kehormatan kaum muslimin dan
menegakkan panji-panji Islam dengan melawan kolonialisasi Barat adalah satu
hal, sedangkan aksi teror berupa pembunuhan brutal terhadap warga sipil dan
perusakan fasilitas umum adalah hal yang lain. Dua hal ini sangat berbeda dan
tak bisa dipadukan.
Dengan
sudut pandang ini, bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme yang mengusung
panji-panji Islam dalam bermacam bentuknya dan berbagai cakupannya sama sekali
tidak berakar dari ajaran Islam. Baik itu aksi terorisme global, maupun
aksi-aksi yang bersifat lokal berupa intoleransi antar pemahaman keagamaan dan
keyakinan.
Sebagaimana
pohon yang tak berakar, terorisme pasti rapuh dan kering. Sehingga
menyebabkannya menjadi pohon yang meranggas. Di satu sisi, pohon rapuh semacam
ini sebenarnya sangat mudah ditumbangkan. Namun di sisi lain, pohon kering ini
sangat mudah dibakar dan berbahaya jika tetap dibiarkan apalagi dipelihara oleh
pihak-pihak yang berkepentingan.
Tingginya intensitas konflik politik bernuansa sekte
keagamaan di Timur Tengah merupakan dampak dari merebaknya paham terorisme di
kalangan generasi muda muslim. Banyak di antara kalangan intelektual maupun
penguasa mencoba memperbaiki keadaan tersebut dengan menebarkan pemahaman yang
jernih tentang ajaran Islam. Namun upaya demikian ibarat mengobati pasien
kronis, sangat susah, berat, dan penuh pukulan dari mana-mana. Bagaikan menanam
bibit pohon di tengah tanah tandus untuk menjadi hutan belantara.
Inilah
peran yang semestinya diemban oleh setiap muslim yang peduli terhadap kemurnian
ajaran agamanya. Tidak ada tempat bagi terorisme, dalam berbagai bentuk dan
cakupannya, di negeri ini. Langkah pencegahan harus diupayakan, berupa penyampaian
ajaran kedamaian Islam dan illegalitas terorisme, baik melalui forum-forum
keilmuan, ceramah-ceramah keagamaan, maupun informasi di berbagai media massa. Sebelum
terlambat, bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? []
Sumber: Buku “Fatwa on
Terrorism and Suicide Bombings”
No comments:
Post a Comment