Merawat Bumi ala Islam - Santrijagad

Merawat Bumi ala Islam

Bagikan Artikel Ini
merawat bumi
Oleh: Muhammad Itsbatun Najih – Kudus

Banjir besar melanda Ibu Kota –Jakarta- beberapa waktu lalu. Semua aktivitas terutama ekonomi menjadi lumpuh. Saat banjir datang, baru ada renungan, memaksa berpikir sejenak, kontemplasi, dan mencari seabreg solusi. Namun, setelah mengering, semua lupa dan berjalan seperti biasa. Semua dianggap sebagai rutinitas tahunan dan siklus lima tahunan.

Banjir dalam ukuran tertentu adalah seperangkat konsekuensi yang mesti ditanggung akibat laku manusia sendiri. Banjir toh bukan selamanya harus dimaknai sebagai musibah atau ujian Allah swt. Anggapan tersebut rasanya masih janggal dan butuh permenungan lebih dalam. Banjir ibarat dampak hukum alam yang berjalan tak seimbang. Dalam konteks Jakarta, banjir lebih disebabkan oleh minimnya area serapan air. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sempit dan sudah sulit ditemukan. Tata kelola RTH amburadul tak menjual dan lebih komersil bila dijadikan dengan membuka perkantoran yang lebih menjanjikan keuntungan besar.

Laku buruk itu terus menjalar dengan hal yang dianggap selama ini sebagai tindakan remeh-temeh: buang sampah sembarangan; sungai bukan lagi sebagai pemandangan menyejukkan nan jernih. Namun sebagai tong sampah besar dengan air yang kadung tercemar bahan kimia. Kemudian alam berontak. Air hujan terus mencari tempat peraduannya, dan nihil. Maka, terjadilah banjir. Masihkah ini dianggap sebagai musibah ketimbang diakibatkan laku manusia sendiri?

Sedangkan dalam tingkatan makro ekologi, kita tahu betul permasalahan pemanasan global. Minimal kita merasa suhu bumi semakin panas. Konon, pemanasan global disebabkan oleh efek rumah kaca akibat serbuan industri berbahan bakar fosil.

Permasalahan lingkungan atau krisis lingkungan dengan ragam variasinya adalah bukan semata urusan para teknokrat, ilmuwan, atau pegiat lingkungan semata. Namun, kita semua menjadi aktor utamanya. Semua menanggung dan berkewajiban penuh terhadap pelestarian bumi sesuai kadar kompetensi masing-masing. Lalu apa yang bisa diperbuat oleh mereka yang awam; bukan pemangku kepentingan. Mereka adalah laksana pelaksana teknis di lapangan. Sedangkan kalangan awam adalah bergerak dengan parameter kesadaran.


Parameter kesadaran bermuasal bahwa manusia adalah wakil Allah swt di muka bumi (khalifatullah). Predikat Wakil Allah swt pada manusia menjadi berat dan mesti dilaksanakan secara bertanggungjawab. Wakil Allah swt menuntut kita untuk menjaga bumi dari kerusakan. Apapun itu. Tidak saja dalam konteks berbuat dosa seperti yang telah ditetapkan syara’ seperti laku zina dan mencuri. Tetapi termasuk merawat agar bumi tetap asri dengan keseimbangan hukum alamnya. Itulah sebenarnya garis besar bahwa agama (Islam) secara implisit mengatur lingkungan pula. Karena esensi agama adalah mengatur segalanya. Tak terkecuali perihal lingkungan.

Konsep Agama Hijau


Berawal dari sabda Nabi Muhammad saw: “Bumi adalah masjid”, Ibrahim Abdul Matin –pegiat lingkungan hijau dan penulis buku Greendeen, tidak memaknainya dalam kerangka fiqh semata. Namun hadis itu menyimpan makna implisit, yakni, kewajiban memelihara alam dari segala aktivitas yang merusak  sehingga bumi ini senantiasa lestari dan nyaman dihuni layaknya sebuah masjid.

Agama tidak sebatas berhubungan dengan spiritualitas dan relasi vertikal. Namun, agama bisa menjadi inspirasi dan sumber pemecahan bagi masalah lingkungan. Dalam Alquran, terdapat banyak ayat yang secara implisit bermakna anjuran untuk menjaga alam.

Tema kerusakan lingkungan macam pemanasan global sebagai akibat konkretnya membuka kesadaran bahwa manusia sebenarnya telah melenceng dari fitrahnya sebagai wakil Allah swt (khalifah) di bumi ini. Manusia sebagai khalifah telah merusak alam. Manusia memanfaatkan alam di luar kepatutannya. Dengan dalih menancapkan modernitas peradaban, alam dirampas kedaulatannya demi keserakahan segelintir manusia.

Peran agama begitu sentral mengembalikan laku serakah manusia menjadi kian arif pada alam. Konsep Agama Hijau adalah istilah yang merujuk pada siapa saja yang peduli terhadap kelestarian alam dengan kesadaran spiritualitas sebagai stimulusnya. Konsep Agama Hijau adalah konsep universal yang menitikberatkan pada aspek teologis untuk mengembalikan manusia pada fitrahnya dalam mengelola alam sesuai kadarnya. Dan Islam adalah agama hijau.


Ada enam poin konsep Agama Hijau ala Ibrahim: pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid); bahwa manusia mengelola alam selayaknya disandarkan kepada ketentuan Sang Pemilik alam semesta. Kedua, melihat tanda-tanda Tuhan (ayat) di seluruh semesta seperti air, angin, dan matahari sebagai energi yang lebih ramah lingkungan. Ketiga, menjadi penjaga bumi (khalifah); dengan artian tidak mengeksploitasi alam. Keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada kita untuk menjadi pelindung di planet ini. Kelima, memerjuangkan keadilan (‘adl) bagi alam agar diperlakukan secara patut. Keenam, hidup selaras dengan alam (mizan).

Ibrahim menyoroti perkembangan alam yang makin rusak diakibatkan oleh laju industri yang menjadikan alam sebagai bahan baku utamanya. Batu bara dan minyak bumi yang terus dieksploitasi untuk kebutuhan transportasi dan penyediaan industri menjadi biang kerok. Ia menyebut dua bahan baku tersebut sebagai energi neraka. Guna menjawab permintaan yang semakin tinggi, tamsil dua energi tersebut terus dieksploitasi. Ibrahim juga mengkritisi habis-habisan berbagai praktik pencemaran lingkungan. Bencana tumpahnya minyak di Teluk Meksiko mendapat perhatian besar dari pegiat lingkungan hijau asal Amerika Serikat ini. Peristiwa tersebut telah menghancurkan ekosistem laut dan selebihnya menitipkan pesan bahwa minyak bumi adalah energi yang tidak tepat bagi kelangsungan peradaban manusia.

Ibrahim mengajukan seruan agar semua elemen masyarakat baik pemerintah, swasta, dan masyarakat memulai langkah berani atau revousioner dengan mengurangi sedemikian besar penggunaan energi neraka tersebut. Ia kemudian mendorong penggunaan sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan sebagai penggantinya. Ia menyebutnya dengan istilah energi surga. Termasuk dalam kelompok energi surga semisal angin, air, dan matahari. Energi ini tentu selalu tersedia bila dibanding energi neraka yang tidak terbarukan. Ketiga energi tersebut sering disebut dalam kitab suci karena begitu penting peranannya untuk segala hal.

Soal Air


Secara eksplisit, telah banyak hadits yang bicara perihal pelestarian lingkungan. Lebih-lebih dalam urusan sumber daya air. Dalam Islam, terlalu penting peranan air. Ibadah seperti wudlu, mandi, salat, bersuci (istinja’) adalah ibadah keseharian yang memerlukan air sebagai media penting bersuci. Bahkan, literatur kitab-kitab fiqh menjadikan air sebagai pembahasan khusus dan tersendiri karena saking penting peranannya.

Walau air adalah sumber alam yang terbarukan, namun, air selalu menjadi barang langka ketika bertambah lamanya musim kemarau. Pun kualitas air bersih semakin lama semakin menurun. Tak hanya di perkotaan, krisis air telah tiba dan semakin betah di perdesaan. Kita mungkin saja bisa dianggap sedang mengalami krisis air dengan parameter air yang berkualitas.

Republika (18/1/2013), menyebutkan bahwa capaian proporsi akses penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman) secara nasional sampai dengan 2011 masih sebesar 55,04 persen. Persentase ini masih belum optimal. Padahal target MDGs untuk akses itu pada 2015 sebesar  68,87 persen.

Ada kecenderungan air telah dieksploitasi. Eksploitasi adalah keserakahan, menghambur-hamburkan, dan tidak adil memperlakukannya. Maka, sudah saatnya perlu langkah besar dan bersama menjadikan air secara adil. Artinya, dalam pelaksanaan sehari-hari, laku boros air ketika berwudlu, mandi atau istinja’ segera dihentikan. Model berwudlu dengan kran, misalnya adalah pemandangan gamblang dan lumrah bahwa telah banyak air yang terbuang percuma. Sebuah riwayat menyebutkan Rasulullah saw pernah mengingatkan Saad bin Abi Waqash agar berwudlu dengan air secukupnya. Tidak usah berlebih sekalipun berada di lokasi dengan air yang melimpah.

Air begitu penting. Al-Quran menyebut beberapa kali perihal air: “Dan dari air, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (al-Anbiyaa’: 30). “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya” (al-Mu’minuun: 18).

Pelestarian air adalah wajib. Terlalu banyak referensi keislaman yang menyebutkan larangan mencemari air. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad saw melarang para sahabat buang air besar di sumber air. Di riwayat lain dari Abu Dawud, larangan itu ditekankan pula atas kencing di air kolam ataupun air danau yang mengalir. Dalam konteks sekarang, bentuk pencemaran air bisa diperluas dengan larangan membuang sampah, limbah rumah tangga, dan industri ke sungai. Tidak saja akan akan menyebabkan banjir, pun bahaya kandungan kimia yang mengakibatkan degradasi kualitas air akan menurun secara drastis.


Agama tidak saja mengatur urusan salat dan zakat. Agama ternyata menaruh perhatian besar terhadap usaha-usaha pelestarian lingkungan. Agama hendaknya dijadikan basis teologis untuk melaksanakan amanah sebagai wakil Allah swt di muka bumi. Keserakahan dan eksploitasi adalah muasal sikap yang menjadikan lingkungan rusak dan hancur.

Sudah saatnya, berbagai lapisan masyarakat bertindak secara bersama menyelamatkan bumi ini yang dilanda krisis lingkungan hijau mulai dari hal-hal kecil seperti hemat air ketika bersuci dan tidak membuang sampah ke sungai. Paling tidak, kita telah/akan bertindak dengan usaha-usaha yang dianggap sepele dan remeh-temeh namun mencerminkan sikap keislaman seperti dua tamsil di atas. Wallahu A’lam. []

No comments:

Post a Comment